Calon Nyonya Muda

1304 Kata
“Bagaimana keadaannya, Dok? Apa lukanya parah?” tanya Attar penuh khawatir. Ia menatap dokter keluarga Permana yang baru saja selesai memeriksa keadaan Hanin. Tadi, Hanin tiba-tiba saja jatuh pingsan dan Attar langsung menyuruh kepala pelayan untuk memanggil dokter. “Luka di kening Ibu Hanin untungnya tidak terlalu parah, hanya stres dan rasa panik yang tiba-tiba membebani otak Ibu Hanin membuat tubuhnya tidak siap. Saya juga telah membersihkan luka di keningnya, ke depannya Ibu Hanin perlu banyak istirahat dan menghindari stres yang berlebihan,” ucap dokter tersebut. Sejenak Attar menatap Hanin khawatir yang tertidur di atas ranjang. Begitu banyak penderitaan yang telah Hanin lalui selama ini, dan itu semua karena Dikta. “Saya juga telah meresepkan obat, mohon untuk ditebus dan diberikan sesuai resepnya,” ucap dokter itu lagi. “Jika ada keluhan lebih lanjut setelah Ibu Hanin sadar, mohon konsultasikan kepada saya segera.” Attar mengangguk dan tersenyum kecil. “Terima kasih, Dok,” ucapnya. Kepala pelayan yang sejak tadi berdiri menyimak pun menemani dokter tersebut untuk keluar, meninggalkan Attar di dalam kamar yang masih terus menatap Hanin. Attar menghela napas, ia masih mengingat jelas bagaimana tatapan kecewa Hanin tadi. Apalagi … saat tangan Hanin menampar pipinya. Apakah ia salah mengambil langkah? Apa Attar seharusnya berusaha lebih keras untuk meyakinkan kakeknya dengan cara lain saja? “Maaf membuatmu kembali kecewa,” gumam Attar sebelum memutuskan keluar dari kamar itu. Attar melangkah dengan langkah lunglai sepanjang jalan. Setiap langkah yang ia ambil di rumah ini mengingatkan Attar pada berbagai kenangan masa kecilnya yang buruk. Attar tidak menyukai itu. Hingga langkahnya terhenti di depan pintu kamarnya. Kamar yang dulu dia gunakan sejak kecil hingga lima tahun lalu sebelum memutuskan kabur dari bekerja pada Hanin. Walaupun hatinya masih berat, tetapi Attar berusaha tegar. Ia mengepalkan tangannya, memejamkan mata. Saat matanya terpejam, hal pertama yang terlihat dalam bayangannya adalah wajah Hanin yang ketakutan. Tak pernah Attar melihat majikannya ketakutan seperti itu sebelumnya. Bahkan separah apapun yang dilakukan Dikta, Hanin tak pernah berniat meminta pertolongan padanya untuk dibawa kabur. “Ini saatnya, Attar. Kamu harus menguatkan dirimu,” gumam Attar bertekad. Sejak dulu dia selalu ingin membawa Hanin keluar dari rumah itu, membuatnya bahagia dan tidak lagi mendapat siksaan. Inilah saat yang dia tunggu-tunggu. Attar tiba-tiba teringat nasihat Kakeknya tadi, kini Attar paham apa maksud kakeknya. “Aku harus bertambah kuat, aku harus memiliki kekuasaan untuk melindungi Hanin. Dikta Admaja… dia bukanlah lawan yang mudah, apalagi jika dibandingkan denganku yang tidak memiliki apa-apa,” gumam Attar, menyadari posisinya. ** “Shh.” Hanin terbangun dengan merasa pusing di kepalanya, ia mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap sekeliling bingung. Baru saja Hanin hendak mengutarakan pertanyaan di mana dia, tetapi ia kembali teringat kejadian semalam. Hanin bahkan masih mengingat jelas bagaimana rasa takutnya karena dikejar oleh Dikta hingga Attar membawanya ke kediaman keluarga Permana, sekaligus akhirnya dia tahu bahwa Attar adalah cucu dari Drajat Permana. “Anda sudah bangun Nyonya?” Sapaan itu membuat Hanin menoleh, ia mendapati seorang wanita paruh baya dengan seragam hitam putih yang khas. “Saya Lastri, saya ditugaskan oleh Tuan Besar untuk merawat Anda selama Anda tinggal di sini,” ucap wanita bernama Lastri itu. Ia meletakkan nampan berisi sarapan yang dibawanya ke atas meja dan membantu Hanin untuk bersandar di kepala ranjang. “Saya membawakan sarapan untuk Nyonya, Anda bisa memakannya dulu, lalu kemudian minum obat,” ucap Lastri lagi. “Minum obat?” tanya Hanin bingung. Ia teringat sesuatu, kemudian meraba keningnya dan mendapati lukanya telah ditutup dengan perban. Apa Attar yang melakukannya? “Semalam Tuan Muda memerintahkan saya untuk memanggil dokter keluarga dan Anda diminta untuk beristirahat yang cukup agar cepat pulih,” ucap Lastri dengan senyum ramah. Ah lagi-lagi Attar. Entah kemarin Attar sudah melakukan berapa banyak kebaikan untuknya. Namun ia malah bersikap tidak tahu diri dan menamparnya. Hanin menatap tangan yang ia gunakan menampar Attar semalam, perasaan bersalah menyelimuti hati Hani. Lastri menyiapkan meja kecil yang diletakkan di atas ranjang, ia kemudian menyusun semangkuk bubur dan teh di atas meja itu agar Hanin bisa sarapan dengan mudah. “Saya akan menyiapkan air hangat untuk Anda mandi, Nyonya. Silakan dimakan sarapannya dulu, setelah itu saya akan membantu Anda untuk bersih-bersih,” ucap Lastri lagi, ia membuka tirai jendela kamar Hani, kemudian melenggang masuk ke kamar mandi. Sejenak Hanin terdiam, merasa sungkan menerima semua perlakuan ini. Padahal dia sudah cukup bersyukur jika Kakek Attar memberikannya tempat berlindung. Namun sekarang dia malah diperlakukan sebagai ratu. Bahkan di kediaman Admaja pun dia tak pernah diperlakukan seistimewa ini oleh para bawahan Dikta. Saat Hanin mencicipi teh yang disajikan, matanya seketika membulat terkejut. “Ini … ini kan teh kesukaan aku, dan hanya Attar yah mengetahuinya,” gumam Hanin. Buru-buru dia mencicipi bubur tersebut. Benar saja, sesuai dugaannya, dari suapan pertama saja sudab mengingatkan Hanin dengan rasa masakan Attar yang selama ini selalu dibuatkan untuknya. “Lastri, apa … Attar yang membuat semua sarapan ini?” tanya Hanin memastikan begitu melihat Lastri keluar dari kamar mandi. “Benar, Nyonya. Tadi Tuan Muda menyiapkan semua sarapan itu dan meminta saya untuk mengantarkannya pada Anda,” ucap Lastri. “Beliau terlihat sangat senang saat memasak itu, dan berkata bahwa Anda pasti akan menyukainya.” Ada perasaan hangat yang seketika menyelimuti d**a Hanin. Ia tersentuh dengan perbuatan Attar, padahal Hanin telah melakukan hal buruk padanya semalam. Ia harus meminta maaf pada Attar! “Di mana dia sekarang? Aku ingin berbicara sesuatu dengannya,” ucap Hanin penuh semangat. “Mohon maaf Nyonya, tapi Tuan Muda telah pergi setelah membuatkan sarapan itu untuk Anda. Beliau diminta untuk ikut dengan Tuan Besar pagi-pagi tadi.” Raut wajah Hanin seketika berubah muram, ia menggenggam sendoknya lesu. Bahkan di saat Attar sibuk pun, dia masih menyempatkan waktu untuk memperhatikannya. “Anda tenang saja, saya akan menyampaikan pesan Anda ketika Tuan Muda pulang nanti, Nyonya,” ucap Lastri berusaha menenangkan hati majikan barunya. Mata Hanin seketika berubah menjadi berbinar, ia menatap Lastri penuh harapan. “Benarkah? Tolong katakan padanya bahwa aku ingin sekali bertemu dengan dia, ya!” “Pasti, Nyonya. Sekarang Anda harus segera menghabiskan sarapan Anda dan membersihkan badan. Pasti terasa lengket, apalagi semalam saya hanya menggantikan pakaian Anda dan tidak sempat membersihkan badan Anda,” ucap Lastri yang langsung diangguki oleh Hanin. Setelah menyelesaikan sarapannya, Hanin pun membersihkan tubuh dengan dibantu oleh Lastri. Awalnya Hanin menolak, tetapi Lastri bersikeras bahwa Hanin belum sepenuhnya pulih. Terbukti dengan beberapa kali Hanin hendak terjatuh dan oleng saat berdiri. Alhasil Hanin tak bisa melawan dan menolak tawaran Lastri lagi. Setelah berendam dan membersihkan tubuh cukup lama, Hanin pun kembali ke kamarnya. Namun, ia tiba-tiba saja teringat sesuatu. Dia tak memiliki pakaian ganti apapun di sini, nanya gaun pesta yang dikenakannya semalam. Sejenak Hanin menoleh, menatap tak enak pada Lastri. “Eum … apa kamu memiliki pakaian yang bisa kupinjami? Aku akan menggantinya nanti,” ucap Hanin. Ia merutuki dirinya yang bodoh. Sekarang pun dia tak memiliki apa-apa, dia tak tahu kemana perginya dompet dan ponselnya. Hanin tak membawa apa-apa saat kejadian semalam. Dia pun juga tak punya nyali untuk keluar dan mengurus kartu-kartunya yang hilang. Namun Lastri malah terkekeh kecil mendengar permintaan Hanin, membuat Hanin mengernyitkan kening bingung. “Ada apa? Apa ada sesuatu yang lucu?” “Tidak Nyonya. Masalah pakaian … Anda tidak perlu mengkhawatirkannya. Tuan Besar menghadiahkan beberapa pasang pakaian untuk Anda,” ucap Lastri seraya mengeluarkan sepasang pakaian santai dari lemari. Ia memberikan pakaian itu pada Hanin, kemudian membantunya untuk berganti pakaian. Hati Hanin kembali menghangat. Dia tak menyangka bahwa semua orang di kediaman ini adalah orang yang baik. Mereka bahwa memperhatikannya dengan sangat detail. “Bagaimana aku harus membayar jasa kalian? Tuan Drajat, kamu, dan … Attar, kalian semua sudah sangat baik padaku. Aku merasa sangat tersentuh,” ucap Hanin lirih. “Mengapa Anda berkata seperti itu Nyonya? Tentu saja, Anda kan adalah calon nyonya muda di rumah ini!” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN