Bab 8. Pagi yang Menegangkan

1234 Kata
Clara menatap meja makan dengan heran. Meja yang biasanya sudah terisi sarapan pagi yang disiapkan oleh Maya, kini kosong. Hanya ada secangkir kopi yang belum disentuh dan beberapa roti yang tergeletak di samping piring. Clara merasa kesal, namun segera menenangkan dirinya, berusaha mengendalikan amarah yang mulai menggerogoti. "Kenapa sarapan belum siap?" tanya Clara dengan nada datar, namun ada ketegangan yang bisa dirasakan dalam suaranya. Maya yang sedang berjalan masuk ke ruang makan, tampak terkejut mendengar pertanyaan Clara. Ia tergagap sejenak, mencoba mencari alasan yang tepat. "Maaf, Nyonya. Saya ... saya terlambat bangun pagi ini. Saya akan segera menyiapkan sarapan," jawab Maya dengan suara rendah, matanya tidak berani menatap Clara. Clara tetap diam sejenak, menilai Maya dengan tatapan tajam. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan sikap Maya hari ini, sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Clara kemudian berdiri dan berjalan ke meja, menyentuh secangkir kopi yang masih hangat. "Aku nggak ingin mendengar alasan," kata Clara dengan suara tajam. "Segera siapkan semuanya. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi." Maya hanya mengangguk, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. Ia tahu bahwa segala perasaan yang ada dalam hatinya harus disimpan rapat-rapat, karena itu adalah bagian dari hidupnya yang harus diterima dengan lapang d**a. Clara mengamati Maya dengan tajam, melihat gerak-gerik wanita itu yang berbeda dari biasanya. Maya tampak cemas, matanya sering teralih, dan beberapa kali ia menundukkan kepala dengan cepat, seolah menahan sesuatu. Clara yang merasa tidak nyaman dengan perubahan itu langsung mendekat dan memandang Maya dengan ekspresi marah. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu terlihat seperti itu?" tanya Clara dengan nada dingin, memperhatikan setiap gerakan Maya. Maya, yang sejak tadi berusaha menahan rasa mualnya, tampak ragu untuk menjawab. Ia merasa sangat tertekan, namun mencoba untuk tetap tenang. "Maaf, Nyonya... Saya hanya merasa sedikit mual pagi ini," jawab Maya pelan, matanya menatap lantai. Clara menatapnya dengan ekspresi jijik, mencibir saat mendengar penjelasan Maya. "Mual? Apa kamu hamil?" Clara bertanya dengan nada mencurigakan, merasa ada yang tidak beres. Maya terdiam sejenak, dan meski ia berusaha untuk menutupi kegugupannya, wajahnya yang pucat mulai menunjukkan keputusasaannya. Clara yang sudah semakin kesal mulai berbicara dengan tajam. "Apa kamu benar-benar begitu bodoh? Apa kamu pikir aku akan bersimpati padamu? Jangan harap kamu bisa menggunakan trik ini untuk menarik perhatian Mas Bagas," kata Clara dengan nada yang semakin meninggi. "Aku nggak ingin mendengar alasanmu. Segera kembali bekerja dan jangan buat aku marah!" Maya, yang sudah tidak mampu menahan air mata, hanya bisa menunduk, mencoba untuk menahan segala perasaan yang menggebu dalam dirinya. Clara menatapnya sejenak, merasa jijik dengan situasi itu, sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah tegas. Bagas yang baru saja keluar dari kamar, berjalan menuju meja makan dengan langkah tenang. Sesampainya di sana, ia langsung mendekati Clara, yang tampak masih kesal dan gelisah. Dengan lembut, ia mencium pipi Clara, mencoba memberikan ketenangan meskipun Clara masih terlihat marah. "Sayang, tenanglah. Apa yang terjadi?" tanya Bagas dengan suara lembut, berusaha meredakan suasana yang tegang. Clara menatapnya dengan tatapan yang masih penuh emosi, namun ia menahan diri untuk tidak meledak. "Apa kamu nggak melihat apa yang terjadi di sini? Maya—" Clara mulai dengan nada kesal, namun Bagas memotongnya dengan perlahan. "Clara, jangan terlalu keras pada Maya. Dia hanya sedang merasa nggak enak badan," ujar Bagas, mencoba memberikan penjelasan yang lebih tenang. Clara merasa sedikit kesal dengan respon Bagas, namun ia juga tahu bahwa Bagas mencoba menenangkan situasi. "Aku hanya nggak bisa memahami kenapa dia selalu menarik perhatianmu, Mas. Apa dia nggak tahu batas?" Clara menatap Bagas dengan serius, namun di matanya ada sedikit kekhawatiran. Bagas menghela napas panjang, lalu duduk di samping Clara. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Clara. Tapi jangan khawatir, aku hanya fokus pada kita. Kamu dan aku," kata Bagas sambil meraih tangan Clara, mencoba memberikan kenyamanan. Clara mengalihkan pandangannya, merasa sedikit lebih tenang dengan perhatian Bagas. Namun, perasaan cemburu dan ketidakpercayaan masih mengganggu pikirannya. "Aku berharap kamu bisa lebih tegas dengan dia, Mas. Aku nggak ingin ada yang mengganggu kebahagiaan kita," ujar Clara pelan, suaranya mulai lembut. Bagas mengangguk, lalu meremas tangan Clara dengan lembut. "Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja. Hanya kamu yang penting bagiku, Clara." Clara merasa sedikit lega dengan kata-kata Bagas, meskipun keraguan dan kecemasannya masih ada di dalam hati. Namun, untuk saat ini, ia memutuskan untuk percaya pada suaminya. Bagas dan Clara mulai menikmati sarapan yang sudah tersaji di meja makan. Suasana yang tadinya tegang perlahan mulai mereda, meskipun ada ketegangan yang masih terasa di antara keduanya. Bagas menyendokkan makanannya dan menatap Clara dengan perhatian, berusaha untuk menunjukkan bahwa meskipun ada masalah, ia tetap ingin menjaga kedamaian di antara mereka. Clara, meskipun masih merasa sedikit tidak nyaman, berusaha untuk tetap menjaga ketenangan. Ia menyuapkan makanan ke mulutnya, sesekali menatap Bagas. Namun, ada perasaan yang mengganjal di hatinya. Ia tahu bahwa hubungan mereka, yang dulunya penuh kebahagiaan, kini semakin rumit dengan kehadiran Maya. “Mas," Clara memulai percakapan, suaranya tenang, "Aku hanya ingin semuanya berjalan normal lagi. Tanpa drama." Bagas mengangguk, menanggapi kata-kata Clara. "Aku paham, Clara. Aku juga nggak ingin ada yang mengganggu kebahagiaan kita. Aku akan pastikan semuanya terjaga, kamu tenang saja." Clara menyandarkan tubuhnya sedikit ke belakang, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Bagas. "Aku hanya nggak bisa percaya dengan situasi ini. Maya di sini, membawa semua masalah ini ke dalam rumah kita." Bagas menghela napas, mencoba menenangkan. "Aku akan membuat segalanya jelas, Clara. Nggak ada yang bisa merusak hubungan kita." Namun, di balik kata-kata manis Bagas, Clara tetap merasakan kekhawatiran yang mendalam. Dia tidak bisa sepenuhnya melepaskan perasaan cemas dan curiganya, meskipun ia tahu Bagas berusaha untuk menenangkan situasi. Sarapan mereka berlangsung dengan keheningan yang sesekali dipecahkan oleh percakapan ringan. Namun, dalam hati Clara, perasaan tidak nyaman dan ketidakpastian masih menggelayuti pikirannya. Clara berjalan cepat ke dapur, merasa kesal dengan suara benda yang jatuh. Bagas yang ikut terkejut segera mengikuti Clara, namun tetap menjaga jarak, khawatir jika situasi semakin memburuk. Setibanya di dapur, mereka melihat Maya yang sedang membungkuk untuk memungut piring yang terjatuh. Maya tampak gugup, wajahnya merah karena ketegangan. Clara langsung mendekat, tatapannya tajam. "Kenapa kamu nggak hati-hati, Maya? Ini sudah berapa kali!" Clara mengeraskan suaranya, merasa kesal dengan sikap Maya yang menurutnya ceroboh. Maya hanya bisa diam, menunduk, dan mencoba untuk memungut piring yang sudah pecah. Suasana menjadi semakin canggung, dan Maya berusaha untuk tetap tenang, meskipun ia bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Bagas yang melihat situasi itu, segera mencoba menengahi. "Clara, cukup. Nggak perlu marah-marah seperti itu. Ini hanya kecelakaan kecil," ujar Bagas dengan suara yang lembut, berusaha meredakan ketegangan. Clara menatap Bagas dengan kesal, merasa bahwa Bagas selalu mencoba untuk membela Maya dalam setiap situasi. "Mas, ini bukan hanya kecelakaan kecil. Dia selalu membuat masalah di rumah ini!" Clara berkata dengan nada frustrasi, matanya tetap tajam mengarah ke Maya. Saat Bagas dan Clara baru saja melangkah meninggalkan dapur, terdengar suara terjatuh yang membuatnya berhenti sejenak. Ia menoleh dan melihat Maya yang sudah terjatuh ke lantai, tubuhnya terkulai lemas tanpa daya. Bagas langsung berlari kembali menuju Maya. "Maya!" Bagas berteriak panik, berlutut di sampingnya. Ia segera mencoba memeriksa kondisi Maya, namun tampak jelas bahwa Maya tidak sadarkan diri. Clara yang mendengar teriakan Bagas segera kembali ke dapur dengan wajah penuh kebingungan. Melihat Maya tergeletak di lantai, Clara langsung merasa khawatir. "Apa yang terjadi?! Maya, kenapa kamu?" Clara berlari ke arah Maya, mencoba untuk membantunya. Bagas dengan cepat mengangkat tubuh Maya sedikit dan memeriksa napasnya. "Dia pingsan, Clara. Kita harus membawanya ke rumah sakit segera," ujarnya dengan suara tegang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN