49. Pertemuan Tak Terduga

1231 Kata
Arbrito terus melangkah. Ia membawa Huzam menuju lantai paling atas di gedung tersebut menggunakan lift. Seharusnya orang yang mengatur janji temu dengannya sudah di sana. Pintu lift terbuka. Arbrito dan Huzam kembali melewati sebuah lorong. Di depan sebuah pintu besar tak ada lagi penjaga. Semua orang yang bisa sampai di lantai itu sudah pasti melewati pemeriksaan dulu di lantai dasar. Dan tidak semuanya bisa sampai di atas sana.                Huzam kembali dibuat terpana. Jika ruangan yang sebelumnya ia singgahi bersama Arbrito cenderung ramai serta banyak sekali orang dari berbagai kalangan berbeda dengan ruang yang ia tempati sekarang. Bar tender tersusun sedemikian rupa. Dibuat agar para pengunjung bisa mendapatkan ketenangan. Tidak ada hiruk pikuk, tidak ada alunan musik yang menghentak. Hanya ada orang-orang yang menghadap ke gelas mereka masing-masing.                Arbrito menyapukan pandang ke seisi ruangan. Ia menemukan satu sosok yang berdasarkan deskripsi yang ia miliki sangat cocok. Arbrito melangkah maju. Tepat saat berada di belakang pemuda itu ia tersenyum simpul pada Huzam. Huzam bergeming. Dari belakang ia cukup mengenal gestur itu.                “Roni,” lirih Huzam.                Roni berbalik. Ia sudah tahu bahwa hari ini akan bertemu sahabat lamanya dari Borobudur. Arbrito menjelaskan banyak hal sebelum mereka mengatur waktu bertemu.                “Huzam,” balas Roni. Keduanya pun saling menyapa dengan menjabat tangan masing-masing. Tak lupa mendaratkan pelukan keakraban.                “Gimana kabarmu?” tanya Huzam seraya mengurai pelukan itu. Sedikit canggung saat Arbrito terus mengamati mereka.                “Baik, Zam. Lo?”                Huzam merentangkan tangan. Ia perlihatkan bagaimana dirinya sekarang. “Baik juga.”                Roni merangkul Huzam. Masih belum puas hanya menanyakan itu. Ia mengajak Huzam duduk di kursi yang tadi menjadi tempatnya.                “Tambah satu,” ujar Roni pada pelayan yang ada di sana. “Masih doyan, kan?” seloroh Roni.                Huzam terkekeh. Tentu ia bisa menghabiskannya dalam satu kali tenggak. Ditambah saat bertemu dengan sahabat lama. Huzam lupa ia datang bersama seseorang.                “Ah, ya.” Ia pun menoleh dan mendapati Arbrito sedang menatapnya. “Pak....”                Arbrito tersenyum samar. “Selamat malam Nak Roni. Saya Arbrito yang menghubungi Nak Roni,” ujar Arbrito memperkenalkan diri.                “Ahhh yang setiap waktu memberitahu....” Roni hampir saja kelepasan bicara. Ia sudah tahu banyak hal tapi diminta untuk berpura tidak mengetahuinya.                “Saya dapat informasi bahwa salah satu teman dekat Nak Huzam ada di Jakarta. Untuk itu saya menghubungi.” Arbrito tidak mungkin membeberkan semua fakta sekaligus. Ada banyak hal yang masih harus ia sembunyikan dari Huzam.                “Ah, iya, betul-betu. Saya juga dapat info begitu. Ngomong-ngomong, ini diizinkan kan, Pak? Kita have fun dulu ini,” ujar Roni. Ia juga ingin menghabiskan waktu bersama Huzam dan mencari tahu beberapa hal.                Arbrito mengulas senyum. Ia jelas mengizinkannya. Ia pun mengangguk mantap. “Saya tunggu di ruang lain, Nak Huzam. Jika sudah, silakan telepon nomor saya.”                Huzam mengangguk. Meski bingung ia cukup senang dengan pertemuan tak terduganya dengan Roni. Ia tentu tak mau melewatkannya begitu saja. Arbrito melangkah maju. Ia sedikit mencodongkan badan ke arah Huzam.                “Ini hadiah pertama dari Bapak,” bisik Arbrito.                Pupil mata Huzam membesar. Hadiah?                  Arbrito mengangguk kecil seraya meninggalkan Huzam dan Roni berdua.                “Asisten?” tanya Roni setelah Arbrito pergi. Ia bicara dengan nada cukup serius.                Huzam menggeleng. Ia menggengam gelas berisi coktail itu seraya tersenyum kecil. “Rekan kerja.”                Roni menoleh. Ia amati wajah Huzam yang nampak berbeda dari pertemuan terakhir mereka. Sahabatnya itu sudah lebih rapi, bersih dan lebih baik.                “Aku kerja, Ron. Kedatanganku ke Jakarta dalam rangka itu juga.”                “Kerja? Kerja apa? Bareng orang kaya Pak Arbrito?”                Huzam terkekeh. “Susah dijelaskan. Panjang critanya. Kamu sendiri gimana? Makin keren aja tampilannya.”                Roni tertawa. Keren apanya? Ia bahkan tidak sampai mendapatkan ijazah SMK.                “So far so gud, Zam.”                Huzam tergelak. Candaan mereka saat pelajaran bahasa inggris yang membingungkan. Ditambah gaya sang guru yang terlalu memaksakan diri menggunakan aksen Amerika atau Australia.                “Kenapa? Ingat PakYasir?”                Huzam mengangguk. Ia ingat betul bagaimana guru laki-laki itu berbicara. “So far so guuuuuuddd,” ulang Huzam.                Roni menggeleng. Memang seperti ini indahnya memiliki sahabat. Saat hal-hal kecil yang mungkin bagi sebagian orang tampak biasa menjadi istimewa. Roni meneguk coktail di gelasnya. Ia sedang tidak ingin terlalu mabuk. Ia sedang ingin menanyakan banyak hal pada Huzam.                “Kabar Bintang gimana, Zam? Masih cerewet nggak tuh anak?” Roni memainkan jemarinya pada ujung gelas. Ia sudah tahu dari Arbrito. Ia hanya ingin memastikan.                Huzam menghela napas panjang. Keberadaanya di Jakarta atas dasar hilangnya Bintang. Ia sedang berusaha mencarinya. Huzam menggeleng kecil.                “Kenapa? Udah lebih kalem anaknya?” Roni meski tersayat hatinya saat menanyakan itu berusaha setegar mungkin. Ia tidak boleh terlihat sudah lebih dulu mengetahui kabar itu.                Huzam menunduk dalam. Bagaimana kabar adiknya? Sedang apa sekarang? Apakah benar-benar baik? Ia sama sekali tak mengerti.                “Bintang hilang, Ron. Ibuku dibunuh,” ungkap Huzam pilu.                Roni menghela napas berat. Kabar itu bukan rekayasa. Gadis cantik pujaannya kini benar-benar tak diketahui rimbanya. Roni ikut merasakan seperti apa luka batin yang diderita Huzam. Ia bisa merasainya.                “Kejadiannya enam bulan lalu. Aku pulang sekolah dan ibu tergeletak di lantai. Bintang sama Rahma nggak ada. Nggak ada jejak, nggak ada bukti nggak ada saksi. Semua orang bungkam seolah mulut mereka sengaja dikunci.” Huzam merasakan betul amarah itu. Ia masih ingat bagaimana orang-orang di desanya bersikap masa bodoh.                “Polisi? Tidak dikejar sama polisi?”                Huzam mendecih. “Kamu lupa kita tinggal di mana? Polisi katamu?”                Roni menggeleng. “Ini pembunuhan, Zam. Tidak mungkin mereka tutup mata.”                Huzam meneguk minuman di gelasnya. Jika mereka membuka mata lebar-lebar jelas pelaku pembunuhan itu sudah diringkus dengan cepat. Tidak akan sesulit dan selama ini.                “Apa alasanmu ke Jakarta karena ....” Roni berusaha menyimpulkan. Bisa jadi terhubungnya Huzam dan Pak Arbrito karena hal itu.                Huzam mengangguk. Alasannya hanya satu. Menangkap pelaku dan mencari keberadaan Bintang. Tak ada alasan lain yang bisa membawanya meninggalkan Borobudur untuk sampai ke Jakarta.                “Titipanku? Apa Bintang pernah melihatnya?” Ingatan Roni melesak cukup jauh. Ia ingat betul benda apa yang ia berikan khusus untuk adik sahabatnya.                Huzam kembali menunduk. Ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia menggeleng kecil. “Sorry, Ron. Mungkin, Bintang belum melihatnya.”                Roni menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Jelas ini berita buruk yang ia terima setelah bertemu Huzam. Ia bahkan membuat pengakuan di dalam kotak berpita biru itu.                “Masih aku bawa. Bintang mungkin belum sempat membukanya,” ujar Huzam. Ia mendongak.                Roni mengangguk kecil. Ia perhatikan wajah frustrasi Huzam. Sudah pasti Huzam sangat ingin menemukan Bintang. Roni menepuk punggung sahabatnya. Ia sudah tahu detail semua kronologinya. Ia bahkan menjadi salah satu yang nantinya dimintai bantuan oleh Arbrito untuk menemukan Bintang.                “Kita cari sama-sama, Zam. Kita temukan Bintang Kejora yang berharga.”                Huzam mengangguk. Ia tersenyum samar. Cukup menyenangkan memiliki seseorang yang mengenal diri kita lebih dalam. Ada tempat untuk berbagi barang sebentar. Huzam meraih gelas miliknya. Ia tenggak habis coktail itu. Ia rasa malam ini ia kembali membutuhkannya.                “Ada yang lebih kuat?” tanya Huzam dengan wajah penuh harap.                “Apa tidak masalah dengan pengawalmu?” Roni mengganti kata asisten menjadi pengawal.                Huzam terkekeh. “Mereka bilang ini hadiah. Aku tentu harus memanfaatkannya.”                Roni tersenyum lebar. Huzam—Veteran di kelasnya. Huzam tak sebodoh yang dikira orang-orang. Roni mengangkat tangan. Ia meminta pelayan menyediakan minuman yang menjadi jenis favoritnya. Malam ini ia berjanji akan membantu Huzam menemukan Bintang selama Huzam berada di Jakarta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN