Bintang mengutuk dalam hati semua perbuatan kakaknya. Bukan hanya satu dua kali ia dibuat repot dengan tingkah menyebalkan kakaknya itu, melainkan berkali-kali.
“Ke mana kakak kamu? Di mana anak bengal itu?” tanya Suko—ayah tiri mereka.
Bintang tak menjawab pertanyaan itu. Ia terus melangkah menuju pintu utama rumah.
“Ya!!! tuli kamu?”
Bintang menoleh. Pria yang tengah duduk itu memang selalu seenak sendiri. Tak pernah tau diri. Bintang menatap remeh ke arah pria itu.
“Berani kamu? Mau macam-macam?!” ancam Suko.
Bintang menarik napas. Ia harus bisa segera pergi tanpa harus melewati hal-hal yang mengenakan seperti biasanya.
“Saya tidak tau,” jawab Bintang.
“Tidak tau? Kalian satu sekolah. Mana mungkin tidak tau,” ujar Suko. Ia masih tak terima anak tirinya terus mengabaikannya.
Bintang merotasi matanya, jengah. Benar-benar ia benci dengan semua laki-laki yang ada di sekitarnya. Tidak kakak kandung tidak ayah tiri keduanya menunjukkan arogansi sikap yang berlebihan. Bintang kembali menatap ke arah pintu. Bersiap untuk beberapa langkah lebih dekat untuk kemudian menariknya.
“Dasar!” umpat Suko menahan geram. Matahari sudah sempurna tenggelam. Ia harus segera berangkat menggunakan motor anak tirinya.
Bintang berjalan pelan. Ia berencana meninggalkan rumah secepat mungkin. Berdua saja dengan ayah tirinya adalah bahaya yang cukup besar. Ia sangat tidak nyaman. Andai tadi ia tak perlu memerhatikan kakaknya dulu, ia bisa pulang lebih awal untuk berganti pakaian. Sialnya, kejadian kaburnya Huzam membuatnya harus berada di sekolah sedikit lebih lama.
“Mana ibu kamu?” sergah Suko. Ia baru menyadari istri dan anaknya belum datang.
Bintang benar-benar kesal. Rupanya kunci pintu utama sudah tidak menggantung di sana.
“Sial,” desis Bintang.
“Masih nggak mau njawab, hah?” tanya Suko lagi. Semakin membuatnya ingin menelan Bintang bulat-bulat. Bintang bukan anak kandungnya.
Bintang terus melangkah. Ia benar-benar harus pergi lebih cepat agar tidak terlambat. Pekerjaan paruh waktunya sudah menunggu. Ditambah ia harus bisa melindungi diri. Biasanya saat suasana semacam ini di kamar samping ruang tamu ada sosok kakaknya. Meski tidak menampakkan diri jelas, kakaknya adalah penjaga paling baik.
“Mau ke mana kamu?” tanya Suko lagi. Kali ini pria itu berdiri. Bersiap melangkah mendekati Bintang.
“Mau ....”
Tidak mungkin ia jujur sedang melakoni pekerjaan di luar. Yang ada justru uang hasil jerih payahnya akan ikut terpakai juga. Tidak memungkinkan juga untuk melawan dengan posisi ia sendirian.
“Belajar kelompok.”
“Belajar kelompok?” tanya Suko kecewa dengan jawaban Bintang. Ia kira anak tirinya itu akan mengabaikan seperti tadi.
Bintang mengangguk. Kalau bisa ia ingin berlari sekencang mungkin agar terhindar dari ayah tirinya. Sudah beberapa hari pria itu tidak pulang dan saat datang langsung membuat keributan. Satu hal yang membuat Bintang benci setengah mati. Dalam hati Bintang terus merapal doa.
Terdengar suara sepeda motor dengan knalpot yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terdengar sangat bising. Bintang mendongak. Huzam datang di waktu yang tepat.
“Mas Huzam,” ujar Bintang.
Suko menatap Bintang dengan perasaan yang entah apa artinya. Ia pun merogoh saku celana miliknya. Sebuah kunci ia ambil dari sana.
“Buka!” perintahnya. Dengan cepat Bintang menyambar kunci itu. Meski tangannya bergetar, ia harus bertindak cepat.
“Mas!” ujar Bintang sambil berlari mendekati Huzam. Sontak Huzam pun terkejut dengan sikap ramah adiknya.
“Mas anterin aku, ya,” imbuhnya setelah berada lebih dekat dengan motor kakaknya.
Huzam menatap Bintang penuh tanya. Ia merasa ada yang aneh dengan adiknya. Mata Bintang melirik ke arah dalam. Memberi tanda bahwa ayah tiri mereka ada di sana.
“Ibu?” bisik Huzam.
“Belum pulang.”
“Kamu mau kemana?”
“Tempat biasa.”
Tanpa perlu dijelaskan Huzam pun paham. Ia mengangguk sambil kembali menaiki motor kesayangannya. Bintang tak menyiakan waktu. Segera ia menaiki motor itu juga. Membonceng di belakang. Keduanya meninggalkan rumah sederhana yang tak nyaman bagi mereka. Huzam berkendara sambil menatap langit. Sungguh kehidupan mereka cukup pahit.
***
“Pulangnya jam berapa?” tanya Huzam begitu sampai di tempat kerja Bintang. Dulu, Huzam melarangnya tapi sekarang tidak lagi.
“Sepuluh.”
“Tunggu aku jemput.”
Bintang tak peduli. Ia lebih senang berjalan kaki atau menebeng temannya saja. Buat apa merepotkan kakaknya yang menyebalkan.
“Nggak usah.”
“WA aja.”
“Nggak punya nomornya.”
Ada banyak rasa kecewa yang Bintang terima dari sikap Huzam. Dulu ia kira setelah kehilangan ayah mereka Huzam akan menjelma menjadi kakak penyayang nan pengertian. Faktanya justru sangat berbeda.
Huzam pun mendesah. Hubungan mereka cukup keruh terlebih saat mereka berada dalam satu sekolah. Sedikit sesal memang ada dalam diri Huzam, tapi tak sebanyak yang Bintang harapkan. Ia tetap saja menjadi si anak batu, pembuat masalah, biangkerok dan menyebalkan.
“Aku tunggu kalau begitu.”
Bintang pun melotot tajam. Jelas ia tidak suka dengan sikap kakaknya.
“Apa-apaan?”
“Daripada di rumah, mending di emperan gini.”
Bintang pun terdiam. Ayah tiri mereka sedang kembali. Artinya berbagai macam hal akan terjadi.
“Bintang!” seru seseorang dari dalam. Salah satu rekan kerjanya memanggilnya.
“Ya, bentar!” jawab Bintang.
Huzam melongok ke dalam. Dapur Gending— salah satu resto yang terdapat di kawasan wisata candi Borobudur. Beroprasi dari siang hingga jam sepuluh malam. Termasuk yang paling banyak memiliki pelanggan. Huzam tak mengerti bagaimana ceritanya Bintang bisa bekerja paruh waktu di tempat itu.
“Ngapain?” tanya Bintang. Tak biasanya kakaknya tertarik dengan hal-hal yang ia kerjakan.
Huzam menggeleng. “Sana masuk. Sebelum jam sepuluh aku udah di sini.”
Bintang ikut menggeleng. Tak setuju akan ide itu.
“Bintang!” seru rekannya lagi. Seorang pria yang menjadi partner kerjanya malam ini.
“Ya.”
Bintang pun berbalik. Ia siap menjalani pekerjaannya dengan baik. Semuanya demi beberapa hal yang ia impikan.
“Kalian?” tanya seorang perempuan yang jelas sangat mereka kenal.
“Huzam,” sapa perempuan itu.
Bintang mati kutu. Tak bisa berkutik sama sekali. Terlebih ada Huzam di sana. Pasti kakaknya akan sangat tidak nyaman.
“Bintang dapat shift hari ini?”
“Iya, Bu.”
“Terus Huzam yang ngantar?”
“Iya.”
Ziya pun tersenyum simpul. Ia melihat sekilas ke arah murid istimewanya. Tampak dari atasan hingga bawahan Huzam masih mengenakan pakaian yang sama. Hanya ditambah hoodie berwarna hitam saja.
“Ya sudah ayo masuk dulu. Huzam juga,” ujar Ziya.
“Eh, Bu. Mas Huzam cuma ngantar.”
“Nggak apa-apa. Ayo Huzam, ikut saya.”
Huzam tak bisa berkata-kata. Mendapati Ziya berada di tempat makan itu dan tampak bukan sebagai pengunjung, sudah membuatnya kesal. Apalagi harus masuk dan ah ia tak bisa membayangkannya.
“Tidak usah, Bu. Saya mau langsung pulang,” timpal Huzam. Ia tak akan sudi menerima uluran tangan wali kelasnya.
“Sebentar saja. Ayo Bintang ajak kakak kamu.” Ziya terlihat lebih antusias dari biasanya. Ia senang karena akhirnya Huzam tahu pekerjaan Bintang. Sesuatu yang sebenarnya Bintang minta untuk dirahasiakan.
Bintang berkata lewat tatapan mata pada Huzam. Memohon agar kakaknya menuruti permintaan bosnya.
“Bos?” lirih Huzam.
Bintang mengangguk mantap. “Jangan sampai aku dipecat.”
Sungguh kesialan Huzam berulang hingga di waktu malam. Tak cukup hanya di rumah Roni dan sekolah saja. Masih harus bertemu wali kelasnya di tempat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.