12. Terlahir Beda

1176 Kata
Tak biasanya seluruh anggota keluarga Huzam berada di rumah. Hal itu tentu membuat Huzam merasa tidak nyaman mengingat saat di sekolah tadi ia sudah dihadapkan dengan beberapa persoalan. Bintang yang jelas lebih senang berada di dalam kamarnya sendiri berpura tidak mendengar percakapan di luar kamarnya. “Pokoknya cariin. Nggak mau tau aku, harus cariin.” Suko tampak memulai obrolan dengan Ningtiyas. “Cariin di mana, Mas? Mana ada uang segitu. Buat makan aja susah.” “Lah ini buat modal. Aku mau balik ke Jakarta.” “Mas mbok ya mikir. Mana bisa aku dapat uang segitu, Mas. Cari uang sendiri. Kemarin-kemarin Mas kerja uangnya ke mana?” Ningtiyas cukup geram. Sudah hampir tiga minggu suaminya itu melakukan pekerjaan di luar daerah dan masih saja tidak mendapatkan apa-apa. “Lah ini uangnya kurang. Kamu nggak paham ya, modal apa-apa sekarang gede. Mana cukup uang yang aku punya,” kilahnya. Padahal sepeser pun ia sudah tidak ada. Ningtiyas menghela napas. Sungguh menikah dengan Suko bukanlah sebuah hal baik. Sebelumnya ia kira kehidupannya akan diangkat barang sedikit saja derajatnya. Rupanya Suko tak ubahnya benalu yang terus menggerogoti keluarganya. Suko tak melanjutkan obrolannya. Ia tahu dua anak tirinya sudah pulang sekolah. Suatu hal yang di luar kebiasaan. Biasanya, setelah ashar mereka baru menampakkan diri. Mungkin, polanya berubah saat ia bekerja di luar daerah. Begitu pikirnya. Suko pun mendudukkan diri di ruang tengah. Berencana untuk mengisi perutnya yang lapar. “Loh, nggak ada makanan? Belum siap?” tanyanya dengan sedikit berteriak. Ningtiyas yang masih sibuk di dapur menanak nasi pun menghela napas lagi. Selain selalu memaksakan kehendak, Suko tidak sabaran. “Belum matang,” sahut Ningtiyas. “Jam segini belum matang? Kerjaanmu ngapain aja!” teriak Suko. Ia sudah sangat lapar. Ningtiyas pun berusaha membawa mangkuk berisi mie instan yang sudah ia masak. Siang ini, keluarga mereka akan menyantap menu itu. Ia baru saja mendapatkan beberapa bungkus dari majikannya. “Apa? Cuma mie?” tanya Suko begitu mangkuk itu tersaji di meja. Ningtiyas mengangguk. Suko pun berdiri. Rasanya ia ingin memakan banyak orang hari ini. Setelah apa yang terjadi di tempat ‘kerjanya’ saat di rumah ia masih harus mendapatkan perlakuan yang sama. “Adanya, Mas. Bisa untuk mengganjal perut.” “Kamu mau aku penyakitan, hah? Tiap hari makan mie instan?” “Tiap hari? Mas makan mie tiap hari?” tanya Ningtiyas. Apakah pekerjaan suaminya seburuk itu? “Pokoknya aku nggak mau tau. Cariin nasi sana. Nggak mau aku makan mie.” Ningtiyas mendesah. Pada tahap seperti ini harusnya suaminya sadar diri. Bukan malah bersikap seenak sendiri. “Nggak ada, Mas.” “Harus ada.” “Cari di mana? Pakai uang apa, Mas?” “Uangmu. Setiap hari kamu jadi buruh cuci.” “Buat sekolah anak-anak sama buat beli s**u Rahma.” “Sekolah? Mereka pakai beasiswa. Sepeser pun tidak membayar.” “s**u Rahma, Mas. Anak kita.” Suko menatap sinis Ningtiyas. Ia maju beberapa langkah. Kemudian menarik rahang Ningtiyas. “Nggak usah bawa-bawa Rahma. Dia belum tau apa-apa,” ujar Suko. Paling benci saat putrinya menjadi alasan. Baginya, Rahma hanyalah kecelakaan. Ningtiyas tergagap. Ia tak bisa menjawab. Suko selalu ringan tangan. Bisa saja setelah ini pria itu justru melakukan hal-hal yang mengerikan. Beruntung tangisan Rahma menghentikannya. “Anak setan! Berisik aja kerjaannya!” teriak Suko sambil mengempaskan tubuh Ningtiyas. “Aduh!” seru Ningtiyas. Bintang yang sejak tadi berada di dalam kamar pun mulai panas hati. Ia tutup telinganya sedari tadi agar tidak mendengar perdebatan ibu dan ayah tirinya. Baginya, saat ayah tirinya itu berada di rumah adalah sebuah bencana. Sementara di kamar lain, Huzam mengepalkan tangan. Ia bisa saja meninju wajah ayah tirinya itu. Namun, ia mengerti hal itu hanya akan membuat ibunya berada dalam kesusahan. Huzam pun menyambar jaket hitam miliknya. Melarikan diri dari neraka adalah cara terbaik. “Mau ke mana kamu?” sergah Suko. Pria itu sudah pindah ke ruang tamu. Huzam tak menjawab. Sejak dulu ia tak pernah berbicara dengan pria itu. Baginya, Suko hanyalah parasit menyebalkan. “Heh! Tuli kamu?!” bentak Suko. Masalah mi instan saja dia marah apalagi tentang Huzam. Tanpa pernah berniat melihat atau pun menanggapi ucapan ayah tirinya, Huzam berlalu begitu saja. Ia berjalan cepat ke arah teras. Untuk kemudian pergi bersama motor bisingnya. “Anak setan! Anak kurang ajar! Anak nggak tau adab!” seru Suko. Di rumah kecil ini tidak ada yang berjalan sesuai dengan kehendak hatinya. *** Huzam terus membawa sepeda motornya. Melaju kencang di jalanan. Satu hal yang selalu ia syukuri, ia memiliki sepeda motor dengan knalpot yang cukup untuk merusak gendang telinga. Setidaknya saat hal-hal semacam tadi terjadi ia masih bisa pergi tanpa perlu mendengarnya. Tentu hal yang paling ia benci dari ayah tirinya itu adalah : sudah miskin tapi tidak tahu diri. Huzam mengencangkan gas di tangan kanan. Ia harus bergegas agar hatinya tidak kebas. Pulang lebih awal tanpa mendapat hukuman rupanya malah membuatnya bingung harus melakukan apa. Jika di sekolah meski diawasi serta harus melakukan aktivitas fisik yang cukup berat ia lebih merasa baik-baik saja dibandingkan seperti ini. Huzam membelokkan sepeda motornya. Ia sengaja melewati jalanan di belakang kawasan candi. Satu kegiatan yang cukup membuatnya terhibur. Menatap bangunan megah itu dari sudut lain selalu membuatnya lebih baik. Siang ini ia harus ke atas. Maka segera Huzam menuju tempat parkir khusus sepeda motor untuk kemudian menemui Jaka yang memiliki akses masuk tanpa perlu melewati bagian tiket. “Panas, Zam siang-siang,” ujar Jaka. Sesuai dugaan Huzam, temannya itu sedang membantu orang tuanya. “Nggak masalah.” “Sore aja. Ntar tak temenin. Niken sekalian diajak.” Huzam berpikir sejenak. Memang matahari sedang terik-teriknya. Tetapi, jika tidak sekarang, apa yang akan ia kerjakan? “Bantuin aku dulu.” “Bantuin?” Jaka mengangguk. Hari ini ia mendapat tugas khusus dari orang tuanya. Kebetulan tidak seperti biasa. “Kamu bisa nyetir mobil, kan?” Huzam mengangguk. Dia salah satu yang mahir setelah mengikuti kegiatan ekstra di sekolah. “Sip kalau begitu. Bentar ya.” Huzam pun dibuat bingung dengan sikap Jaka. Apa mereka akan jalan-jalan? “Buk aku nemu supire!” seru Jaka dari luar kios. Jaka—meski orang tuanya tak sekaya Roni, jauh lebih beruntung dibandingkan Huzam. Ayah dan ibunya bekerja di salah satu kios yang berada di dalam kawasan taman Candi Borobudur. Menyediakan berbagai macam baju-baju batik, daster, juga kaos dan aksesoris lainnya. “Sopo, Le?” “Huzam,” jawab Jaka sambil menunjuk temannya. Huzam pun mengangguk. “Yakin koe?” Jaka mengangguk mantap. “Nunggu bapak kelamaan, Bu.” Sedikit ragu ibunya Jaka menerima usul sang putra. Meski sudah berteman sejak SMP, ibunya Jaka masih sedikit tidak nyaman dengan sikap serta latar belakang keluarga Huzam. “Yow we, yow, wes. Mobile di rumah, yo. Iki kuncine. Kancamu nggowo motor, to?” “Iya, Bu. Siap.” Jaka tersenyum senang. Hari ini ia bisa membantu orangtua sekaligus temannya. Huzam yang masih belum paham tujuan Jaka mengekor di belakang. Setidaknya ia tidak merasa bosan jika ada satu kegiatan. Rumah sedang tidak bisa menjadi tempatnya singgah. Ia hanya akan membuat tekanan darahnya tinggi jika terus-terusan berada di sana. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN