11. Pengabdian

1396 Kata
Pagi ini menjadi yang tersibuk bagi Huzam. Setelah beberapa hari diharuskan melakukan apel pagi bersama Jaka dan Niken. Roni, lagi-lagi membolos. Ia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tidak ada pertemuan di kelas juga pembelajaran praktik selama mereka menjalani hukuman. Khusus untuknya dan dua temannya, hanyalah melakukan berbagai macam kegiatan positif yang dilabeli ‘pengabdian’ oleh wali kelasnya. Salah satunya adalah membersihkan mushola.                “Ini namanya penyiksaan. Sengaja memanfaatkan keadaan,” gerutu Niken. Tentu ia merasa dirugikan dengan hukuman yang diberikan oleh wali kelasnya.                “Mending bersihin mushola, kita kemarin ya, Zam,” ujar Jaka. Tak mungkin ia melupakan bagaiman kotornya toilet putra.                Huzam tak menanggapi. Ia memilih untuk menyalakan vacum cleaner yang baru saja diberikan padanya. Lebih tepatnya dilimpahkan.                “Nggak boleh sampai rusak. Hati-hati memakainya,” ucap salah satu petugas kerbersihan sekolah.                “Nggih, Pak.”                “Tak tinggal sebentar ke belakang, jangan sampai ada yang kabur apa lagi keluyuran.”                “Nggih, Pak,” seru Jaka, Niken dan Huzam bersamaan.                “Sip, sip. Sebelum jam setengah dua belas sudah harus bersih, ya.”                “Nggih.”                Huzam pun terkekeh. Perkara seperti ini saja mereka bertiga diawasi. Sungguh hal yang sangat lucu. Huzam kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya.                Dari luar mushola, Bintang yang sebelumnya diminta mengawasi mereka berlari cukup kencang. Ia seperti tak sabar untuk menyampaikan sesuatu untuk murid-murid itu.                “Noh, adikmu noh,” ujar Jaka. Bintang selalu terlihat di mana-mana.                Huzam pun memerhatikan ke arah di mana Bintang berada. Tampak sebuah buku berada digenggamannya.                “Mas sini!” serunya.                Huzam yang jelas tidak mengira dengan seruan itu pun terpana. “Aku?” tanyanya sambil menunjuk diri sendiri. Bintang mengangguk. “Dah sana. Ndak malah jadi masalah lain,” celetuk Niken. Ia sudah menggerakkan sapu yang ia dapat dari petugas kebersihan. Huzam pun melangkah keluar dari area mushola. Nampaknya Bintang enggan melepas sepatu, sehingga lebih memilih kakaknya untuk mendatanginya. Huzam sedikit mengerti. “Ada apa?” “Ikut aku Mas.” Sontak Huzam terkejut. “Ngapain? Aku lagi dihukum.” “Penting.” Nampak jelas kekhawatiran di wajah Bintang. “Tentang apa? Bilang dulu.” Bintang menghela napas. Ia sendiri ragu harus mengatakannya langsung atau tidak. Ia baru saja melihatnya. “Apaan? Kalau nggak ada mau lanjut bersih-bersih biar cepet kelar.” Bintang pun mendekat. Ia meminta agar Huzam sedikit membungkuk untuk menyesuaikan tinggi badannya. Setelah itu Bintang berbisik. “Roni mau keluar. Sekarang dia di ruang BK sama orangtuanya.” Mata Huzam membola. “Roni?” Bintang mengangguk. Ia merasa perlu memberitahukan pada kakaknya mengingat satu hal yang baru saja ia dengar sangatlah tidak mengenakan. Ia tidak mungkin mengatakannya langsung pada kakaknya. Ia tahu bagaimana kenakalan sang kakak, tapi ia tetap tak terima saat ada orang berkata seperti itu untuk mereka. “Aku mau ke sana,” ujar Huzam. Ia merasa perlu bertemu Roni. Bintang menggeleng. “Lain waktu aja, Mas.” “Kenapa begitu? Aku harus ketemu dia. Kenapa dia keluar?” Bintang menghela napas. “b**o amat, sih. Ya karena orangtuanya udah gak suka dia sekolah di sini. Bu Ziya aja ampe keteteran tadi, upsss!” “Bu Ziya? Diapakan Bu Ziya?” Bintang menggeleng lagi. “Nggak apa-apa. Dah, sekarang Mas balik bersih-bersih. Tadi ada titipan dari Bu Ziya kalau bersih-bersihnya harus selesai sebelum waktu solat duhur tiba. Terus nanti kalian bertiga ikut jamaahnya di mushola depan.” “Hmmmm.” “Ya udah aku balik, Mas.” Bintang bersiap meninggalkan area mushola yang jauh lebih besar itu. Berbeda dengan area mushola di bagian depan sekolah yang memang lebih kecil dan diperuntukan untuk para tamu. Huzam mendesah. Bagaimana bisa Roni keluar di saat mereka semua mendapatkan hukuman? *** Ziya duduk bersila di dalam mushola depan. Ia yang memang menunggu ketiga muridnya selesai membaca istighfar beberapa kali. Sungguh hari ini tak mengenakan. Terlebih apa yang disampaikan oleh orang tua Roni. “Saya nggak mau tau. Mulai sekarang anak saya sudah nggak di sini lagi. Percumah sekolah di tempat yang nggak bener.” “Maaf, Pak. Maksud Bapak apa, ya?” tanya Muslim berusaha menenangkan. “Masa anak saya yang harusnya dihukum di sekolah bisa keluyuran sampai malam. Masa dia yang harusnya mendapatkan sanksi justru enak-enakan melakukan banyak hal di luar sekolah.” Muslim mengela napas. Nampaknya ibu tiri Roni langsung bertolak ke sekolah setelah pulang dari perjalanannya. Dari penampilan tampak jelas masih menggunakan outfit yang belum disesuaikan. “Mohon maaf sekali Pak kalau Bapak ternyata sudah mendengar kabar itu. Ya, kemarin setelah pertemuan bapak dan ibu dengan pimpinan, Roni memang tidak berada di sekolah atau lebih tepatnya melarikan diri.” “Sudah tau begitu, nggak ada yang ngubungin saya? Nggak ada yang kasih kabar tentang itu?” protes Hardi. Ia benar-benar merasa dibodohi. “Mohon maaf sekali, Pak. Bukan kami tidak bermaksud untuk menghubungi, tetapi kami tau bahwa bapak dan ibu sedang dalam perjalanan.” “Iya, Pak. Bener kata gurunya Roni. Kita juga udah pamit,” timpal Yuna. Buatnya Pak Muslim jauh lebih menyenangkan untuk diajak bicara dibandingkan wali kelas Roni. “Tapi, Mah ini jadinya Roni seenak sendiri. Satu minggu full di rumah tanpa ada kegiatan yang jelas.” Yuna menggeleng. “Nggak begitu, Pak. Kita dengarkan dulu penuturan wali kelasnya yang udah jemput Roni. Coba apa tanggapannya.” Ziya terdiam. Perempuan yang masih cukup muda itu mulai menyeretnya. Ya, memang salahnya tidak bisa menghandle Roni dengan baik. “Mohon maaf, Pak, Bu, ini memang kesalahan saya. Ketidakmampuan saya mengurus Roni,” tutur Ziya. Ia sudah kalah banyak langkah. “Sekarang bagaimana, Bu? Anak saya makin berani itu,” ungkap Hardi. Pagi tadi ia baru saja meluapkan emosinya untuk sang putra. “Bapak ngapain pusing? Ya kita tarik saja anak kita. Kita pindahkan saja.” Muslim dan Ziya tersentak. Seharusnya opsi itu tidak ditawarkan lagi. Roni sudah kelas dua belas dan akan sulit untuk melakukan pindah dengan sisa waktunya. “Nanti Roni nggak bisa ikut ujian, Mah.” “Bisa, Pak. Kita cari sekolah yang mampu menampung anak kita. Tidak sekolah yang bilangnya mau ngejagain malah nelantarin.” Yuna menatap sinis ke arah Ziya. Ia entah sebab apa menjadi tidak suka dengan wali kelas baru putranya itu. Hardi mengangguk. Rasanya berat sekali mendampingi Roni. Semenjak istrinya meninggal, ia kewalahan. Hardi sangat kecewa. “Begini saja. Saya minta buatkan surat pindah untuk anak saya. Juga segala macam administrasinya. Per hari ini anak saya nggak di sini lagi,” ujar Yuna ketus. Muslim menghela napas. Ini yang paling ia hindari. Selama ini ia enggan berurusan dengan anak salah satu donatur sekolah itu. Bukan apa-apa ujungnya hanya akan menyusahkan mereka sendiri. Sementara Ziya terdiam. Ia jelas tak tahu akan hal-hal semacam itu. Ia masih tak percaya akan seperti ini reaksi yang diberikan oleh keluarga Roni. Kata pengabdian yang ia gunakan untuk memperhalus kata hukuman rupanya tetap tidak mempan. Semua menjadi tak berarti tatkala Roni sendiri melanggar aturan setelah ia jemput paksa di rumahnya. *** Ziya mengusap wajahnya kasar. Sepertinya ia terlalu berani dan tidak bertindak hati-hati. Ziya tentu sudah melewati batas bagi sebagian orang. Pantas saja selama ini reaksi Bu Raimuna juga guru yang lain tampak tidak menyukai setiap aksinya membela empat sekawan yang selalu membuat masalah. “Bu,” ujar Niken. Salam mereka tidak dijawab. “Oh, kalian? Maaf, maaf.” Huzam memerhatikan wali kelasnya. Tak biasanya guru mungil nan enerjik itu terlihat murung di sekolah. “Silakan duduk,” ujar Ziya kepada tiga muridnya. “Baik, Bu.” “Saya ada pengumuman. Hari ini waktu hukuman kalian diperpendek. Setelah solat jamaah, kalian diizinkan pulang seperti yang lain.” “Serius, Bu?” tanya Niken tak percaya. Satu minggu ini mereka selalu yang terakhir pulangnya. “Iya. Tapi mulai senin kalian tidak di sini.” Sontak Niken, Jaka dan Huzam membelalak. “Mak—sud, Ibu?” Ziya mendesah. Memang sudah waktunya. “Pengabdian kalian diganti di pondok pesantren. Sesuai kesepakatan awal kita selama dua minggu penuh di sana.” Jaka dan Huzam tak bisa berkomentar. Rupanya wali kelasnya belum lupa tentang hukuman yang sesungguhnya. Mereka kira setelah beberapa hari rutin menuruti semua perintah, mereka akan terhindar dari pondok pesantren. Ternyata sama saja. Ziya membenarkan frame kacamatanya. Ia hanya diberi waktu dua minggu untuk mendisplinkan murid-muridnya. Cukup berat ia rasa mengingat beberapa pihak sudah memintanya mundur saat membahas tiga muridnya. Namun, Ziya tak bisa. Ia ingat pesan abahnya, ia jaga baik-baik amanah itu. “Pertahankan. Kalau bisa sampai diluluskan semua. Abah mau tiga puluh empat siswa itu diwisuda sama kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN