“Mas paket ayam kampung tiga, ya,” ujar Ziya pada salah satu pekerja di sana.
“Njih, Bu, siap.”
Huzam dan Bintang saling melempar tatapan. Diminta makan bersama? Sontak Huzam menggeleng.
“Tidak boleh menolak,” tegas Ziya. Ia paham kedua muridnya sudah mulai berbicara lewat tatapan mata.
“Eh, itu, Bu, Mas Huzam sudah mau pulang. Tadi buru-buru.”
Ziya pun memerhatikan Huzam. Dari tampilannya tampak pasti muridnya itu belum makan. Ia sangat meyakininya.
“Huzam makan dulu, ya,” ujar Ziya. Ia membenarkan frame kacamatanya.
Huzam menelan ludah. Sungguh aura itu terlalu sulit untuk dibantah. Ziyadatul Muna—
guru muda yang cukup berbeda dari guru-gurunya yang lain.
“Sekalian kita bahas soal pengabdian. Mumpung ketemu.”
Telak sudah kemenangan Ziya dalam obrolan kali ini. Tentu Huzam tak bisa menolak. Terpaksa ia menghormati sekadar untuk menghargai wali kelasnya.
“Makasih, Mas. Saya tambah air putih, ya.”
“Oh, sama kurma, Bu?”
Ziya mengangguk. “Boleh.”
Huzam melirik sekilas. Kurma? Apa mungkin?
“Bu Ziya buka puasa?” tanya Bintang. Cukup sering guru idolanya itu melakukan ibadah sunah puasa senin kamis.
“Iya, Bintang. Saya baru sempat membatalkan tadi waktu di jalan.”
“Kalau begitu biar Bintang yang ambilkan saja, Bu.” Bintang berdiri. Ia menjadi lebih semangat.
“Makasih, Bintang,” ucap Ziya dengan sebuah senyuman yang jika diperhatikan lebih dekat, sangatlah memikat.
Huzam mengalihkan pandang. Ia baru saja menatap suatu hal yang sudah pasti dilarang. Sejak awal ia juga berencana untuk tidak bekerjasama. Ia dan Roni sudah memutuskan akan membuat wali kelasnya itu jera.
“Cuci tangan dulu, Zam,” ucap Ziya sambil menunjuk hidangan di atas meja.
“Ehmmm, Bu.”
“Ya?”
“Boleh saya bungkus saja?”
Ziya tampak kecewa. “Kenapa begitu?”
Jelas alasan Huzam agar ia tak perlu berlama-lama duduk bersama wali kelas dan adik kandungnya. Jelas ia enggan membahas hal-hal yang berkaitan dengan sekolah. Namun, tidak mungkin ia menyebutkannya sekarang.
“Biar buat ibu dan adik saya di rumah.”
“Adik? Huzam masih punya adik?”
Bintang yang mendengar pertanyaan itu pun tersentak. Ia menatap Huzam dengan tatapan tajam sekaligus gelengan.
“Iya, masih ada adik kami.”
“Eh, Bintang, beneran? Kenapa ndak cerita sama saya?”
Bintang menghela napas. Kakaknya memang sangat menyebalkan. Bintang pun meletakkan kurma yang memang kerap tersedia di resto itu. Kemudian duduk kembali di sebelah Ziya.
“Iya, Bu. Beda ayah.”
Ziya pun terdiam. Tampak jelas Bintang tidak ingin membahasnya. Bisa jadi memang menjadi rahasia di keluarga itu.
“Ya sudah nanti setelah makan, biar saya bungkuskan tiga, ya. Huzam makan dulu di sini.”
Dalam hati Huzam menggeram. Terlalu sulit menghindar dari wali kelas berperawakan kecil, mungil, dan manis itu. Sesi makan malam atau mungkin sesi buka puasa untuk Ziya berlangsung dengaan diam. Tak ada obrolan soal pengabdian juga sekolah sama sekali. Ziya menikmati hidangannya dan membiarkan dua muridnya merasakan juga.
Sejenak Ziya mengamati Bintang. Tampak sekali gadis itu belum menikmati makan malamnya. Bisa saja saat berangkat ke sini, perutnya masih kosong. Sementara untuk Huzam, Ziya tak mampu mendeskripsikannya. Murid istimewanya itu cukup pandai menyembunyikan ekspresi wajah yang sebenarnya. Tetap diam dan makan dalam suasana tenang.
***
“Nah, ini. Silakan dibawa ke rumah, ya. Nanti salam buat adik dan ibu kamu.”
Huzam tak langsung menerimanya. Ia melihat ke arah Bintang meminta sedikit bantuan. Bintang pun paham.
“Bu, nggak usah, Bu. Beneran nggak perlu.”
“Sssttt, nggak boleh nolak rezeki. Silakan diterima, Huzam,” ujar Ziya. Sengaja tak menanggapi ucapan Bintang. Ia menyodorkan kantong plastik berwarna putih berisi menu yang sama dengan apa yang baru saja mereka makan.
Huzam mendesah. Bagaimana menolaknya?
“Nanti Bintang selesai jam sepuluh. Kamu bisa jemput dari sebelum jam itu biar Bintang tidak terlalu lama menunggu.”
Huzam pun mengangguk. Ia memang berencana melakukannya tanpa perlu diminta. Huzam pun menerima pemberian wali kelasnya.
“Terima kasih, Bu.”
Ziya mengulas senyum. “Sama-sama, Huzam. Jangan lupa besok masuk kelas seperti biasa.”
Huzam mengangguk. Ia harus segera pergi sebelum lebih banyak hal yang akan dibicarakan Ziya. Ia memang ingin menghindarinya. Bintang yang sudah pasti sangat tidak nyaman hanya bisa terdiam. Mau bagaimana lagi. Kakaknya memang seperti itu dan Bu guru Ziya selalu baik pada siapa saja.
“Kamu bisa ke tempat biasa, Bintang. Lakukan dengan baik tugas hari ini.”
“Ya, Bu.”
Bintang meninggalkan area parkir resto itu. Setelah ini, ia yang akan melayani pengunjung bersama rekan lainnya.
***
Tak seperti biasanya, Huzam memilih melewati kawasan utama taman wisata Candi Borobudur. Setiap malam, jalanan di sekitaran candi Budha terbesar itu memang selalu ramai. Lampu-lampu jalan terus menyala. Pedagang makanan aneka rupa ada di sana. Juga tikar-tikar yang digelar di trotoar. Jalanan di sekitar Candi Borobudur saat ini lebih mirip dengan kawasan Malioboro Yogyakarta.
Huzam menikmati atmosfir malam. Kawasan ini sudah seperti rumah keduanya. Jika malas tidur di gubuk sederhana milik keluarganya, ia akan menghabiskan waktu untuk sekadar nongkrong bersama teman-teman.
“Woi! Sini, Zam!” seru Roni yang rupanya berhasil keluar malam.
Huzam mengangguk. Ia lebih dulu mengamankan motornya di parkiran. Tak lupa membawa kantong plastik berwarna putih tadi.
“Lama amat, Zam?” tanya Jaka. Ia sudah lebih dulu menikmati gilingan tembakau kecil yang ia sulut sebelum Huzam datang.
“Muter sek.”
“Walah ra biasane.”
Dari seberang jalan Niken melambaikan tangan. Ia yang setiap malam membantu kakaknya membuka warung angkringan di sekitaran kawasan trotoar jalan Candi Borobudur itu, cukup senang dengan kedatangan Huzam.
“Es teh, Ken!” seru Huzam. Tentu untuk melarisi dagangan saudaranya Niken.
“Siap!” seru Niken semangat.
“Kalian nggak pesen?” tanya Huzam pada Roni dan Jaka.
“Udah, lah.”
Huzam pun mengangguk. Niken satu-satunya teman perempuan mereka. Jasa Niken cukup banyak bagi mereka. Maka di saat Niken harus bertahan di sekolah dengan membantu kakaknya bekerja, mereka tak segan untuk membeli apa saja yang ada.
“Bagi, Jak.”
“Mung siji, Zam.”
“Lah. Pelit.”
“Asli, mung siji iki.”
Huzam pun sedikit kecewa. Setelah menyantap makanan tadi, rasanya kurang jika tidak menikmati kepulan asap itu.
“Pahit?” tanya Roni paham akan gestur tubuh temannya.
“Huum.”
“Nyari permen,” ledek Roni sambil tertawa. Sontak Jaka pun mengikutinya.
Huzam tak menanggapi. Ia memilih melihat ke belakang pagar kawasan candi. Di dalam sana sebuah kemegahan tersaji. Stupa-stupa yang berdiri kokoh sejak zaman dahulu kala. Peninggalan bersejarah yang menjadikannya sebagai salah satu situs warisan keajaiban dunia. Huzam menatap langit yang malam ini tampak lebih lembut dari biasanya.
Keajaiban—mungkinkah singgah di hidupnya?
Selintas wajah ibunya membayang, Bintang—adiknya, almarhum ayahnya dan seseorang yang baru saja memberikan ia makanan.
“Es teh datang! Suhe datang!” seru Niken sambil menyebrang jalan. Gadis itu tampak begitu antusias.
Roni, Jaka, Huzam kompak menyambutnya. Ya, seperti itu malam-malam mereka lewati. Jika sedang santai, mereka hanya akan duduk-duduk dengan obrolan ringan sambil melihat Niken bekerja. Jika sedang sibuk, mereka akan berkeliling di sekitaran jalanan kawasan candi dengan motor bising masing-masing. Kehidupan biasa, tanpa ada tujuan dan penuh kebebasan.