Hamili Aku!

966 Kata
Setelah Dikta pergi, Hanin hanya terdiam di lantai dengan pandangan kosong. Ia tak mengindahkan rasa nyeri dan darah yang terus menetes dari keningnya. Hingga pintu kamarnya kembali terbuka, seorang laki-laki berpakaian serba hitam masuk dengan membawa kotak P3K di tangannya. Pandangannya tetap tenang meski melihat Hanin dalam keadaan berantakan. Dia menyimpan kotak tersebut di meja dan menghampiri Hanin. “Mari saya bantu, Nyonya,” ucapnya hangat. Hanin dipindahkan ke atas ranjang, kemudian dia mengobati luka di kening Hanin dengan telaten dan hati-hati. Seolah pekerjaan ini sudah biasa dia kerjakan. “Bilang saja kalau perih, Nyonya,” ucapnya saat memberikan obat pada luka Hanin. Namun Hanin tak bereaksi apapun, membuatnya sedikit bingung. Tidak seperti biasa. “Terima kasih, Attar,” gumam Hanin dengan suara yang sangat lemah. Attar, pengawal pribadi Hanin hanya tersenyum tipis. Satu-satunya orang yang tahu mengenai rahasia di balik rumah tangga Hanin dan Dikta. “Kali ini karena apa lagi, Nyonya? Lebih parah dari biasanya,” ucap Attar. Biasanya Dikta tak sampai berani membuat luka separah ini, apalagi di bagian wajah. Mentok-mentok akan membuat lebam di bagian tersembunyi. Namun Hanin hanya terkekeh hambar, matanya menatap Attar sayu. “Kenapa? Kamu pasti senang kan, bisa libur lama. Gak perlu kawal-kawal saya dalam beberapa bulan ke depan.” “Saya memang suka libur, Nyonya. Tapi saya gak suka kalau saya libur karena Nyonya luka,” ucap Attar. Ucapannya berhasil membuat Hanin tertawa kecil, walaupun harus sedikit meringis karena merasa perih di wajahnya. Melihat tawa Hanin yang akhirnya terbit kembali membuat Attar tak bisa memalingkan pandangannya. Dia terus menatap wajah Hanin dengan kurang ajar. “Kenapa, Tar? Luka saya separah itu ya?” tanya Hanin menyadari Attar yang terus menatapnya. Seketika lamunan Attar terbuyar, ia menggeleng pelan. “E-eh? Iya … lukanya parah. Sepertinya Nyonya bakal butuh banyak perawatan ini,” elak Attar. Buru-buru Attar membereskan peralatan yang tadi dipakainya, kemudian berdiri. “Kalau begitu saya pamit dulu. Kalau Nyonya butuh sesuatu bisa telepon saya,” ucap Attar berpamitan. Tanpa menunggu jawaban Hanin, ia langsung melenggang pergi dari sana dengan terburu-buru. Sepanjang jalan Attar merutuki kebodohannya. Sementara Hanin terpaku melihat Attar, entah mengapa ada perasaan hangat yang menyelimuti hati Hanin di tengah rasa sakit yang dirasakannya. ** Sepanjang hari Hanin hanya terpaku di ranjangnya, memikirkan ucapan sekaligus ancaman Dikta. Dia tahu Dikta tidak bermain-main untuk kali ini. Dikta sendiri belum kembali lagi sejak pagi tadi, entah ke mana dia. “Lima bulan?” Hanin terkekeh hambar. Ia mengacak-acak rambutnya frustrasi. Lima tahun dia sudah berjuang mendapatkan anak dengan melakukan berbagai cara, mengikuti berbagai program kehamilan, bahkan meminum berbagai vitamin yang katanya dapat mempersubur. Namun, Hanin tak kunjung mendapat hasil yang dia inginkan. “Sekarang kamu malah memberi waktu lima bulan? Bahkan lima bulan gak ada apa-apanya dibanding lima tahun,” gumam Hanin sendiri. Ia lagi-lagi menertawakan dirinya. Kepalanya seolah sedang menemui jalan buntu untuk masalah ini. Kehamilan bukanlah sesuatu yang dapat dibeli dari uang. Bukan pula sesuatu yang bisa diraih dengan popularitasnya sebagai model papan atas. Itu adalah anugrah dari Tuhan. “Lama-lama aku bisa gila memikirkannya, hahh!” Hanin memilih beranjak dari ranjang, membuka kulkas mini yang berada di kamarnya. Ia mengeluarkan sebotol anggur merah dengan kadar alkohol cukup tinggi, kemudian membukanya. Dia langsung meneguk isi minuman itu dari botol, tanpa menggunakan gelas. “Dikta sialan,” umpat Hanin. “Seandainya keluargaku tak menjualku padamu, sudah lama aku meninggalkanmu!” “Ha ha ha. Ternyata jadi putri keluarga Wicaksana ataupun menjadi nyonya muda Admaja sama aja. Semuanya memuakkan!” Hanin merasa tubuhnya mulai melayang saat dia menghabisi setengah isi botol tersebut. Hanin terus tertawa miris, menertawakan nasibnya yang selalu sial. “Nyo—” Ucapan Attar terhenti melihat kondisi Nyonyanya yang sedang mabuk berat. Padahal niatnya tadi ingin mengantarkan makan malam untuk Hanin. “Attar ya?” ucap Hanin yang menyadari kehadiran Attar. Ia berjalan menghampiri Attar, menatap pria itu dalam. Terus mendekat. Mengikis jarak di antara mereka, hingga tak tersisa. Attar yang tak pernah sedekat ini dengan Hanin dibuat mematung, tanpa sadar menahan napasnya. Walaupun sedang terluka, Hanin tetap cantik apalagi dalam keadaan mabuk seperti sekarang. Mata Hanin terus meneliti wajah Attar, seinci demi seinci. Tangannya bahkan bermain di wajah pria itu, bagai perempuan nakal. “N-nyonya … apa yang Anda la-lakukan?” tanya Attar gugup. Ini salah, tetapi tubuh Attar seolah tak ingin menyia-nyiakannya. “Tampan,” gumam Hanin. “M-maksud Anda?” Hanin semakin memperdekat jarak wajah mereka. “Ternyata kamu cukup tampan, ya.” Tiba-tiba saja Hanin teringat sesuatu, sebuah artikel yang pernah dibacanya yang membahas mengenai donor s****a. Sontak ia menatap Attar dengan tatapan aneh, membuat Attar menjadi risih. “Nyonya, sebaiknya Anda menyadarkan diri Anda,” ucap Attar yang berhasil mengembalikkan akal sehatnya, menyadarkan dirinya bahwa ini salah. Walaupun jantungnya berdegup kencang karena gugup. Attar berniat keluar, tetapi tangannya digenggam oleh Hanin. “Nyonya, ada banyak mata-mata Tuan Dikta di rumah ini. Jangan sampai Nyonya kembali mendapat masalah yang nantinya Nyonya sesali karena mabuk,” nasihat Attar. Dia tak ingin jika sampai ada pelayan yang melihat mereka dan melaporkannya pada Dikta. Dia tak ingin Hanin kembali terluka. “Kenapa? Bukankah kamu menyukaiku?” tanya Hanin dengan senyum nakalnya. Tubuh Attar menegang, keningnya mengernyit. Tampak jelas jika dia sedang terkejut. “Ha ha ha.” Tawa Hanin meledak seketika. Dia benar-benar telah dipengaruhi oleh alkohol. “Kamu kira saya gak tahu? Gelagat kamu selama ini … aku gak senaif itu Attar,” ucap Hanin lagi. “Kamu sering diam-diam menatapku kan? Kenapa tidak memanfaatkannya sekarang?” Telinga Attar memanas, tampak memerah. Ia memalingkan wajahnya, membuang pandangan ke arah lain. “Saya akan pergi Nyonya,” putus Attar. Lagi-lagi saat Attar hendak keluar dari kamar Hanin, tangannya kembali ditarik. Tubuh keduanya saling menempel sekarang, Attar bahkan bisa merasakan napas Hanin di wajahnya. “Attar,” ucap Hanin. “Hamili aku!” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN