13. Kebetulan

1277 Kata
“Nggak salah, Jak?” Jaka menggeleng. Hari ini memang ia ditugaskan mengantar barang ke salah satu hotel ternama di Borobudur. “Emangnya boleh masuk?” tanya Huzam heran. Setahu ia, hanya orang-orang tertentu saja. “Ada paswordnya dong, Zam.” Huzam menatap penuh tanya ke arah temannya. Namun, Jaka tak menghiraukan. Ia terus berjalan mendekati pagar pembatas hotel tersebut. Jaka merasa sangat bangga. “Permisi, mau apa kalian?” tanya salah satu security yang dari kedatangan mereka sudah mengamati. “Saya mau antar pesanan, Pak,” jawab Jaka. “Pesanan? Pelanggan hotel dilarang memesan makanan dari luar.” “Maaf, ini bukan makanan, Pak. Ini kain,” ralat Jaka. Ya, ibunya bilang ia hanya perlu mengantar beberapa kain itu. Tampak security melakukan panggilan melalui HT. Ia menanyakan apa benar ada hal semacam itu di kawasan hotel. “Pak Anggoro. Pesanan Pak Anggoro,” sambar Jaka. Ia hampir saja melupakan pesannya. Security tersebut pun menyebutkan nama ‘Anggoro’ melalui sambungan yang belum terputus itu. “Baik, Pak. Baik,” ujarnya. Jaka melempar senyum. Jelas pasword yang ia gunakan tak mungkin salah. Ibunya sudah mewanti-wanti kain itu harus diterima langsung oleh Pak Anggoro. “Kalian boleh masuk,” ucap Security sedikit merasa keberatan. “Aku bilang juga apa, Zam.” Huzam terpana. Bagaimana bisa? Seingatnya minimal harus melakukan pemesanan satu hari sebelumnya. Atau kalaupun tidak, orang-orang seperti dirinya dan Jaka mustahil rasanya. “Sebentar,” sergah security itu lagi. Huzam dan Jaka pun berhenti. “Sebanyak itu?” tanya pria itu melihat apa yang dibawa Jaka. “Iya, Pak. Dua lusin.” Security mengerutkan kening. Aneh rasanya dua bocah berusia tanggung mengantar barang ke hotel. Security itu pun mencoba meraih bingkisan yang dibawa Huzam. Tangannya mulai terulur. “Biarkan mereka masuk!” seru seorang laki-laki yang tampak berlari ke arah mereka. Sontak menghentikan aksi security tadi. “Mereka tamu kami,” imbuhnya setelah sampai. Jaka mengembangkan senyum. Asisten Pak Anggoro berinisiatif menjemputnya. Ia mengangguk sebagai bentuk penghormatan . “Ikut saya,” ujar pria tersebut. “Baik, Pak.” Segera Jaka dan Huzam melewati sebuah lorong dipandu oleh pria misterius itu. Huzam yang tentunya baru pertama kali memasuki kawasan hotel ternama itu cukup takjub. Bagaimana bangunan-bangunan di sana tersusun begitu apik dan menyatu dengan alam. Sesuai namanya Aman Jiwo. Memang terasa sekali atmosfir itu. “Letakan di sana,” ujar pria misterius itu setelah mereka sampai di salah satu bangunan yang ditengarai oleh Huzam dan Jaka sebagai tempat menginap pria tersebut. “Tidak masuk, Pak?” tanya Jaka polos. Pria tersebut mengukir senyum ganjil. “Sejak kapan pengantar kain sampai masuk ke dalam? Ayahmu tidak memberitahu?” Jaka pun dibuat ciut dengan tatapan pria misterius itu. Ia tak menyangka tugas dari ibunya cukup menyulitkan. “Ma—af,” ujar Jaka. “Ini. Silakan antarkan ke ayahmu. Kekurangan kain lain akan diberitahukan lebih lanjut melalui telepon.” “Bai—k, Pak.” Huzam berusaha tetap tenang. Dari segi usia ia dua tahun lebih tua dari Jaka. Yang ia lakukan justru melemparkan pandang ke seluruh penjuru area itu. Kolam renang, vila atau mungkin penginapan di dekatnya, pemandangan indah dan kemewahan. Itu yang ia tangkap. Rupanya di sekitar tempat tinggalnya ada tempat seperti ini. Ya, dia memang sudah sering mendengar, tapi belum pernah melihatnya secara langsung. “Ajak temanmu pergi juga,” ujar pria misterius itu. Huzam tampak tak berhenti mengamati sekitar. “Baik, Pak.” Jaka pun menarik tangan temannya. “Udah?” tanya Huzam sadar dari keterkejutannya. “Udah. Ayo buruan balik.” Huzam pun mengernyit. Hanya sebatas ini? Namun, Jaka lebih dulu menariknya. Huzam kembali melangkah. Meninggalkan tempat yang menurutnya tampak mengagumkan. “Emangnya isisnya kain apa, Jak? Sampai diantar begitu?” tanya Huzam saat mereka sudah berada di mobil milik ayah Jaka. “Nggak tau. Ibu juga nggak bilang. Cuma diminta nganter.” “Oh, menerima jasa antar begitu?” Jaka menggeleng. Ia merasakan hal aneh selama mengantar kain tadi. “Langsung rumah, nih? Apa candi lagi?” “Candi, lah. Antar duitnya dulu ke ibuku. Ntar dikira aku nilep duitnya.” Huzam terkekeh. Separah apa pun sikap mereka selama ini. Sejelek apa pun nama mereka di sekolah, Jaka tetap anak yang paling jujur. Ia sangat takut dengan ayah ibunya meski kadang suka kesal dengan sikap orang tuanya. *** “Blas nggak ada titipan?” tanya ibunya Jaka begitu mereka sampai. “Nggak ada, Bu. Katanya sisanya dibahas ditelepon. Nanti pihak mereka menghubungi ayah.” Ibunya Jaka pun merenung. Aneh. Tidak seperti biasanya. “Hanya ini?” tanyanya sambil melirik ke arah Huzam. “Astaghfirulloh, Bu. Iya, mana mungkin kita nggak jujur.” Jaka risih dengan sikap sang ibu. “Ya sudah kalau begitu. Kalian kembali ke rumah saja. Mobil parkir di garasi.” “Ya, Bu. Tapi ....” “Tapi apa?” “Buat beli es teh to, Bu,” ucap Jaka. Ia marasa perlu membalas jasa Huzam juga. “Heh, rugi bandar kalau minta bantuan kamu,” ucap ibunya Jaka kesal. Namun, ia tetap memberikan uang untuk putranya. “Makasih, Bu.” “Nggak kluyuran. Kamu di rumah aja sampai bapak pulang.” “Siap!” seru Jaka sambil bersiap pergi. Huzam yang meski mendapatkan tatapan tak suka dari ibunya Jaka bersikap biasa. Ia tidak keberatan sama sekali. Ia paham beberapa orang memang menganggapnya layaknya sampah. Seseorang yang tidak mungkin bisa menjadi orang baik dan berhasil. Sepanjang perjalanan Jaka terus memikirkan tentang pertemuannya dengan pria tadi. Sementara Huzam fokus mengemudi. Ia tak terlalu ambil pusing. Hanya saja ia harus memikirkan akan pergi ke mana. Jaka tidak mungkin ia ajak keluyuran seperti biasanya, Niken belum membuka warung tenda dan Roni masih belum jelas apakah masih di rumah atau di mana. Huzam memikirkan kepahitan hidup kalau ternyata ia harus kembali ke rumahnya. Sungguh memuakkan. “Thank you, Zam,” ujar Jaka begitu mobil ayahnya terparkir rapi di garasi. “Sama-sama, lah. Kaya sama siapa aja.” “Nih, Zam.” Jaka menyerahkan uang dua puluh ribuan yang tadi ia dapatkan dari sang ibu. “Buat?” “Beli es teh.” “Ogah. Aku nolong nggak nyari es teh, Jak. Buat kamu aja.” “Serius aku, Zam.” “Aku juga serius. Males kalau begitu.” Jaka terkekeh. Huzam selalu bisa diandalkan. Dari semua temannya ia paling senang dengan Huzam. “Mampir dulu aja, ya.” Huzam menggeleng. Ia tidak mungkin tinggal sementara di rumah Jaka. Meski dekat, persahabatan mereka tidak melibatkan keluarga. Maka jarang sekali mereka saling datang ke rumah satu sama lain. “Langsung balik aja, lah. Mana motorku?” “Baru jam tiga. Mau ke mana?” “Ke mana aja, lah, Jak. Yang pasti nggak di sini.” “Mending dihukum ya, Zam,” seloroh Jaka. Ia pun tak senang berdiam diri di rumah. “Maksudnya?” “Kalau dihukum jam segini masih di sekolah. Dibeliin es degan sama Bu Ziya.” Kening Huzam berkerut. “Apaan?” “Dulu kalau yang ngukum Pak Muslim males aku. Nggak ada nuraninya blas. Kalau Bu Ziya ternyata beda.” “Situ waras?” “Heh, Zam. Perhatiin deh, apa karean dia masih muda ya, jadi peka. Paling usianya juga dua satuan kan ya. Nggak jauh beda ama kita. “Heh?” “Besok bikin pelanggaran lagi aja, Zam. Asli enak di sekolah.” “Semprul!” Huzam pun melewati Jaka untuk mengambil motornya. Lama-lama ucapan temannya melebar kemana-mana. Mana ada sejarah dalam dunia kenakalan mereka dihukum menyenangkan. Hanya karena segelas es degan? Sungguh melukai harga diri. “Serius, Zam. Besok minta hukuman tambahan aja, lah. Gabut juga aku di rumah.” Huzam menggeleng. Ia menaiki motornya, menancapkan kunci dan bersiap meninggalkan sahabatnya yang mulai aneh. Menyenangkan kata Jaka? Huzam mengulas senyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN