Ancaman Dikta

883 Kata
“Harus sampai kapan lagi Mama tunggu? Mama udah tua loh, Mama juga pengen kayak teman-teman Mama yang lain, pada gendong cucu.” Wanita berusia 60-an dengan gaya pakaian modis tampak kesal, ia berkali-kali berdecak sebal dan tak berhenti memarahi putranya. “Sabar dong, Ma. Dikta sama Anin juga lagi usaha,” ucap Dikta tak mau kalah, ia mengacak-acak rambutnya frustrasi. Telinganya sudah panas mendengar omelan mamanya sejak setengah jam lalu. “Mama gak bisa sabar lagi! Mau sampai kapan Mama nunggu? Sampai Mama mati?” ucap mama Dikta, Belinda Admaja dengan wajah sewot. “Jangan-jangan istri kamu mandul lagi?!” Dikta menghela napas panjang. “Mama tunggu aja, Dikta dan Anin bakal kasih Mama cucu secepatnya.” Ia ingin mengakhiri pembicaraan ini secepatnya, Dikta sudah benar-benar lelah. “Pokoknya kalau tahun ini kamu gak bisa kasih Mama cucu, Mama gak bakal wariskan perusahaan ke kamu! Ingat itu,” ucap Belinda mengancam. Sontak mata Dikta melotot kaget, rahangnya mengetat kesal. “Gak bisa gitu dong, Ma!” protes Dikta tak terima. “Keputusan Mama udah final! Pokoknya cucu Mama harus jadi tahun ini!” Tak ingin lagi mendengar pembelaan dari Dikta membuat Belinda bergegas pergi dari sana. “Ma! Ma!” Sekeras apapun teriakan Dikta, Belinda seolah menulikan telinganya. Ia tak memberhentikan langkahnya dan benar-benar keluar dari ruang kerja Dikta, meninggalkannya sendiri. Dikta dibuat kesal setengah mati, ia menendang meja kerjanya dengan penuh emosi hingga membuat suara dentuman yang cukup keras. “Sial!” umpat Dikta. Apa ibunya mengira membuat anak bisa segampang itu? “Argh!” Membayangkan bahwa perusahaan keluarga yang seharusnya menjadi miliknya malah diberikan ke orang lain membuat Dikta semakin marah. Sejak kecil dia sudah dipersiapkan menjadi calon pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarga Admaja. Namun kini posisinya terancam. Dikta bergegas keluar dari ruang kerjanya dan berjalan penuh emosi. Dia membuka pintu kamarnya dengan kasar, membuat istrinya yang sedang duduk santai dibuat terkejut. “Mas? Kamu kenapa?” tanya Hanin, istri Dikta terkejut melihat kedatangan suaminya. Ia seketika bangkit dari kursi dan berniat menghampiri Dikta, menanyakan keadaan suaminya yang tak terlihat baik-baik saja. Dibutakan oleh emosi membuat Dikta langsung menjambak rambut panjang Hanin, membuat Hanin sontak memekik kesakitan dengan mata membulat terkejut. “M-mas … lepas …” “Semua ini karena kamu sialan!” maki Dikta, tangannya terkepal erat. Ia membenturkan kepala Hanin ke tembok. “Gara-gara kamu! Aku bisa saja kehilangan semua hartaku!” Belum sempat Hanin mencerna apa yang terjadi, tubuhnya dihempaskan dengan kasar hingga terjatuh di lantai. Napasnya tersengal-sengal, merasakan kepalanya mulai pusing karena benturan yang keras. “Istri tidak becus!” umpat Dikta. “A-apa maksud ka-kamu, Mas? Apa yang terjadi?” tanya Hanin takut-takut. Dikta selalu saja seperti ini, memukulnya tanpa menjelaskan alasannya. “Mama datang dan mengancamku, kalau kamu tidak kunjung hamil maka dia gak bakal serahin perusahaan ke aku,” ucap Dikta, membuang pandangannya ke arah lain. Ia tiba-tiba teringat ucapan mamanya yang mengatakan bahwa mungkin saja Hanin mandul. Hal itu membuatnya sontak menoleh, menatap Hanin penuh curiga. “Apa jangan-jangan yang dikatakan Mama benar, ya? Jangan-jangan kamu mandul lagi?!” tuduh Dikta. Rahangnya seketika mengetat. “Argh sial! Aku sudah mengeluarkan banyak uang untukmu! Kalau saja sejak awal aku tahu kamu tidak menguntungkan apa-apa bagiku, aku pasti sudah menendangmu dan keluarga sampahmu itu!” Kepala Hanin tertunduk, selain ia merasa pusing dan pandangannya yang menggelap Hanin juga tak lagi berani menyahuti segala tuduhan suaminya. Mengingat kemungkinan bahwa Hanin mandul membuat Dikta semakin kesal, ia menghampiri Hanin dan menginjak jari-jari tangan Hanin dengan sepatunya. Dikta kemudian berjongkok di hadapan istrinya, mencengkeram dagu Hanin dan mengangkatnya paksa. “Jangan lupa aku sudah berjasa banyak untukmu dan keluargamu! Aku bahkan mengeluarkan banyak uang untuk membantu perusahaan keluargamu yang hampir bangkrut itu! Aku juga yang mengeluarkan uang agar kamu bisa menjadi model terkenal,” ucap Dikta dingin. “Aku memberikan kehidupan yang mewah bagaikan ratu untukmu, tapi kamu bahkan tidak bisa memberiku seorang anak pun!” “Lima tahun bukan waktu yang singkat!” Tatapannya sangat tajam, siap membunuh Hanin kapanpun. Ia kembali menjambak Hanin sambil mencengkram dagunya. “Sejak kecil aku sudah dipersiapkan menjadi pewaris yang sempurna, tanpa cacat. Aku mendapatkan semua yang aku mau, walaupun artinya aku harus membunuh orang lain. Aku bisa mendapatkan semuanya dengan mudah,” ucap Dikta lagi. Hanin yang ketakutan berusaha mengalihkan tatapannya ke arah lain, tak berani menatap wajah Dikta yang sedang marah. “Aku bahkan bisa membuangmu dengan mudah, mencari penggantimu dengan mudah dan mendapatkan anak yang aku impikan. Jadi, jangan besar kepala dan mengira aku begitu mencintaimu sampai tidak bisa menendangmu dari posisi ini.” Tubuh Hanin meremang, aura yang dikeluarkan Dikta benar-benar menyeramkan. Hanin bisa merasakan ada cairan kental yang amis mengalir dari keningnya, diikuti rasa nyeri. “Oh bukan hanya kamu, tapi keluargamu, karirmu. Kamu kira aku akan berbaik hati terus membantu kalian?” ancam Dikta lagi. “A-aku … aku pasti akan hamil secepatnya, Mas!” Hanin memberanikan diri untuk menyahuti ucapan suaminya. Dia tidak boleh kehilangan segala bantuan dari Dikta da keluarga Admaja. Dikta mendengus sinis. “Baguslah kalau kamu tahu tugasmu,” ucapnya. Akhirnya ia melepaskan jambakannya dari rambut Hanin dan kembali berdiri. Dikta menepuk-nepuk tangannya seolah sedang membersihkan diri. “Lima bulan,” ucap Dikta tiba-tiba. “Kalau dalam waktu lima bulan kamu tidak dinyatakan hamil, aku akan menceraikanmu!” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN