42. Patah

1172 Kata
“Hati-hati, Nduk. Jatuhnya suka loh itu.” Zalina—kakak kandung Ziya berusaha menasihati adiknya yang tiba-tiba menjadi sering ke pesantren. “Takutnya ada sesuatu di hatimu,” imbuh Zalina seraya meletakkan teh hangat di atas meja.  Gus Azmi yang menjadi kakak ipar Ziya sudah cukup menyadari apa yang terjadi. Begitu istrinya berseloroh tentang pemuda bernama Huzam, ia sejatinya paham. Namun, ia tak terlalu berani menanggapi secara berlebihan. Ia sadar memiliki perasaan berlebihan terhadap seseroang tidaklah dibenarkan ditambah saat belum dalam satu ikatan halal. “Nggak lah, Mbak. Mana ada cinta-cintaan,” balas Ziya. Imannya memang tak setebal kakak-kakaknya tapi juga tak serapuh itu. Masalah hati, perasaan dan cinta cukup ia pasrahkan sepenuhnya pada Sang Maha Cinta. “Tenane? Masa iya tiap hari datang nganterin catatatan. Apa namanya kalau bukan ....” Zalina berusaha menggoda. Ia tidak pernah menyaksikan adiknya seantusias itu melakukan sesutau. “Sttttt, Ning. Ndak baik,” timpal Gus Azmi. Ia perlu menengahi candaan yang dilontarkan istrinya. “Njih, Mas. Njih. Cuma bercanda kok.” Zalina paham tabiat suaminya. Pantang baginya mengolok orang, tapi saat itu Ziya, adiknya yang selalu menggemaskan Zalina tak bisa menahannya. “Memangnya murid istimewa di kelas kamu hanya Huzam? Ndak ada yang lain lagi?” tanya Gus Azmi. Ia merasa bahwa Ziya sangat mengistimewakan Huzam. Bahkan cenderung berlebihan. Ada beberapa siswa SMK Hijau yang harus ‘mondok’ di tempatnya karena beberapa alasan, tidak ada wali kelasnya yang begitu perhatian. Ziya mengulas senyum. Murid istimewa? Mungkin lebih tepatnya murid bengal. Huzam nyaris dikeluarkan dari sekolah karena banyaknya masalah. Ia hanya mencoba mempertahakannya. Tak layak rasanya menyebut siswa itu istimewa. Cukup lucu saat Huzam menjadi murid istimewa. “Kadang yang bengal malah bertahan, Mas. Susah juga nglepas yang sudah terlanjur parah. Mungkin pihak sekolah berpikir begitu. Makanya dipertahanin.” Zalina berusaha melihat dari sudut yang berbeda. Ia kadang juga memiliki pemikiran cukup terbuka. Tak serta merta menganggap para murid bengal itu benar-benar bengal. Ziya mengangguk-angguk. Pendapat kakaknya cukup tepat untuk kondisi Huzam sekarang. Memang ada ia dan beberapa orang yang mempertahankan agar Huzam tetap bersekolah, tetapi tak sedikit juga yang menentang. Pihak sekolah hanya tidak bisa mengambil sikap yang nantinya akan merepotkan semua orang. Lebih baik mempertahankannya. Ziya menghela napas panjang. Bicara tentang Huzam selalu membuat dadanya sesak. Bukan karena semua hal yang dilakukan pemuda itu, melainkan tentang perasaannya sendiri yang sudah ganjil sejak awal sang ayah menceritakannya. Ia entah mengapa menjadi tertarik dengan putra sahabat ayahnya. Ia juga berjanji akan menjaga dengan baik pemuda itu. Ia harus membalas semua kabaikan sang ayah. Begitu pikirnya. Namun, seiring waktu berjalan ia pun sadar semuanya tak sekadar perasaan balas budi atau karena cerita yang diulang ayahnya. Melainkan, ia memang terkesan dengan sosok istimewa itu. “Astaghfirulloh,” ucap Ziya. Ia sadar sudah sangat berlebihan. “Kenapa? Kamu kepikirian Huzam? Ya ampun, Ziya. Serius?” Zalina terpana. Belum pernah Ziya seperti itu. “Nggak, Mbak. Enggak,” protes Ziya. “Habis lulus masih mau di SMK? Nggak ada niatan lanjut studi? Ke Timur tengah bagus, Ziya.” Gus Azmi mencari topik lain yang lebih berisi untuk obrolan sore mereka. Pembahasan tentang Huzam sudah cukup banyak. “Emhhhhh, belum kepikiran Mas. Di sini aja jagain Abah sama Umi.” Ziya menarik garis bibir. Ia tak yakin dengan yang sedang ia pikirkan. Ia tak mengerti mengapa ia jauh lebih senang berada di SMK Hijau terutama menjelang kelulusan Huzam. Ia seolah paham tak akan ada kesempatan lain yang mungkin bisa menjadikan mereka berada dalam satu lingkungan. Ziya bisa terus mengamati meski dari jarak yang tidak pernah disadari. “Sayang sekali. Di sini sudah ada kita. Kamu yang muda bisa terus berkarya dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya.” Gus Azmi berusaha memotivasi. Ia tentu senang saat adik iparnya lebih berhasil. “Mana boleh, Mas. Ziya itu jatahnya jaga rumah.” Zalina mengukir senyum. Ia dan orangtuanya tidak pernah mengizinkan Ziya jauh-jauh bepergian apalagi keluar negri. Ziya tetaplah adik manis yang harus selalu dijaga. “Oh begitu?” Ziya mengangguk. Ia mendapat beasiswa pun tak akan mau mengambilnya. Ia lebih senang di sini. Di kota yang meski tidak seramai Jakarta sudah bisa membuat hatinya penuh dengan kegembiraan. Harapannya, ia tetap bisa melihat Huzam dan bagaimana pemuda itu bertumbuh. Ziya mendesah. Jika boleh serakah tentu ia menginginkan hal yang lebih dari itu. *** Ziya terus menitikkan air mata. Ingatannya melesak pada obrolan sore hari bersama kakaknya. Lamban laun pasti ada yang menyadari perhatian berlebihan yang ia berikan untuk Huzam. Seharusnya pemuda itu pun menyadarinya. Namun, Ziya cukup tahu diri. Ia tak layak memiliki perasaan berlebih untuk murid istimewanya. Ia yang sejak awal tahu kisah pengorbanan ayahnya Huzam itu sudah merenda luka. Hatinya semakin tersayat tatkala Huzam benar-benar beranjak dari rumahnya. Ziya tahu, ia tidak pantas dimaafkan. Ziya mengerti, Huzam kesulitan memahami. Ia yang bahkan sudah lebih dulu mendengarnya pun merasa hal tersebut tidak adil. “Sabar, Nduk, sabar,” ujar ibunya Ziya. Perempuan itu mengusap lengan putrinya. Ziya mengangguk. Ia tidak mungkin jujur atas apa yang ia rasakan saat ini. Semua tersimpan rapi di hati terdalam. Ziya hanya bisa menatap hampa teras rumahnya. Bayang punggung Huzam tak lagi ada. Meski sebelumnya sudah mempersiapkan diri untuk hari ini, tetap saja ia tak bisa setegar yang ia kira. “Maafin saya, Zam. Maafin saya,” lirih Ziya. Ia saksikan bagaimana Huzam pergi bersama sepeda motornya. Meninggalkan halaman rumahnya yang sudah mulai gelap. Huzam mengendarai sepeda motor lawas itu dengan hati tercabik. Orang-orang yang selama ini memberinya perhatian ternyata buah dari pengorbanan sang ayah. Ia tak pernah menduganya. Huzam semakin membenci jalan hidupnya. Ini terlalu berlebihan jika tuhan sedang bercanda dengannya. Rona ceria sang ayah saat menyambut ia pulang sekolah, senyum ayahnya yang begitu tulus memberikan semangkuk mie ayam. Semua itu seperti terputar di depan matanya. Huzam berusaha menepisnya. Hingga  tanpa sadar bulir-bulir hangat di pelupuk mata mulai berjatuhan. Ini jelas bukan dirinya. Ia tak semudah itu menangis. Bahkan saat melihat jasad ibunya tergeletak dengan pisau menancap di bagian perut, ia biasa saja. Namun, anehnya saat semua memori tentang sang ayah terputar, ia benar-benar kehilangan pertahanan. Huzam mengencangkan gas di tangan kanan, sengaja membawa sepeda motor itu ke arah belakang Candi Borobudur.  Ia terus berjalan tanpa tahu tujuan. Ia hanya akan melakukan perjalanan hingga malam sempurna membayang. Huzam terus berputar mengelilingi kawasan Candi Borobudur. Bolak balik entah berapa kali hingga akhirnya ia berhenti di pinggiran sawah. Huzam menyerah. biarkan binatang malam menyaksikan tangisnya. “Arrrghhhhh!” teriak Huzam. Ia memukul keras dadanya. Tidak, tidak seperti ini seharusnya. Huzam menggeleng. Ia tatap kembali bagian tertinggi candi yang berpadu apik dengan langit malam. Seolah menyatu dengan angkasa dan gemintang. Huzam semakin dirundung pilu saat senyum ayahnya tercetak sempurna di sana. “Pak,” lirih Huzam. Huzam memukul jok motornya. Ia tak bisa menerima dengan mudah semuanya. Huzam meraup wajahnya kasar. “Benar-benar sialan,” umpatnya. Malam memeluk Huzam bersama kesedihan mendalam. Ia tidak pernah tahu seperti ini rasanya tersakiti, terhianati dan terbodohi. Senyum manis perempuan yang selalu memberinya perhatian muncul seenak sendiri juga wajah sendu yang membendung tangis saat kebenaran itu terungkap. Sungguh, Huzam tidak sanggup merasakan ini semua. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN