43. Lelah

1653 Kata
Baik dan buruknya seseorang tidak bisa kita takar seberapa dalam. Bisa jadi orang yang terlihat baik, menyimpan segudang keburukan dan sebaliknya. Huzam yang mengira semua orang membenci keluarganya, rupanya salah menilai. Selama ini ada yang diam-diam mengamati bahwa memberi support terbaik. Namun, tetap saja itu terasa tidak adil untuknya. “Bagaimana? Di mana dia sekarang?” Anggoro memantau dari panggilan telepon. Sejak tadi ia sudah mengirim Arbrito untuk mengawasi Huzam. “Sedang duduk di pinggir sawah, Pak. Sepertinya terjadi sesuatu.” “Benarkah? Tampak payah kondisinya?” “Iya, Pak. Sempat memukul jok motor dan mengumpat.” Dari seberang telepon, Anggoro berpikir sejenak. Bisa jadi Huzam memang sedang merasakan patah hati layaknya remaja seusianya. Mungkin, cintanya ditolak oleh seseorang yang special. “Ya sudah kalau begitu awasi terus jangan sampai hilang jejak.” “Baik, Pak.” Panggilan itu dimatikan oleh Arbrito. Sebenarnya ia keberatan saat majikannya dengan tiba-tiba meminta agar ia membuntuti Huzam. Sesuatu yang lagi-lagi di luar kebiasaan Anggoro. Arbrito tak berani memikirkan terlalu jauh. Ia hanya berdiri dari kejauhan sambil menyaksikan Huzam. “Dasar anak muda. Tak tau dia kalau dunia tak sesempit itu. Patah hati saja sampai begitu. Ck, ck, ck,” ujar Arbrito. Sementara Huzam masih setia menatap Arupadhatu yang berpadu dengan langit malam. Mungkin sudah waktunya ia mengubur semua. Sudah saatnya ia meninggalkan kota yang memberinya terlalu banyak luka. Ia harus melakukannya. Huzam meraba saku celananya. Ponsel hadiah kelulusan dari seseorang yang sedang memberinya harapan. Seseorang yang akan membantunya mencari Bintang. Huzam memandanginya. Ia usap layar depannya. Ia amati dengan baik benda pipih itu. Terkesan mahal. Satu menu Huzam ketuk. Di sana hanya ada dua nomor saja. Huzam melakukan panggilan untuk salah satunya. “Ya, halo?” jawab Arbrito yang terpaksa harus berjalan menjauh dari posisinya sebelumnya. “Pak Arbrito?” “Iya. Ini saya. Ada apa?” “Tolong sampaikan pada Pak Anggoro. Besok pagi saya siap berangkat.” “Berangkat? Berangkat ke mana?” “Ke Jakarta.” Arbrito tersentak. Ia perhatikan kembali posisi Huzam dari posisinya. Masih sama. “Yakin? Apa ada sesuatu? Tidak jadi minggu depan?” Arbrito berusaha mencari tahu. Ia seharusnya memang seperti itu. “Tidak. Besok pagi saya siap. Malam ini saya mau pulang ke rumah dulu. Saya siapkan baju-baju. Saya mau izin bawa motor ini dulu.” “Oh, tidak apa-apa, Zam. Bawa saja kalau motor.” “Terima kasih, Pak.” “Ya. Besok pagi mau saya jemput?” “Tidak, Pak. Tidak usah.” Arbrito kembali melihat Huzam. Tampak sekali bahu pemuda itu turun. Mungkin, sedang dirundung masalah yang cukup berat. Begitu pikir Arbrito. “Ya sudah hati-hati kamu di rumah.” “Baik, Pak.” Sambungan diputus oleh Huzam. Ia benar-benar sudah membuat keputusan. Huzam melesakkan kembali ponselnya. Ia harus bergegas. Ia tidak boleh terlambat. Ia harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Sebelum ia benar-benar berpisah dengan Borobudur dan segala kenangannya. Sialnya, di saat ia akan menaiki sepeda motor, senyum perempuan itu kembali hadir. Bergantian dengan wajah mendung yang tadi sore ia saksikan. Ziyadatul Muna— wali kelas barunya itu, benar-benar mencuri hatinya. Huzam menepisnya lagi. Ia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Segera Huzam membawa motor pinjaman dari Pak Arbrito ke suatu tempat. Sementara Arbrito berada di ujung dilema. Ia tidak ingin mengikuti Huzam sampai pemuda itu sampai rumahnya. Ia ingin memberikan privasi, tapi tugasnya malam ini adalah menguntit Huzam. Arbrito berpikir sejenak. Mungkin, untuk pertama kalinya ia perlu membantah perintah Anggoro. *** “Ngapain? Sepi gini,” ujar Niken saat Jaka tak kunjung pulang dari warung tendanya. “Nemenin kamu.” Niken melotot tajam. Setelah momen wisuda, sikap Jaka sedikit berbeda. Bahkan tadi sore Jaka mengirimkan pesan yang menurutnya cukup aneh. “Ganggu aja, lah, Jak. Pulang gih, ntar dikira aku ngajak-ngajak kamu lagi.” “Ngajak-ngajak? Gimana maksudnya?” Niken mengangkat tangan. Ia malas membahas itu karena dibahas pun Jaka tidak akan paham. Orang tua Jaka selalu menganggap sikap buruk anaknya karena dipengaruhi oleh pergaulan. Mereka tidak pernah instropeksi diri. Niken kembali melanjutkan aktivitasnya. Meski sepi pengunjung, ia tetap semangat menata semua dagangannya. Hingga matanya menangkap postur tubuh yang sangat ia kenal. “Huzam!” seru Niken senang. Huzam melambaikan tangan. Sengaja ia parkirkan motor milik Pak Arbrito di tempat lain. Ia berjalan kaki menuju warung tenda milik Niken. “Huzam? Mana Huzam?” tanya Jaka. Ia juga senang melihat sahabatnya. Huzam berjalan lebih cepat dan menghampiri Jaka yang duduk di kursi panjang di dalam warung tenda. “Wah,” seloroh Jaka sambil bertos ria dengan Huzam. “s**u Jahe, Ken,” ujar Huzam seraya duduk di samping Niken. “Siyap, Zam.” Niken jelas paham selera Huzam. Ia mulai membakar jahe di perapian. Ia tidak mengira sahabatnya itu tetap datang, meski tadi siang sempat ia temui dan ia nyatakan perasaan di dalam kelas. Ia masih beruntung karena meski menolak secara halus, Huzam masih mau menemuinya. Hati Niken bersorak. Bagaimana seperti ini saja terkadang sudah cukup baginya. “Kusut amat mukamu, Zam? Habis bangun tidur?” Jaka melihat bagaimana kantung mata Huzam begitu jelas. Seperti sahabatnya kelelahan. Huzam terkekeh. Seumur-umur baru pertama kali menangis, tidak mudah dihilangkan begitu saja jejaknya. Huzam pun mengucek matanya. “Kena samber moto, Jak.” “Oalah, pantes. Perih banget, ya,” timpal Jaka lebih ke arah bodoh seperti biasanya. Huzam mengangguk. Ia sedikit tertawa. Sahabatnya tampak begitu lucu dan hal ini cukup menghiburnya. Ia masih memiliki hiburan gratisan di tempat ini. “Malah ketawa. Emange aku badut?” seloroh Jaka yang lagi-lagi tampak semakin lucu di depan Huzam. “Wes, wes, aku kesel,” ujar Huzam. Ia memegang perutnya yang sakit akibat terpingkal. “Melebihi badut, Jak!” timpal Niken kesal sekaligus ingin ikut tertawa tapi menahannya. Tingkah kedua sahabatnya itu kadang memang menggelikan. Huzam menerima segelas s**u jahe yang dibuatkan Niken. Ia menghidu aromanya sebelum menyeruput isinya. Minuman khas ini sudah pasti akan ia rindukan kelak di masa depan. Andai saat ia benar-benar tidak lagi berada di Borobudur. Ya, bisa saja Huzam menemukan minuman semacam ini di Jakarta tapi jelas rasanya akan berbeda. s**u jahe khas warung tenda keluarga Niken akan tetap ia kenang. Menjadi favoritnya dan tidak ada gantinya. Huzam mengulas senyum, ia cicipi sedikit rasa minuman yang mampu menghangatkan tubuhnya itu. “Gimana? Pas?” tanya Niken. Gadis itu rupanya memperhatikan dan menantikan ekspresi wajah sahabatnya. Huzam mengulas senyum. Ia mengangkat ibu jari kananya. Pertanda buatan Niken selalu sesuai seleranya. Jaka mencibir. Ia sendiri lebih senang es teh dari pada s**u jahe, wedang ronde, wedang uwuh atau sejenis minuman penghangat itu. Baginya tak ada yang nikmat. “Apaan lo? Makanya cobain,” protes Niken. Ia sudah ingin menimpuk Jaka dengan sendok yang ia pegang. “Nggak doyan. Ogah!” Huzam pun tergelak. Sungguh, hidup seperti ini saja rasanya sudah cukup. Apalagi saat ia tahu di rumahnya adik dan ibunya sedang menunggu. Ia hanya perlu pulang larut malam, tidur sampai siang, dan tidak melakukan aktivitas apa-apa. Ia senang akan hal itu. Sayang, semua tinggal kenangan. Tak ada lagi hal-hal yang biasa ia lakukan seperti biasanya. Semua sudah berbeda. Cerita yang ada tak lagi sama. Huzam menunduk. Ia pandangi gelas itu. Ia abaikan semua perasaanya sore hingga malam ini. Jaka dan Niken saling melempar pandang. Sikap Huzam benar-benar tidak seperti biasa. Tampak ada yang mengganjal di hati sahabatnya. Niken memberi kode pada Jaka untuk bertanya. Ia kebetulan mendapat beberapa pembeli yang harus segera ia buatkan pesanannya. Jaka mengangguk kecil. Begitu Niken sibuk dengan kegiatannya, ia menyulut gulungan tembakau kecil dan menyodorkan sisanya ke Huzam. “Kangen Bintang, Bro?” tanya Jaka langsung ke inti. Sudah pasti hal itu mengusik Huzam setiap waktu. Tidak mungkin tidak. Huzam bergeming. Akhirnya di semua hari yang ia lalui setelah peristiwa itu, ada yang menanyakan tentang Bintang. Ia selalu diam bukan karena ia tidak mau membahasnya. Hanya saja ia tidak pandai mengungkapkan perasaannya. “Siapa pun yang jadi lo pasti di posisi yang sama. Gue paham, Zam. Mana ada yang rela kasus semacam itu ditutup begitu saja. Para penegak hukum yang katanya melindungi masyarakat emang rada-rada o dua o n, Zam.” Jaka memulai argumennya. Ia tetap berusaha melucu meski sedang mengatai seseorang. “Mungkin kalau bukan, lo, udah pada nggak tahan, Zam. Nggak tau bisa lulus apa nggak. Tapi, lo, gila sih, Zam. Keren parah.” Jaka mengacungkan dua ibu jarinya. Ia mengakui bagaimana hebatnya sahabatnya itu bertahan menghadapi semua masalah. Huzam masih setia menunduk. Ia mendengar celoteh Jaka dan juga pujian itu. Ia enggan menanggapi berlebihan karena rasanya sesak sekali. Ia rindu keadaan di mana semua tampak normal di matanya. “Habis ini lo mau ke mana, Zam? Nggak mungkin di sini aja, kan? Lo pasti mau nyari Bintang.” Jaka menenggak es tehnya. Ia sendiri sudah menduga Huzam akan melakukan hal itu. Namun, belum berani memastikan. Samar Huzam mengangguk. Ia akan pergi ke Jakarta dan memenuhi semua kesepakatan yang sudah ia buat bersama seseorang. Ia dalam kesadaran penuh dirinya, sudah menandatangani perjanjian rahasia. “Gue doain yang terbaik buat lo, Zam. Tapi sebagai temen gue mau ngasih kenang-kenangan. Kalau lo berkenan.” Huzam mendongak. Ia amati wajah sahabatnya yang seperti paham apa pun yang ia rasakan tanpa perlu dijelaskan. Huzam menuntut penjelasan lebih. “Di tempat Bang Aryo,” bisik Jaka. Jika Niken tahu ia akan ditimpuk dengan sendok dan garpu. Mata Huzam berbinar. Dari semua yang paling ia butuhkan, mungkin tawaran Jaka yang paling menggiurkan. Ia sangat tertari. “Gue yang nganter, gue yang bayar. Cus sekarang!” Jaka mengamati sekitar, Niken benar-benar terlihat sibuk. Ia pun mengambil gelas s**u jahe milik Huzam dan menuangnya ke seloken. “Biar temen kita nggak protes. Ayo buruan.” Huzam mengangguk. Ia mengacungkan ibu jarinya pada Jaka. Segera ia mengikuti langkah sahabatnya itu. “Ken, kita cabut dulu ada urusan!” teriak Jaka. “Ke mana?” “Biasa lah, cowok!” Huzam dan Jaka bergegas. Ia tinggalkan Niken yang sibuk melayani pembeli tanpa memberitahukan informasi sama sekali. Huzam berjalan di belakang Jaka. Ia membonceng sahabatnya dan pasrah akan nasibnya malam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN