Dia Sangat Berharga

1295 Kata
“Tolong j-jangan salah paham!” ucap Hanin cepat, mengelak. Wajahnya merah padam sekarang, ia memalingkan wajahnya ke arah lain agar Lastri tak menyadari bahwa dia sedang salah tingkah. Namun hal itu tentu saja tak bisa Hanin sembunyikan dari Lastri yang cukup jeli. Lastri hanya terkekeh geli melihat tingkah calon nyonya mudanya. Sangat menggemaskan, pikir Lastri. “Ada apa, Nyonya? Bukannya benar seperti itu? Tuan Muda semalam berkata bahwa akan menikahi Nyonya, kan?” ucap Lastri sedikit menggoda. “Tidak, tidak!” elak Hanin cepat. “I-ini hanya salah paham. Attar mengatakan hal itu pasti karena terdesak dan gak punya pilihan lain. Nanti aku dan Attar akan bicarakan lagi dengan Tuan Drajat untuk meluruskannya.” Lastri terdiam, ia mengamati Hanin sejenak membuat Hanin salah tingkah dan berpikir apakah dia telah salah bicara? “Sulit itu,” ucap Lastri. “Maksudnya?” tanya Hanin bingung, keningnya mengernyit. “Tuan Besar bukan orang yang suka berbicara dua kali, kalau sudah sekali memutuskan dan berjanji, maka Tuan Besar pasti akan menagih janji itu,” ucap Lastri serius. “Apalagi ini menyangkut Tuan Muda, pasti Tuan Besar tidak akan membiarkannya begitu saja.” “Tuan Muda itu bisa dibilang cucu kesayangan Tuan Besar,” tambah Lastri. Alis Hanin bertaut, menatap penasaran pada Lastri. Kini dia telah selesai memakai pakaiannya dan rambutnya pun sudah rapi disisir oleh Lastri, wanita itu mengurusnya seperti anak dendiri. Hanin pun lalu mengajak Lastri untuk duduk bersama di kursi. “Cucu kesayangan?” ulang Hanin, lebih seperti bertanya. “Aku sempat dengar kalau … Attar pernah kabur dari rumah ini?” Lastri mengangguk mengiyakan. “Lima tahun lalu Tuan Muda memutuskan keluar dari rumah ini. Sepertinya Tuan Muda tidak tahan dengan tekanan dari orang-orang, apalagi dengan statusnya. Tuan Muda selalu minder dan tidak pernah mau mengurus bisnis keluarga.” “Padahal Tuan Besar sangat menginginkan bisnisnya diurus oleh Tuan Muda,” cerita Lastri. Cerita Hanin dengarkan membuatnya bertambah penasaran untuk mendengar lebih banyak cerita tentang Attar. Seolah ada magnet yang membuat rasa penasaran Hanin bertambah besar untuk mencari tahu. Lagipula selama Attar menjadi pengawalnya, Attar tak pernah menceritakan tentang keluarganya pada Hanin. Attar juga tidak pernah izin untuk pulang kampung dan semacamnya. Tiba-tiba saja sekarang Attar malah mengaku sebagai cucu keluarga Permana. Tentu saja Hanin menjadi kaget. “Kalau boleh tahu kenapa Attar bisa kabur dari sini? Kamu bilang tadi kayaknya karena tekanan orang-orang kan? Siapa orang-orang itu?” tanya Hanin setengah mendesak. “Sejak dibawa ke rumah ini, Tuan Muda menerima banyak penolakan dari anggota keluarga Permana. Saya lah yang menjadi pengasuh Tuan Muda sejak kecil, jadi saya sangat tahu bagaimana Tuan Muda tumbuh sebagai anak yang tidak punya kepercayaan diri,” cerita Lastri lagi. Raut wajah Lastri tampak sendu, mengingat kenangan yang tidak menyenangkan. Hanin seperti dapat memahami bagaimana perasaan Lastri, apalagi wanita itu lah yang berada di samping Attar sejak Attar bayi. Pasti Lastri memiliki ikatan tersendiri dengan Attar. “Tuan Muda lebih banyak mengurung diri di kamar, sibuk dengan buku-bukunya. Jika terjadi konflik dengan anggota Permana lain, Tuan Muda lebih memilih menghindar dan mengalah,” ucap Lastri kembali bercerita. “Hingga puncaknya lima tahun lalu, tiba-tiba saja Tuan Muda berdebat hebat dengan Tuan Besar dan pergi. Setelah itu Tuan Muda tidak pernah lagi pulang.” Hanin terdiam, tenggelam dalam cerita Lastri yang membuat perasaannya campur aduk. “Sebenarnya, ada apa dengan masa kecil Attar?” tanya Hanin lebih penasaran. Lastri hanya tersenyum kecil. “Saya tidak berhak untuk bercerita lebih dari ini, Nyonya. Jika ingin mengetahuinya, Anda bisa bertanya langsung pada Tuan Muda.” Hanin menghela napas, jika bertanya pada Attar, dia pasti tak akan menjawabnya. Raut wajahnya berubah dongkol. “Tuan Muda pasti akan menceritakannya ketika beliau sudah siap. Apalagi kalian kan akan menjadi suami-istri, akan lebih baik jika kalian saling memahami kondisi masing-masing,” ucap Lastri lagi, seolah memahami isi pikiran Hanin sekarang. Hanin hanya meringis kecil mendengar ucapan Lastri, sepertinya semua orang telah salah paham sangat jauh. Suami-istri? Pernikahan? … Lebih parahnya bersama Attar, Hanin bahkan tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Tiba-tiba Lastri menggenggam tangannya erat, menatap Hanin sungguh-sungguh. “Saya benar-benar berterima kasih pada Anda, Nyonya,” ucap Lastri terharu. “Te-terima kasih?” gumam Hanin tak mengerti. “Berkat Anda, akhirnya Tuan Muda mau kembali ke rumah ini. Berkat Anda juga akhirnya Tuan Muda mau bekerja dan mengurus bisnis keluarga Permana. Saya bahkan melihat perubahan besar dalam diri Tuan Muda yang sekarang, lebih percaya diri dan memiliki tekad besar. Sesuatu yang tidak pernah saya liat selamat mengurus Tuan Muda.” Hanin terdiam, ia berdehem kecil. “Aku gak melakukan apa-apa yang berarti. Selama ini Attar hanya bekerja sebagai pengawalku saja, dan mungkin dia hanya bersimpati padaku karena melihat keadaanku selama ini. Perubahan yang terjadi pada Attar mungkin karena memang dia sendiri yang memutuskan untuk berubah,” ucap Hanin mengelak. “Anda berbicara seperti itu hanya karena Anda belum menyadarinya, Nyonya. Kelak Anda pasti akan membenarkan ucapan saya,” ucap Lastri yang membuat Hanin semakin bingung. Namun Hanin bersikap tak acuh, dia memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain. Semakin ke sini, pembicaraan mereka semakin berat. “Oh iya, ke depannya aku mohon jangan berbicara terlalu formal padaku, ya,” ucap Hanin yang teringat sejak tadi Lastri terus berbicara dengan kalimat formal padanya. Padahal umur Lastri lebih tua darinya. “Loh?” Lastri tampak terkejut. “Tidak bisa seperti itu, Nyonya. Saya bisa dianggap kurang ajar oleh Tuan Besar.” “Aku gak terima penolakan loh. Dari cerita Bibi tadi, sepertinya Bibi telah menganggap Attar sebagai putra Bibi sendiri. Jadi tolong ke depannya anggap aku juga seperti putri Bibi,” ucap Hanin. Dia merasa tak nyaman jika terus menggunakan kalimat formal. Apalagi ini bukan lagi kediaman Admaja, mereka bukanlah orang-orang Dikta. Jadi Hanin bertakad untuk menjadi lebih dekat dengan mereka, setidaknya dia tidak akan merasa bosan dan tidak diabaikan. Lastri tampak tersenyum terharu. “Anda memang wanita yang baik, Nyonya. Tuan Muda benar-benar beruntung mendapatkan Anda.” “Baiklah, sekarang bagaimana kalau Nyonya kembali beristirahat? Dokter menyarankan untuk Anda beristirahat lebih banyak agar cepat pulih,” saran Lastri. “Informal, Bibi. Informal,” ucap Hanin mengingatkan. Lastri sendiri hanya terkekeh geli, ia menggiring Hanin untuk kembali ke ranjangnya beristirahat. “Selamat beristirahat, Nyonya.” Malam harinya, jam menunjukkan pukul satu malam dan Attar baru saja menyelesaikan tugas-tugas yang diperintahkan Kakeknya. Ia menghela napas lelah, melepaskan jasnya dan melonggarkan dasi di leher. Baru saja Attar hendak beristirahat, ia tiba-tiba teringat tentang Hanin. Attar pun kembali bangkit dan berjalan menuju kamar Hanin. Attar membuka pintu dengan hati-hati, menatap Hanin yang berbaring dengan nyaman dan lelap dari kejauhan. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum manis. Attar bisa merasakan perasaanya menghangat dan lelahnya hilang begitu saja hanya dengan melihat wajah Hanin. “Saya berjanji akan berusaha keras untuk melindungi Anda, Nyonya. Saya pastikan Anda tidak perlu menunggu lama untuk terus terkurung di mansion ini,” gumam Attar dengan suara pelan, takut membangunkan Hanin. “Sementara di sini, saya harap Anda merasa nyaman dan aman. Saya harap … setidaknya Anda merasa di sini lebih baik daripada penjara yang diberikan oleh pria itu.” Usai merasa puas memandangi wajah Hanin dan cukup menghilangkan lelahnya, Attar pun keluar dari kamar itu dan menutup pintu dengan rapat. “Tuan Muda?” Langkah Attar terhenti, ia tersenyum kecil pada Lastri yang memergokinya. Kebetulan sekali. “Bagaimana dengannya seharian ini?” tanya Attar penasaran. “Nyonya Muda seharian ini hanya beristirahat di kamar dan kadang bercerita-cerita dengan saya. Nyonya juga sempat menanyakan tentang Anda, katanya ingin berbicara dengan Anda,” ucap Lastri melaporkan keadaan Hanin. Attar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih, Bibi. Tolong jangan beritahu dia kalau aku mendatangi kamarnya malam ini,” ucap Attar. “Baik, Tuan Muda,” ucap Lastri patuh sembari menunduk hormat. “Tolong jaga dia untukku, Bibi. Dia sangat berharga untukku.” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN