Tolong, Jangan Pukul Aku

1361 Kata
“Bibii!” Hanin menyeru girang saat Lastri masuk ke kamarnya dengan membawa sarapan hari ini. Ia menatap penuh binar pada Lastri. Berharap pagi ini Lastri membawa serta Attar padanya juga. “Bagaimana? Bibi sudah sampaikan keinginkanku pada Attar kan? Sekarang dia di mana?” tanya Hanin antusias dan penuh harap. Lastri tersenyum tak enak pada majikannya, membuat senyuman Hanin seketika luntur, menyadari arti dari ekspresi Lastri itu. “Saya belum bertemu dengan Tuan Muda pagi ini, Nyonya. Beliau hanya memasak sarapan dan menaruhnya di atas meja, saya bahkan gak tahu kapan beliau pergi,” ucap Lastri melapor seraya menyiapkan sarapan Hanin di atas meja. Kepala Hanin tertunduk, ekspresi wajahnya tampak murung. Sudah dua hari dia tak bertemu dengan Attar. Pria itu pergi sangat pagi dan pulang sangat malam, jadi Hanin tak sempat mencarinya. “Nyonya … jangan murung seperti itu. Dokter kan bilang kalau Nyonya gak boleh stress biar cepat pulih,” ucap Lastri berusaha menghibur. “Tuan Muda mungkin sibuk, apalagi Tuan Muda baru mau belajar mengolah bisnis, pasti banyak hal yang perlu dipelajari.” Hanin hanya mengangguk pelan, mencoba mengerti sembari menyuapi sarapan buatan Attar ke dalam mulutnya. “Attar gak lagi jauhin aku, kan, Bi?” tanya Hanin menduga. “Mungkin dia marah… karena aku sudah tampar dia malam itu.” Dugaan itu membuat Hanin berpikiran negatif, takut jika perbuatannya malam itu benar-benar membuat Attar tersinggung dan mengira dia adalah orang yang tak tahu diri. Padahal Attar telah berusaha menyelamatkannya dan memberikan tempat perlindungan untuknya. “Aduh, Nyonya ini. Sudah, sudah. Lebih banyak Nyonya habiskan sarapannya, setelah itu saya akan mengajak Nyonya untuk berkeliling rumah,” ucap Lastri mengalihkan kesedihan nyonyanya. Daripada terkurung di dalam kamar dan terus berpikiran buruk, Lastri kira lebih baik jika Hanin menyegarkan pikirannya dan berjalan-jalan di rumah ini. Mungkin bisa membuat Hanin teralihkan dari pikiran buruk itu. “Memangnya boleh, Bi?” tanya Hanin takut-takut sekaligus ragu. Lastri tersenyum kecil. “Tentu saja boleh dong, Nyonya. Masa keliling doang gak boleh. Lagian gak bakal ada yang marah, ini kan bakal jadi rumah Nyonya juga nanti … setelah menikah dengan Tuan Muda,” ucap Lastri disertai godaan ringan. Lagi-lagi godaan itu mampu membuat pipi Hanin bersemu. Dia sendiri tak tahu kenapa bisa tubuhnya bereaksi seperti itu. Padahal selama bersama Dikta dulu, seromantis apapun hal yang dilakukan Dikta, dia tak pernah merasa tersentuh ataupun senyum malu. “Sudah habis!” ucap Hanin setalah menyelesaikan sarapannya dengan penuh semangat. Dia sudah tak sabar untuk berjalan-jalan seperti kata Lastri. Sudah terlalu sumpek di kamar seharian penuh. “Nyonya bersih-bersih dulu terus ganti pakaian, baru setelah itu kita keliling. Biar lebih nyaman,” ucap Lastri. Hanin membenarkan ucapan Lastri. Saking semangatnya, dia sendiri bahkan lupa kalau masih memakai pakaian tidur dan belum mandi. Aish, benar-benar memalukan! Setelah selesai bersih-bersih dan kini memakai pakaian santai, Hanin dan Lastri pun siap untuk berkeliling kediaman Permana. Pertama-tama Hanin dibawa dan dikenalkan dengan ruangan-ruangan yang ada di lantai dua. “Lantai dua itu kebanyakan diisi sama kamar, Nyonya. Ada lima kamar utama, dan sisanya kamar tamu,” ucap Lastri bercerita. “Lima?” ulang Hanin bingung. Pasalnya sejauh Hanin berada di rumah itu, dia hanya bertemu dengan para pelayan, Attar dan Drajat. Tak ada orang lain. Lastri mengangguk. “Kamar pertama milik Tuan Besar, kemudian ada juga kamar milik anak-anak Tuan Drajat, tetapi semuanya telah wafat, jadi kamar itu kosong. Satu milik Tuan Muda dan satunya lagi milik Nona Muda,” ucap Lastri. Sejenak Hanin terhenyak mendengar penjelasan Lastri. “Anak-anak Tuan Drajat … berarti termasuk orang tua Attar?” tanya Hanin memastikan tebakannya. “Betul, Nyonya,” sahut Lastri membenarkan. “Jadi … kedua anak Tuan Drajat sudah wafat ya,” lirih Hanin turut berduka. “Di rumah sebesar ini … pasti beliau merasa kesepian, apalagi setelah Attar keluar dari rumah ini.” Lastri melirik Hanin yang sibuk bergumam dengan isi pikirannya, tetapi masih mampu mendengar apa yang diucapkan olehnya. “Lalu tadi Bibi mengatakan Nona Muda? Siapa itu?” tanya Hanin penasaran. Sejauh ini dia belum bertemu dengan Nona Muda yang disebutkan itu. Keluarga Permana memang keluarga yang terpandang dan konglomerat, tetapi sejauh ini tak pernah ada yang mengetahui jelasnya silsilah keluarga Permana. Hanya Drajat Permana yang paling eksis di dunia bisnis dan anak-anaknya yang beberapa kali menghadiri acara penting, sisanya disembunyikan dan misterius. Sebab itu Hanin tak mengetahui pasti siapa saja anggota keluarga Permana. Termasuk Attar yang baru saja dia ketahui, jadi tak heran jika Hanin terkejut. “Nona muda itu cucu pertama Tuan Drajat, beliau adalah anak dari mediang Tuan Abi dan Nyonya Helena,” ucap Lastri menjelaskan. “Namanya Nona Sierra.” Hanin hanya mengangguk-angguk tanda paham dengan penjelasan Lastri. “Lalu di mana dia? Aku belum pernah melihatnya, apalagi malam itu dia juga gak ada di sini kan?” tanya Hanin semakin penasaran. Ke depannya Hanin akan tinggal sedikit lama di rumah ini, jadi menurutnya dia membutuhkan banyak informasi mengenai penghuni di kediaman ini. Hanin harus bisa menyesuaikan diri agar tidak membuat masalah dan menyulitkan dirinya maupun Attar. “Nona Sierra gak tinggal di sini, Nyonya. Beliau tinggal di apartemennya dan sedang menyelesaikan pendidikan saat ini. Beliau juga udah lama gak pulang ke rumah ini semenjak kedua orang tuanya wafat,” ucap Lastri. Hanin semakin merasa iba dengan Drajat Permana. Pria itu seharusnya berada di masa pensiunnya dan menikmati hari tua bersama anak dan cucunya. Namun apa daya, nasibnya sungguh malang. Kedua anak dan menantunya malah pergi lebih dulu, sementara cucunya seolah memiliki jarak dengannya. “Makanya saya senang setelah Nyonya dan Tuan Muda datang ke rumah ini. Jadi gak begitu sepi, mungkin nanti Tuan Besar bisa sedikit terhibur dengan kehadiran kalian,” ucap Lastri lagi. “Kalau boleh tahu Bibi bekerja di sini sudah berapa lama?” tanya Hanin penasaran, pasalnya Lastri seolah mengetahui begitu banyak seluk beluk rumah ini dan penghuninya. Pastilah bukan waktu yang singkat yang dihabiskan Lastri mengabdi di kediaman ini untuk mengetahui itu semua. “Saya bekerja di rumah ini sejak umur 12 tahun, ikut Ibuk saya yang dulu juga bekerja di sini. Setelah Ibuk gak ada, saya yang meneruskannya, apalagi Tuan Besar juga sudah percaya pada saya. Sejak anak-anak Tuan Besar menikah sampai memiliki anak, saya menyaksikan semuanya,” ucap Lastri. Ada perasaan bangga tersendiri yang tampak jelas di wajah wanita itu, seolah mengabdi pada keluarga Permana merupakan hal yang membahagiakan untuknya. “Saya sudah mengurus Tuan Muda sejak lahir, tapi sekarang saya berharap diberi umur panjang oleh Gusti Allah dan bisa mengurus anak kalian nanti. Pasti anaknya akan lucu-lucu, apalagi Tuan Muda kan tampan dan Nyonya juga sangat cantik.” Ucapan yang tiba-tiba berbeda arah itu membuat Hanin tersedak dengan air liurnya sendiri. “Uhuk, uhuk!” Ia dibuat terbatuk-batuk sampai Lastri menjadi panik dan menanyakan keadaannya. “Anda gak apa-apa, Nyonya?” tanya Lastri khawatir. Hanin mengangguk pelan, mengontrol napasnya. “Aku gak apa-apa kok, Bi. Cuma … tolong jangan berpikir begitu jauh dulu. Masih panjang perjalannya, Bi,” ucap Hanin mengelak. “Semua kan harus direncanakan. Saya doakan semoga nanti setelah kalian menikah cepat diberi momongan, biar rumah ini ramai lagi. Sudah lama saya gak dengar suara bayi di rumah ini, Nyonya,” ucap Lastri semakin menjadi-jadi. Hanin sendiri hanya bisa memasang senyum kecil sembari meremas jemarinya di bawah. Membicarakan soal anak membuat Hanin kembali mengingat masa-masa di kediaman Dikta. Matanya terpejam saat bayangan Dikta melakukan kekerasan padanya kembali terlintas, bulir keringat dingin kembali membasahi wajah dan tangannya. Napas Hanin menjadi memburu. “Perempuan mandul! Sialan!” “Aku sudah mengeluarkan banyak uang untukmu, tapi kamu sama sekali gak berguna!” Suara Dikta yang memakinya memenuhi kepala Hanin, membuat langkah Hanin terhenti dan tubuhnya oleng. Seolah pembahasan mengenai anak tadi menjadi pemicu traumanya kembali muncul. Lastri menyadari ada yang tak beres dengan majikannya, ia segera mengguncang bahu Hanin untuk mengembalikan kesadarannya. “Nyonya! Nyonya! Anda mendengar saya?” panggil Lastri. Namun, Hanin sama sekali tak memberikan jawaban, membuat Lastri semakin panik dibuatnya. “Ti-tidak! Tidak … tolong jangan … jangan pukul aku lagi!” racau Hanin tidak jelas. “Nyonya! Sadar Nyonya, gak ada yang mau pukul Nyonya sekarang!” Lastri masih terus berusaha untuk mengembalikan kesadaran majikannya. Namun nihil. “Ada apa ini?” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN