47. Dunia yang diimpikan bagian 2

1588 Kata
Lepas acara makan siang Huzam diajak berkeliling oleh perempuan yang belum ia kenal namanya. Huzam yang sejak dulu bukan tipe orang yang bisa memulai sesuatu pun hanya bisa mendengarkan penjelasan tanpa membantah.                “Semua yang ada di Rubico di bawah pengawasan saya. Jika anda butuh bantuan, anda bisa menghubungi saya juga.”                “Baik, Bu.” Huzam yang penting menjawab. Ia tidak peduli saat nanti harus menghubungi lewat apa. Di dalam kontak nomornya ia hanya memiliki dua nama.                “Mari kita ke lantai tiga,” ujar perempuan tadi seraya menunjuk pintu lift. Huzam mengangguk kecil.                “Maria!” seru Arbrito dari sudut lain di lorong itu. Sontak membuat perempuan yang menemani Huzam menoleh. Ia melotot tajam.                “Sejak kapan boleh panggil nama?” tanyanya sedikit kesal. Siapa pun tahu peraturan itu.                Arbrito terkekeh. “Tidak apa-apa. Huzam bukan orang asing.”                Maria melirik ke arah Huzam. Bukan orang asing katanya? Saat tiba-tiba datang dan menjadi bagian dari keluarga? Sungguh Maria tak percaya.                “Saya nitip Huzam ya, Mar. Saya ada urusan hari ini.” Arbrito tampak gugup. Ia seperti buru-buru.                “Urusan? Rumah kah?”                Arbrito mengangguk. Ia harus segera ke rumahnya dikarenakan beberapa hal. “Malam nanti saya sudah balik.”                Maria berpikir sejenak. Jika seperti itu pasti cukup penting. Sampai-sampai Arbrito harus meluangkan waktu.                “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati, Mas.”                Arbrito mengangguk lagi. “Saya nitip Huzam. Ingat, dia benar-benar awam dalam segala hal.”                Maria melotot tajam. Artinya Huzam benar-benar amatiran?                “Melebihi siapa saja,” imbuh Arbroito.                Huzam yang cukup sadar menjadi topik pembicaraan hanya bisa diam. Ia tidak punya daya untuk menyangkal maupun membela diri di saat seperti ini.                “Huzam, jangan buat ulah, ya. Saya keluar sebentar,” pesan Arbrito. Ia sedikit khawatir tapi berusaha menepisnya.                Huzam mengangguk. Mana mungkin ia berani melakukannya?                Maria dan Huzam meneruskan niat mereka menuju lantai tiga. Sesuatu yang tidak terlihat dari sisi manapun Rubico. Lagi dan lagi Huzam dibuat terpana.                “Ruang baca atau ruang belajar, ruang meditasi atau yoga dan ruang ibadah khusus. Biasanya dipakai Bapak saat momen-momen tertentu,” terang Maria. Ia benar-benar hapal setiap detail yang ada di Rubico.                Huzam hanya mengangguk. Meski takjub area ini tak terlalu membuatnya tertarik. Di mana buku-buku tersusun rapi di sebuah rak. Sungguh ia bukan tipe pembelajar seperti kebanyakan orang.                “Nah, waktu luang anda sekarang wajib digunakan untuk membaca. Saya sudah memilih tiga judul yang harus diselesaikan secepatnya. Malam nanti agenda anda sudah berbeda.” Maria maju beberapa langkah. Ia mengambil tumpukan tiga buku yang sudah ia persiapkan dan meletakannya di atas meja. “Buku adalah jendela ilmu. Anda akan lebih pintar jika sering-sering membaca.” Maria menunjuk satu kursi yang menghadap langsung ke view taman dan kolam di bawah.                Huzam terpana. Ia tak menyangka harus menelan buku-buku itu. Dari judulnya sangat asing di mana dua seperti buku mengenali jati diri dan satu lagi berbentuk fiksi. Tentu Huzam tak bodoh. Ia pilih yang dirasa sesuai dengannya dan cukup tipis untuk dihabiskan dalam satu kali duduk.                “Ini saja,” ujar Huzam. Jika memang harus ia akan menghabiskannya sebisanya.                “Baik. Kalau begitu saya tinggal dulu. Akan saya sampaikan tugas anda selanjutnya setelah anda selesai menyelesaikannya.” Maria seperti mengetahui banyak hal. Tugasnya tampak lebih penting dibandingkan dengan Arbrito di rumah mewah ini.                Huzam mengangguk lagi. Ia tidak bisa melakukan hal lain selain itu. Meski di satu sisi sangat enggan. Maria melirik ke arah sudut kanan atas. Ia tahu di sana ada kamera pengawas. Anggoro akan dengan mudah mengawasinya dari ruangan lain. Maria mendesah.Ia sengaja tak memberitahukannya pada Huzam. Ia berharap pemuda ini tak betah lama-lama di Rubico dan gagal menjadi penerus ataupun apa pun itu yang sedang direncanakan Anggoro.                        Huzam bukan tipe anak yang senang belajar seperti yang ada di buku semacam ini. Jika dizinkan ia jelas lebih senang melakukan hal-hal yang erat dengan kegiatan fisik. Huzam mendesah. Waktu satu jamnya terbuang hanya dengan membolak-balikan halaman itu. Tidak bisa meresapi maknanya dan ia merasa bosan. Huzam pun berdiri. Ia lihat-lihat seisi ruangan sambil mengusir bosan. Huzam memikirkannya. Apa mungkin maksud menjadi keluarga adalah menjadi putra dari Pak Anggoro? Apa ia harus memenuhi standar yang sudah ditetapkan? Huzam mengacak rambutnya. Ia menggeleng beberapa kali. Dibanding keluarga seperti itu ia akan lebih senang jika dijadikan sebagai pengawal. Tentu kegiatannya akan berkaitan dengan dunia luar. Jika seperti ini terus, kapan ia akan bertemu Bintang? Huzam menghela napas berat. Ia yakinkan dirinya bahwa ini baru satu hari. Masih ada hari-hari berikutnya.               Hingga sore tiba, Huzam hanya menghabiskan waktu di tempat itu. Tanpa ia sadari ia bisa menyelesaikan satu buku saat tak memiliki aktivitas lain sama sekali. Ponselnya bahkan diambil oleh Maria. Pintu ruangan itu terketuk sebanyak tiga kali yang diikuti kedatangan Maria. Huzam tersenyum lega. Akhirnya ia bisa keluar dari sini. “Sekarang, saatnya anda membersihkan diri,” ujar Maria. Seperti biasa datar tanpa berekspresi. Huzam mengangguk mantap. Ia letakkan di atas meja buku yang tadi dipegangnya. Ia menjadi sangat antusias. Maria melirik sekilas. Ia menyadari bahwa buku itu sudah nampak kumal.                “Ini ponsel anda. Silakan menunggu arahan selanjutnya dari Pak Arbrito. Anda bisa turun ke kamar anda melalui lift.”                Huzam mengangguk. Meski berasal dari kampung, ia tak sebodoh itu. Ia bisa menekan tombol lift dan paham harus berhenti di mana. Gegas Huzam melangkah. Badannya sudah cukup gerah. Mandi dengan sabun wangi tentu akan menyegarkan dirinya. Setelah itu ia akan menghubungi Arbrito.                ***                “Bagaimana menurutmu Maria?” tanya Anggoro sesaat setelah Maria datang ke ruang kendali.                “Saya tidak yakin, Pak.”                “Mengapa tidak yakin? Bukankah dia tampak berbakat?” Anggoro menunjuk ke layar monitor di mana rekaman saat Huzam belajar tadi terlihat.                Maria mengangguk. “Ya, sekilas memang iya, Pak. Pemuda itu penuh dengan kilatan seperti yang Bapak harapkan. Namun, saya juga merasakan jiwa liar yang terlalu kuat. Entah, mungkin hal itu berasal dari kehidupannya sebelumnya.”                Anggoro mengangguk. Ia setuju akan hal itu. Huzam, bukan seseorang yang mudah untuk dikendalikan. Jelas sekali dengan track recordnya sebelumnya.                “Lalu setelah ini apa? Apa perlu langsung kita beri pendidikan formal?” Anggoro kembali meminta pendapat. Ia hanya punya dua orang kepercayaan yaitu Arbrito dan Maria. Tentu apa saja ia sampaikan pada dua orang itu. Maria berdiam diri sejenak. Ia jelas memikirkannya sejak tadi mengajak Huzam belajar di perpustakaan. Namun, ia ragu akan hal itu. “Bagaimana Maria? Tidak mungkin kamu tidak mengetahuinya.” “Jika diizinkan saya akan menyarankan dua hal.” “Dua hal? Apa saja?” Maria mendekat. Ia bekata lirih pada Anggoro untuk menyampaikannya. Ia yakin dua hal itu akan semakin memperlihatkan seperti apa karakter Huzam. Anggoro tergelak. Ide dari Maria cukup unik dan segar. Keduanya bisa dicoba. “Siapa yang akan mengantar? Jelas bukan kamu,” ucap Anggoro. Maria bertugas di Rubico. Tidak untuk tempat lain. “Pak Arbrito saja, Pak. Beliau kebetulan sedang ada urusan di rumahnya.” “Di rumahnya? Kenapa tidak bilang saya?” Anggoro tersentak. “Sesuatu yang mendesak dan pasti tidak bisa dikompromikan, Pak.” “Anak itu lagi?” Maria pun mengangguk. “Ya sudah. Kau minta Huzam untuk bersiap. Minta sopir mengantar ke sana. Sisanya biar saya yang sampaikan pada Arbrito. Sekarang kau boleh pergi.” Maria mengangguk. Ia berjalan mundur meninggalkan ruangan Anggoro. Sungguh, sudah bertahun-tahun ia bekerja di sana. Dan baru saat ini Anggoro benar-benar memikirkan tentang pewaris. Maria mendesah. Ia tak yakin pemuda bernama Huzam akan memenuhi harapan. Maria mengeluarkan ponselnya begitu sampai di kamar. Ia hubungi nomor Arbrito yang sudah seperti saudaranya sendiri. “Mas lagi apa? Bagaimana kondisi Fatiya?” “Tidak apa-apa. Hanya demam biasa.” “Syukurlah. Maaf tidak bisa ikut menjenguknya.” “Tidak apa-apa. Huzam aman?” Maria terdiam. Arbrito bahkan sudah sangat memerhatikan pemuda itu. “Maria ...” “Seperti yang kamu sarankan. Aku meminta Bapak membawa Huzam ke rumahmu dan satu hal yang seperti tidak mungkin dilakukan.” “Terima kasih, Maria. Kamu yang terbaik.” “Kenapa tidak kamu yang bilang langsung? Kenapa harus aku?” Dari ujung sana terdengar Arbrito terkekeh. “Urusan jadwal dan saran Bapak lebih senang mendengar darimu. Beliau tidak akan mendegarkanku.” Maria menghela napas panjang. “Apa lagi kali ini? Akan dijadikan apa pemuda itu?” “Yang jelas tidak sama dengan kita. Huzam memiliki kemampuan lebih.” Maria tampak frustrasi. Ia mulai tak sabar dengan hal-hal yang berjalan di sekitarnya. “Haruskah dia? Tidak bisa Fatiya saja?”                “Hei! Kamu mau mengorbankannya? Yang benar saja.”                “Lantas kamu akan mengorbankan Huzam?”                Arbrito tertawa lagi. “Tidak, lah. Bapak tidak seperti itu. Beliau hanya sedang menunggu. Ingat, beliau tidak punya siapa-siapa selain kita. Untuk itu beliau perlu dukungan lain.”                “Entahlah, aku tak yakin dengan ini.”                “Kita lihat saja Maria. Tidak perlu terburu-buru.”                “Baiklah, Mas.”                “Berarti malam ini tidak pulang?”                “Tidak jika pemuda itu melakukan sesuai yang kita pikirkan.”                “Hahaha. Kamu paling bisa mencari alasan untuk berlama-lama di situ.”                “Mau bagaimana lagi? Kadang, aku juga perlu kehidupan normal. Kau juga Maria. Carilah pasangan.”                Maria tergelak. Pasangan? Di usaianya yang nyaris kepala empat? Mana ada.                “Ya sudah, Mas. Aku tutup dulu.”                “Oke. Terima kasih sudah membantuku, Maria.”                “Sama-sama, Mas.”                Maria menutup panggilan itu. Hatinya meski tersayat tetap ia coba pertahankan sebaik mungkin. Arbrito, lelaki yang ia temui setelah bertemu dengan Pak Anggoro selamanya hanya akan menganggapnya sebagai rekan kerja. Tidak untuk yang lain. Maria mendesah. Ia edarkan pandangan ke seisi kamar. Terkadang, dunia yang diimpikan banyak orang berbeda jauh dengan yang diimpikannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN