48. Malam Pertama

1181 Kata
Huzam kembali dibuat tak mengerti dengan arahan yang diberikan Anggoro kepadanya. Setelah membersihkan diri dan diminta bersiap, sopir mengantarnya ke sebuah tempat. Cukup berbeda dengan Rubico yang mewahnya tak terkira. Tempat di depannya kini tampak sederhana.                “Sini, Zam!” seru Arbrito yang keluar dari rumahnya. Huzam pun terkesiap.                “Kenapa heran begitu? Bapak nggak bilang?”                Huzam menggeleng. Ia hanya diminta mengikuti arahan sopir saja. Tidak perlu bertanya karena orang yang menunggunya sudah paham semua instruksi yang diberikan Anggoro.                “Hahahahaha. Benarkah? Bapak berkata begitu?”                Huzam mengangguk. Jika tahu lebih awal diminta ke rumah Arbrito ia tidak mungkin datang membawa tangan kosong.                “Maria tak memberitahumu?”                “Nggak, Pak. Nggak ada.”                “Haha kasihan sekali. Ya sudah kalau begitu mari masuk dulu,” ajar Arbrito. Meski ia sudah siap, lebih baik jika Huzam menyapa keluarganya dulu.                “Ehem! Pak!” seru sopir yang mengingatkan waktu mereka.                “Ah iya. Nanti terlambat. Kalau begitu setelah pulangnya saja.”                Huzam menoleh ke arah supir. Satu langkah lagi ia bahkan bisa masuk ke sana tapi diminta untuk tidak melakukannya. Apa salahnya? Sepenting itu acara mereka malam ini?                “Sebentar, Zam,” ujar Arbrito seraya kembali ke gawang pintu.                “Fatiya! Ayah berangkat, ya!” serunya. Ia sudah berpamitan tadi, ini hanya bentuk penguatan saja.                “Iya, Yah!” sahut putri Arbrito dari dalam rumah.                Mendengar dan menyaksikan itu membuat Huzam bertanya-tanya. Arbrito memiliki seorang putri?                “Nanti saya jelaskan. Agenda hari ini jauh lebih penting,” ujar Arbrito seperti tahu apa yang pikirkan Huzam.                “Baiklah, Pak. Saya ngikut saja.”                “Mari.” Arbrito membukakan pintu mobil untuk Huzam. Sesuatu yang mirip sekali dengan awal perjumpaan mereka. “Mohon maaf di tempat pertemuan nanti, saya akan terus berkata formal. Saya harap Nak Huzam memakluminya sebagai bentuk pekerjaan.”                Huzam semakin tidak mengerti. Keningnya berkerut. Mau ke mana sebenarnya mereka? Ada apa?                “Jalan, Pak. Kita siap ke tempat pertemuan.”                “Baik, Pak.” Sang supir membawa mobil van berwarna hitam itu ke jalanan besar. Rumah Arbrito berada di pinggiran kota. Tidak terlalu kumuh dan juga tidak termasuk dalam kawasan elit. Cukup tenang dan asri dengan keadaan sekitarnya. Huzam yang duduk di kursi penumpang seorang diri tak mau berpikir lebih banyak. Ini hari pertamanya di Jakarta dan ia sudah harus melakukan banyak hal. Cukup melelahkan pastinya. Ia pun memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan memejamkan mata. Setidaknya menghalau kantuknya. “Nggak salah, Pak?” tanya Huzam begitu diminta turun dari mobil. Ini tidak seperti tempat pertemuan-pertemuan pada umumnya. “Mana KTPnya Nak Huzam?” Arbrito bertanya penuh sopan santun. Ia benar-benar menjalankan pekerjaan dengan profesional. Huzam pun meraih dompet di saku belakang celananya. Ia ambil kartu tanda pengenal itu seraya menyerahkannya pada Arbrito. “Aman,” gumam Arbrito. “Mari kita masuk.” Huzam mengayunkan langkah. Ia tidak sedikit gugup mengingat tempat semacam ini jelas berbeda antara yang di Borobudur dan Jakarta. Tempat hiburan malam seperti ini mungkin hanya diperuntukan untuk kalangan tertentu saja. “Mana identitasnya?” tanya penjaga pintu masuk yang berpakaian mirip dengan Arbrito. “Ini.” Penjaga pun menerimanya seraya mengamati susunan huruf di kartu tanda pengenal itu. “Huuuuzam,” gumam penjaga. Arbrito mengangguk. Dari segi usia jelas Huzam tidak dipermasalahkan lagi untuk menginjakkan kaki ke dalam sana. Ia sudah di atas tujuh belas tahun. “Anak baru?” tanya penjaga itu. Seingatnya Arbrito selalu datang sendiri. Arbrito mengangguk. “Calon VVIP di sini.” Penjaga pun tersentak. “Benarkah?” Arbrito melangkah maju. Ia ambil paksa kartu tanda pengenal milik Huzam. “Jangan asal bicara. Salah-salah, kau bisa kehilangan pekerjaan.” Penjaga itu pun mengangguk. Ia persilakan Huzam dan Arbrito masuk ke tempat hiburan malam itu. “Silakan.” Huzam yang mengamati sedikit tidak mengerti. Ia berusaha menatap penjaga yang berbisik satu sama lain. “VVIP? Dari siapa? Anggoro?” “Terus saja Nak Huzam,” ujar Arbrito yang juga mendengar kasak kusuk itu. Huzam pun mempercepat langkah. Ia ikuti sebaik mungkin instruksi Arbrito. Ini bukan sebuah hal baru bagi Huzam. Dunia semacam ini pernah ia saksikan. Tepatnya, di siaran televisi atau film-film yang ia tonton. Lampu kelap-kelip yang identik dengan iringan musik. Lantai marmer yang terkategorikan licin dan hingar bingar orang-orang di dalamnya. Ini adalah dunia malam yang penuh dengan kejutan. Huzam menatap Arbrito penuh keheranan. Malam pertamanya di Jakarta sudah diajak bermain di tempat-tempat semacam ini? Yang benar saja. Alunan musik yang menghentak membuat suasana di dalam sana semakin tidak terkendali. “Ada yang mau bertemu denganmu!” seru Arbrito. Ia harus meninggikan suara agar tidak kalah dengan dentuman musik dari DJ yang memandu hiruk pikuk itu. “Dengan saya?” ulang Huzam sambil menunjuk dirinya sendiri. Arbrito mengangguk. Jauh sebelum hari ini ia sudah mencari tahu dulu. Ia harus memastikan di Jakarta Huzam tidak akan kesepian. Maka bukan Arbrito namanya jika tidak menemukan apa yang dibutuhkan majikannya. Satu nama berhasil ia kantongi dan mendapatkan akses berkomunikasi. Malam ini janji pertemuan mereka. Huzam tak mengerti. Seingatnya ia tidak punya kenalan sama sekali di Jakarta. Kota ini benar-benar baru baginya. Huzam mengedarkan pandangan. Ia bisa dengan jelas melihat minuman kaleng dan berbagai jenis minuman lainnya. Bahkan, ada yang harganya super mahal. Orang-orang di sini sudah pasti bukan dari kalangan rendahan seperti dirinya. “Kita tunggu di situ,” ujar Arbrito sambil menunjuk meja yang kosong. Baru saja ditinggalkan penghuni lain. Huzam mengangguk. Ia mendudukkan diri di salah satu kursi. Sisa-sisa minuman di botol masih terlihat banyak. Huzam menyingkirkannya. “Kenapa? Risih?” tanya Arbrito. Seingatnya Huzam tidak alergi dengan hal-hal semacam ini. “Bekas orang,” kilah Huzam. Arbrito tersenyum samar. Bahkan sebelumnya mereka kerap joinan. Arbrito menggeleng. Ia kembali mencari sosok yang sedang ia tunggu. Mereka berjanji untuk tidak terlalu lama saling menunggu. Namun, sampai waktu temu sudah melebihi batas sekitar lima belas menit, orang tersebut tak kunjung datang. Arbrito pun mulai gusar. “Sebentar, Zam,” ujar Arbrito seraya menilik ponselnya. Ia periksa notifikasi getar yang baru saja ia terima. Matanya membelalak sempurna. “Ada apa, Pak?” tanya Huzam mengamati perubahan riak wajah Arbrito. “Di ruang khusus bukan di sini. Saya salah baca pesan. Arghhh pantas tidak ketemu.” Huzam pun terpinga. Pak Arbrito kesal hanya karena salah menemukan tempat pertemuan. Sungguh, hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Huzam sebelumnya. “Kita pindah, Zam.” “Pindah, Pak?” “Iya. Kita naik ke lantai paling atas,” ucap Arbrito seraya berdiri. Huzam pun mengikutinya. Ia sedikit merapikan jaket jins yang ia kenakan. Tanpa memerhatikan langkah, ia menubruk seseorang. “Maaf, ucap Huzam pada pria yang tampak tengah mabuk.” “Kalau jalan lihat-lihat!” sentak pria tersebut sambil menunjuk mata Huzam. Huzam hanya mengangguk. Ia salah melangkah dan harus mendapatkan u*****n seperti itu. Huzam tidak nyaman. “Sudah biarkan saja. Kita ke lantai atas,” ujar Arbrito. Huzam mengangguk lagi. “Baik, Pak.” Huzam kembali merapikan jaketnya dan mencium sedikit baunya. Rasanya tidak asing tapi ia sudah tidak menginginkannya lagi. Ditambah di tempat yang ia yakin menyediakan dari segala macam jenisnya. Huzam mengukir senyum samar. Jaka jika anak itu datang ke sini sudah pasti akan senang sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN