44. Pisah

1226 Kata
Dari jauh kafe yang berada di perbatasan Magelang dan Yogyakarta itu sudah terlihat cukup ramai. Jika mendekat ke dalam, sudah pasti hingar bingar suara musik semakin terdengar. Huzam tak mengira Jaka akan membawanya ke cabang yang di sana. Ia kira Jaka akan mentraktirnya di kelas terbawahnya. Rupanya berbeda. “Nggak salah?” tanya Huzam saat mereka turun dari motor. Pantas saja Jaka meminjamkan helm untuknya juga. “Kagak. Gue lagi banyak duit,” jawab Jaka. Huzam menarik lengan Jaka. “Maling di mana?” Jaka pun tergelak. “Edan, nraktir orang masa maling.” “Serius lo?” Jaka mengangguk. Ia tidak mengambil dari orang tuanya seperti sebelumnya. Ia memang sedang mendapat keberuntungan. “Udah lah, nggak usah banyak omong. Buruan.” Huzam pun mengangguk. Setelah cukup lama tidak merasakannya, malam ini ia rindu sekali. Mungkin, dari semua malam panjangnya, ini yang paling berat. Hingga tubuhnya condong ke hal-hal tersebut lagi. “Malem, Bang!” sapa Jaka pada seseorang yang ia panggil dengan sebutan Bang Aryo. “Weh, kamu. Udah lama banget!” “Iya, Bang. Lama emang nggak ke sini. Biasa bawa teman,” ujar Jaka sambil menunjuk Huzam. “Wah, wah, wah, tamu agung.” Huzam tertawa sinis. Biasanya ia memang menjadi pembeli tetap sebelum ia mengenal wali kelas barunya. Lagi-lagi, Huzam membawa perempuan itu dalam setiap keputusannya. Sungguh hal yang menyebalkan. “Pesen berapa? Dua?” Jaka pun mendekat pada Bang Aryo. “Satu krat, Bang. Stres berat.” Bang Aryo terbahak. Ia paham maksudnya. “Siap. Patah hati?” Jaka menggeleng. “Kayaknya, Bang. Super duper berat.” Kini Jaka dan Bang Aryo tergelak. Mereka menertawakan Huzam yang menjadi bahan gunjingan. Huzam mengangkat bahu. Tak memedulikannya karena memang ia sedang membutuhkan pelampiasan. “Lantai dua aja sepi,” ujar Bang Aryo. Jaka mengangguk mantap. Ia tarik jaket Huzam dan membawa dua botol minuman penyegar lagi memabukkan itu. Kadnag kala, mereka berbuat sesuka hati di luar batas usia serta kehidupannya. Mereka anak-anak yang dalam tanda kutip nakal. Dari lantai dua, pemandangan jalanan kota terlihat cukup jelas. Lampu-lampu yang menyala menambah syahdu suasana. Jaka membuka botol pertama mereka dan memberikannya untuk Huzam. “Nih, lupain semua sekarang,” ujarnya. Huzam menerima botol itu. Ia memegangnya sejenak sambil menunggu botol milik Jaka siap. Mereka harus bersulang untuk merayakan kelulusan. “Cheers!” seloroh Jaka. Huzam terkekeh. Malam ini mereka naik level. Biasanya Huzam, Roni dan Jaka bahkan menikmati yang hanya sebatas fermentasi biasa. Paling bagus buatan ayah tirinya. Tangan Huzam mengepal. Ia teringat akan wajah Suko yang menyebalkan. “Sialan,” desis Huzam. Segera ia menenggak botol itu. “Woy, woy, dikit-dikit, Bro. Mau mati lo?” Jaka pun meggagalkan aksi Huzam. “Oke.” Huzam tersenyum miris. Jaka mengalihkan pandangan. Ia tahu perasaan sahabatnya sedang patah. Ia memaklumi itu. Jaka meneguk minuman dari botolnya, kembali melihat jalanan dan ikut merenung seperti Huzam. Setelah Roni yang pergi dengan ceritanya, ia mungkin harus kehilangan Huzam juga. Ia tidak mungkin melakukan perjalanan seperti dua sahabatnya saat orang tuanya terus membatasi. Jaka kembali meneguk minuman itu, meski tampak normal, ia pun sebenarnya tersiksa. Hening terjadi. Dua remaja dengan masalah masing-masing itu larut dalam lamunannya sendiri. Mereka biarkan malam menjadi saksi bagaimana kehidupan menggulung mereka ke lubang terdalam. Dingin dan mengerikan. Huzam meneguk minuman dari botolnya, ia rangkum baik-baik semua peristiwa yang menimpanya. Mulai dari kematian sang ibu, kehilangan Bintang, cerita ayahnya, tentang Ziyadatul Muna dan yang terakhir adalah Anggoro. Pria itu muncul begitu saja. Tidak pernah Huzam sangka sebelumnya. Bahkan menawarkan sesuatu yang tampak berlebihan. *** “Apa keinginanmu, Huzam? Saya pasti akan mengabulkannya,” ujar Anggoro pada pertemuan mereka di Aman Jiwo setelah insiden kolam. Huzam berpikir sejenak. Ia tidak langsung menjawabnya saat ia sendiri ragu akan siapa Anggoro.                “Ah, ya, saya hanya pengusaha, Huzam. Kebetulan saya tidak punya keluarga. Kamu bisa cek di internet.” Anggoro dengan bangga menyebutkan bagaimana ketenarannya. Huzam mengangguk kecil. Dari semua kesempatan dalam hidupnya, mungkin ini yang paling emas. Huzam memberanikan diri mengungkapkan keinginan pribadinya. “Saya ingin ke Jakarta, Pak. Saya mau mencari adik saya.” Anggoro tersentak. “Jakarta? Adik?” Huzam mengangguk. “Saya bilang orangtua saya sudah meninggal dan adik saya menghilang. Saya ingin menangkap pelakunya. Apa Bapak bisa memfasilitasi?” Anggoro bergeming. Ia berusaha mencocokkan informasi yang ia miliki tentang Huzam. Ia harus membuatnya sealami mungkin. “Tidak ada penegak hukum?” tanyanya. “Mereka tidak bisa dipercaya?” Anggoro menggeleng tak percaya. Rupanya di kawasan yang tidak terlalu kota pun sama saja. Tak ubahnya Jakarta, para aparat itu bertabiat kurang baik di mana saja. Miris sekali rasanya. “Hanya menangkap pelaku? Tidak lebih?” “Saya juga ingin menemukan adik saya,” tegas Huzam. Anggoro mengangguk. Hal itu jelas mudah baginya. Ia pasti bisa melakukannya. Namun, Anggoro tetaplah Anggoro. Ia pengusaha yang selalu memikirkan untung dan rugi. Tak semudah itu ia membalas budi pada seseorang. “Hanya itu? Tak ada yang lain?” tanyanya. Huzam menggeleng. Fokus hidupnya hanyalah itu untuk saat ini. Ia tak butuh yang lain lagi. Anggoro terkekeh. Huzam sangat polos dan berpendirian. Salah satu karakter yang sangat ia butuhkan. “Tenang saja Huzam. Saya akan menemukan adik kamu, akan menangkap pelaku pembunuhan itu dan akan membuatmu sukses. Kamu akan menjadi salah satu pengusaha hotel kelas atas. Kamu, tidak akan pernah lagi menjadi Huzam yang seperti ini. Saya berjanji itu sebagai ganti nyawa saya yang sudah kamu selamatkan.” Anggoro menepuk-nepuk bahu Huzam. Ia bersungguh-sungguh mengatakannya. Huzam hanya terdiam. Ia tidak berani membayangkannya karena tujuannya hanyalah menemukan Bintang. “Saya ada satu permintaan, Zam. Apakah kamu mau mengabulkannya?” Huzam menatap Anggoro. Pria paruh baya itu sedikit memohon padanya. Huzam pun mengangguk kecil. “Jadilah keluarga saya. Jadilah orang yang tidak akan meninggalkan saya.” Huzam mengangguk lagi. Jika Anggoro mampu menemukan Bintang dan membawa Suko ke depan matanya, ia bahkan akan menggadaikan hidupnya untuk pria paruh baya itu. Anggoro tersenyum puas. Pemuda seperti Huzam lah yang ia cari selama ini. Di tengah polemik perusahaan miliknya yang mulai meributkan pewaris. Ia tidak menikah, ia tidak memiliki anak bahkan keluarga. Ia sebatang kara. *** “Gue mau ke Jakarta, Jak,” ujar Huzam memulai salam perpisahan. Mungkin, dengan Jaka ia harus melakukannya. “Apa, Zam? Jakarta?” tanya Jaka kaget. Huzam mengangguk. Ia rasa tak masalah membicarakannya dengan Jaka. Mereka sangat dekat. “Aku mau cari Bintang.” Ada sedikit keputusasaan di sana. Huzam sendiri kadang tak yakin. Jaka mengangguk. Ia berusaha memahami kondisi Huzam. Pasti, Huzam ingin menemukan kebenaran. “Merantau? Ikut kerja siapa?” “Kebetulan ada kenalan. Kamu tahu lah, temenku banyak.” Jaka mengangguk lagi. Bukan Huzam namanya kalau tidak suka membanggakan diri. Ciri khas Huzam memang seperti itu. “Bakal balik nggak? Apa nggak mungkin?” Jaka terbersit akan pemikiran itu. Bisa jadi setelah menemukan Bintang, Huzam tak kembali. Atau mungkin mereka berdua malah tidak bertemu sama sekali. Sangat sedikit peluangnya. Huzam menghela napas. Ia teguk lagi minuman dari botol. Borobudur tak memberinya apa-apa kecuali luka. Ia bahkan harus hidup sebatang kara. Huzam tersenyum tipis ke arah Jaka. Ia enggan menjawab pertanyaan itu. Ia angkat lagi botol miliknya dan bersulan dengan cara yang sama persis dengan Jaka tadi. “Cheersss!!!” Jaka tertawa. Ia sambut ajakan itu dengan suka cita. Meski ia tak mendapat jawaban dari Huzam. Adakalanya semua memang lebih baik menjadi misteri. Semua manusia akan menantikannya dan mengharapkan yang terbaik di setiap waktu penantiannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN