“Sepertinya Anda sudah terlalu mabuk Nyonya.”
Hanin menggeleng cepat, tubuhnya bergoyang seperti kapal yang sedang oleng. “Aku serius, Attar. Tidurlah denganku … kamu menyukaiku kan? Ayo … habiskan malam bersamaku.”
Setelah menyelesaikan ucapannya Hanin oleng, untung saja tubuhnya segera ditangkap oleh Attar. Wanita itu tak sadarkan diri akibat terlalu mabuk, membuat Attar menghela napas panjang.
Ia menggendong Hanin dan memindahkannya ke atas ranjang. Saat hendak menyelimuti Hanin, pandangan Attar tak sengaja salah fokus pada belahan gunung surgawi majikannya yang terpampang akibat gaun tidur yang berantakan.
Sontak Attar memalingkan wajahnya yang merah padam, cepat-cepat menyelimuti tubuh Hanin dan bergegas keluar dari sana.
“Hahh … dia dalam kondisi mabuk benar-benar bahaya,” gumam Attar setelah keluar dari kamar Hani.
Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada pelayan yang bergelagat mencurigakan. Kemudian berdehem pelan dan memperbaiki ekspresi wajahnya. Ia buru-buru pergi dari sana.
Attar menutup pintu kamarnya setengah membanting, kemudian melempar tubuhnya keatas ranjang dengan posisi kaki menggantung. Attar menutup matanya sembari mengatur napasnya.
Namun saat ia menutup mata, hanya ada bayangan Hanin yang memenuhi kepalanya, membuat Attar sontak bangun.
“Anda benar-benar menyebalkan,” gumam Attar.
Ia bangkit dari ranjang dan segera masuk ke kamar mandi, memilih mendinginkan kepalanya dengan mengguyur tubuh menggunakan air dingin.
Suara Hanin yang nakal terus membayangi kepalanya, bahkan Attar masih bisa mengingat wangi parfum Hanin yang bercampur bau alkohol. Begitu memabukkan.
Berkali-kali Attar berusaha menjernihkan pikirannya, tetapi Hanin sepertinya sudah benar-benar membuatnya mabuk kepayang.
Setelah hampir satu jam lamanya di kamar mandi, Attar akhirnya keluar dengan handuk yang mengalung di lehernya. Ia ingin kembali berbaring, tetapi dering ponsel membuatnya mengurungkan niat.
Attar mengambil ponselnya, berdecak kesal melihat nama yang tertera di layar. Namun, Attar tetap mengangkat panggilan tersebut.
“Kenapa baru mengangkat panggilan Kakek? Kamu sengaja menghindar?!” Suara bentakan dari seberang sana memekakkan telinga Attar, membuat Attar sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Ada apa, Kek?” tanya Attar tanpa basa-basi, sedikit malas.
“Pulang sekarang, Kakek mau bicarakan sesuatu padamu.”
“Gak bisa, Kek. Attar di sini harus kerja, belum bisa libur. Lagian baru minggu lalu Attar pulang, gak bisa dong Attar seenaknya pulang gitu aja,” jawab Attar.
Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. Kakeknya menceramahi Attar panjang lebar, hingga sebuah kalimat membuat Attar menegang dan menghela napas panjang.
“Attar akan usahakan pulang secepatnya.”
***
Hanin meringis kecil, merasakan pusing saat membuka matanya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, mengumpulkan kesadarannya.
Tiba-tiba saja Hanin teringat kejadian semalam, sontak saja kedua pipi Hanin memerah malu. Sungguh tindakan yang tidak bermoral. Namun dia benar-benar telah diambang keputusasaan.
Brak!
Pintu yang terbuka secara kasar membuat Hanin terlonjak kaget dan sontak menatap ke arah pintu. Tanpa melihat pun dia sebenarnya telah tahu siapa pelakunya. Tak ada yang berani bersikap tak sopan padanya di rumah ini selain Dikta.
“Kamu minum alkohol heh?!”
Dikta mengerutkan kening tak suka, mengetahui Hanin baru saja minum alkohol.
Hanin merutuki dirinya yang ceroboh tak membereskan bekas botol-botolnya semalam.
Dikta langsung menarik Hanin dan mendorongnya ke tembok, membuat tubuh Hanin menabrak tembok dengan kasar. Ketika Hanin terjatuh, Dikta menendang kakinya dan membuat istrinya memekik keras.
“Harus berapa kali kubilang, kamu harus segera hamil!” bentak Dikta, menekan setiap katanya. “Kamu bodoh atau bagaimana?! Alkohol dapat mengurangi kesuburanmu!”
“Atau kamu ingin menguji kesabaranku?!”
Hanin sontak menunduk dan melindungi wajahnya saat Dikta melemparkan sebuah kotak ke arahnya. Tubuhnya bergetar halus ketakutan.
“Sial! Kamu buat suasana hatiku buruk saja,” umpat Dikta, ekspresi wajahnya benar-benar buruk dan menunjukkan bahwa suasana hatinya sedang tak baik.
Dikta kembali menatap Hanin tajam. “Sebaiknya secepatnya buat dirimu hamil atau tamat riwayatmu.”
Ia segera melenggang keluar dari kamar itu, kembali meninggalkan Hanin sendirian.
Seketika tangis Hanin pecah, ia benar-benar sudah lelah. Bekas luka di kepalanya bahkan belum kering dengan baik, tetapi Dikta telah kembali menambah memar di tubuhnya.
Hanin tertawa hambar mengingat segala ancaman yang Dikta layangkan padanya. “Segera hamil katanya? Ha ha ha.”
“Dia bahkan setiap hari menghabiskan malamnya entah di mana, tetapi dia malah mendesakku untuk hamil? Memangnya anak bisa langsung muncul begitu saja di rahimku?” gumam Hanin menggerutu kesal.
Hanin kembali teringat dengan ide gilanya semalam. Sesaat kemudian ia terkekeh putus asa, ekspresinya benar-benar tak bisa ditebak.
Pintu kembali terbuka, Attar muncul dengan wajah khawatir dan napas tersengal-sengal seperti habis berlari. Ia segera menghampiri Hanin dan membantunya untuk berdiri.
“Maafkan saya karena datang terlambat, Nyonya,” ucap Attar sangat menyesal.
Ia menyesali keputusannya yang memilih keluar pagi ini dan membuat Hanin sendirian. Saat pulang tadi, Attar tak sengaja berpapasan dengan Dikta yang akan pergi.
Tanpa kata-kata lagi Attar langsung berlari ke kamar Hanin, tak ada sesuatu yang baik pada Hanin jika tuannya pulang.
“Mari saya bantu pindah ke kasur, Nyonya,” ucap Attar.
Hanin mengangguk kecil, berdiri perlahan dengan dibantu oleh Attar. Walaupun ia kesulitan berjalan karena tulang keringnya yang ditendang oleh Dikta tadi masih terasa nyeri.
Setelah membantu Hanin untuk berbaring di ranjang, Attar kembali mengobati luka di kaki Hanin. Dalam hati ia menggeram marah melihat Dikta yang lagi-lagi menyakitimu Hanin dengan mudahnya.
“Nyonya, Anda ingin terus bersama seumur hidupku dengan Tuan Dikta? Anda yakin tidak ingin bercerai?” tanya Attar. “Anda pantas mendapatkan yang lebih baik dari Tuan Dikta, Nyonya.”
Attar menatap Hanin, melihat wanita itu hanya tersenyum tipis. Sangat tipis.
“Kamu tahu alasannya, Attar,” ucap Hanin.
“Kalau alasannya tentang keluarga Nyonya, saya bisa membiayai tempat tinggal dan kehidupan Nyonya. Tabungan dari bekerja disini lumayan banyak. Walaupun sederhana, setidaknya Nyonya tidak akan mengalami kekerasan seperti ini setiap hari,” tawar Attar bersungguh-sungguh.
Ia benar-benar muak melihat Hanin terus disiksa seperti ini dan hanya bisa diam saja.
Lagi-lagi Hanin tersenyum, tetapi Attar menjadi kesal setiap kali melihat senyum itu.
“Keluargaku cukup mampu mencariku bahkan ke pelosok dunia sekalipun hanya untuk membunuhku, Attar,” ucap Hanin pasrah.
Dia sadar takdirnya seumur hidup hanya bisa menjadi pemenuh ambisi, entah ambisi keluarganya maupun ambisi suaminya.
Tanpa sadar Attar mencengkeram kasa di tangannya, menahan emosi agar tak meledak.
“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Attar. Tapi dengan kehadiranmu di sini sudah cukup untukku,” ucap Hanin. “Hanya kamu yang bisa kupercaya di rumah ini.”
Attar menarik napas, mengatur emosinya agar tak meledak dan malah membuat Hanin takut atau terkejut.
“Anda bisa mengandalkan saya jika membutuhkan bantuan, Nyonya. Saya pasti akan membantu Anda,” ucap Attar. Setidaknya hanya itu yang dapat Attar tawarkan.
Sejenak Hanin terdiam menatap Attar, ia mengumpulkan keberaniannya.
“Termasuk membantuku mengabulkan keinginan suamiku?”
Tubuh Attar menegang, menatap Hanin dengan tatapan yang sulit diartikan. “M-maksud Anda … “
“Bagaimana?” tanya Hanin lagi penuh harap. “Tawaranku semalam masih berlaku Attar.”
**