14. Arupadhatu

1100 Kata
Huzam tidak langsung membelokkan sepeda motornya menuju rumah. Ia masih ingin menikmati sore dengan sekadar memutari kawasan wisata Candi Borobudur. Ia tahu tahun lalu ibunya pernah berjualan di sana bersama sang ayah. Huzam kecil sekitar usia kelas tiga SD sepulang sekolah tidak langsung ke rumah melainkan bertemu sang ayah. “Mau nyoba pakai sambel nggak, Zam?” tanya sang ayah kala itu. Sudah pasti ia menyiapkan menu andalan untuk Huzam. “Nggak, Pak. Huzam nggak mau.” “Wes gede kok eseh ra doyan pedes. Piye kui?” timpal sang Ibu. “Nanti es tehnya kebanyakan, Bu,” kelakar Huzam. Ningtiyas tersenyum. Putranya selalu bisa membuat hari-hari mereka semakin lebih baik. Meski berada di garis keluarga tak mampu, mereka masih punya senyum bahagia. “Ya, ya. Biar nggak minta punya Ibu, ya,” kata ayah Huzam. Huzam mengangguk. Ia terima semangkuk mie ayam dari gerobak biru milik ayahnya. Hampir setiap siang ia tak pernah melewatkan mie tersebut. “Ibu keliling dulu, ya, Pak. Mau muter lagi.” Ningtiyas kembali mengangkat gelas-gelas plastik berisi es teh manis juga es kelapa. Ia harus menjajakannya ke para pengunjung yang datang. “Ya, Bu. Moga laris.” Ningtiyas tersenyum. Sungguh hidup susah tak masalah asal ia bersama anak dan suaminya serta calon buah hatinya yang masih di dalam perut. Terik matahari tak menghalangi niatnya menjemput rezeki. Huzam melambaikan tangan. Ia masih belum paha caranya meringankan beban orang tua. Setelah menghabiskan semangkuk mie instan itu, ia seperti biasa hanya mengamati aktivitas ayahnya. Ia kadang ikut berseru senang saat ada beberapa pembeli yang datang. “Kelas berapa, Zam?” tanya salah satu pedagang di kios batik. “Tiga,” jawab Huzam singkat. “Lah dikira udah kelas lima, Zam.” Huzam mengernyitkan kening. “Emang badannya tinggi, Bu. Nurun aku,” timpal ayah Huzam. Huzam pun mengangguk. Ia setuju akan pendapat itu. Beberapa orang pernah mengatakan padanya juga. Bagi Huzam ayahnya adalah panutan. Huzam mengusap wajah. Momen itu mau sekuat hati ia lupakan tetap tak akan bisa. Selalu saat melewati kawasan candi apalagi saat berjalan-jalan di dalamnya, ia akan merindukan sang ayah. Sosok laki-laki yang tak mungkin lagi bisa ia temui. Sore ini rasanya hidupnya begitu hampa. Di rumah sederhana mereka tak ada sosok seperti itu lagi. Sekarang, sosok angkuh nan menyebalkan yang justru menggantikan. Huzam masih kesal mengapa ibunya memilih menikah lagi. Sejak saat itu, ia memang menjadi pribadi yang berbeda. Huzam tak lagi pernah merasakan kehidupan normal. Setiap hari ia selalu menyaksikan ibunya disiksa. Dan yang paling ia benci sang ibu tak pernah melawan. Bahkan, sang ibu menjadi lebih keras padanya dan Bintang. Huzam yang merasa tak punya lagi apa-apa dan tidak punya seseorang yang ia takuti menjadi lebih berani. Semua energi negatif yang ia punya, ia salurkan dalam bentuk kenakalan remaja. Berbeda bentuk dan wajah setiap bulannya. Huzam menghentikan sepeda motornya tepat di pinggir sawah jalanan belakang kawasan Candi Borobudur. Di mana sebuah stupa tertinggi candi tersebut terlihat dengan cukup jelas. Dinding Arupadhatu tidak dihiasi relief sama sekali. Di mana terdiri dari tiga pelataran berbentuk bundar dan stupa paling atas yang besar. Arupadhatu atau tingkatan atas melambangkan kehidupan religius dan spiritual tertinggi yang mengagungkan perdamaian penuh keselamatan jiwa. Tingkatan ini menggambarkan kehidupan Sang Budha yang telah mencapai kesempurnaan karena berani meninggalkan kehidupan dunia untuk mencapai pencerahan. Huzam pernah mendengarnya dari guru sejarah di sekolah dasar. Ia masih sangat ingat mengingat dulu ia tergolong siswa yang pandai. Huzam mengukir senyum. Setiap kali rasa rindunya untuk sang ayah datang, bisa ia obati dengan manatap stupa itu. “Huzam!” seru seseorang dari belakang. Huzam pun menoleh. “Ngapain di situ?” tanya perempuan muda, energik, mungil, lincah nan manis itu. “Eh, Bu,” ujar Huzam. Ziya sedang berjalan-jalan dengan sepeda listrik yang memang sedang menjadi trend di kawasan Candi Borobudur. Banyak para pengusaha muda, pedagang, juga perorangan lain menyewakannya. Ziya bersama sepeda listriknya menyebrang, menghampiri murid istimewanya. “Ngapain di situ, Zam?” tanya Ziya lagi. Ia belum mendapatkan jawaban dari Huzam. Huzam menggaruk tengkuk. Akhir-akhir ini hampir setiap hari ia bertemu dengan wali kelas barunya itu. Di hampir semua tempat yang ia kunjungi. “Oh, lagi lihat candi? Kenapa? Bagus, ya?” tanya Ziya. Ia sudah turun dari sepedanya. Huzam mengangguk kecil. Sekarang, tak hanya ia sendiri yang menatap senja dengan hiasan stupa itu. Ada perempuan muda, enerjik, mungil, lincah lagi manis di sampingnya dengan jilbab segitiga melekat di kepalanya. “Saya kadang juga muter-muter, Zam. Kalau lagi longgar waktunya ya gini jalan-jalan sendiri. Ternyata kamu juga ya.” Huzam mengangguk. Bagaimana ia harus menjawabnya? Tanpa seragam sekolah, tanpa baju batik dan rok hitam yang dikenakan Ziya, mereka tampak seumuran. Jika dalam posisi seperti ini tak terlihat bahwa mereka terikat dalam sebuah hubungan wali kelas dan siswa dengan berbagai macam problema. “Kadang memang perlu melihat sesuatu dari jarak jauh. Biar kita bisa melihat keindahannya. Kalau misal kita bolak balik ke candi terus ngecek bagian atas, buat kita yang orang Borobudur udah biasa banget. Tapi kalau melihat dari sudut pandang seperti ini vibesnya beda.” Huzam tak langsung menjawab. Ia justru kembali mengamati stupa itu. Terasa dekat tetapi sebenarnya jauh. Nampak bisa dijangkau tetapi sulit. Terlebih stupa itu menghadap ke langit. Pun dengan ayah kandungnya yang sudah tenang di surga. Begitu pikir Huzam. “Perkara itu candi buda dan lain-lain yang mungkin beda sama kepercayaan kita, kalau saya ngamatinnya sebagai warisan budaya aja, Zam. Jadi memang sebagai warga Borobudur kita pantas bangga. Apalagi banyak warga yang menggantungkan kehidupan dari sana. Pedagang kecil, tetangga kita atau bahkan orang tua kita sendiri. Ya nggak, Zam?” tanya Ziya sambil menoleh. Huzam tergagap. Bagaimana wali kelasnya begitu berbeda saat berada di luar sekolah? Bagaimana perempuan itu tampak begitu nyaman berbicara dengan murid yang super terkenal dengan kenakalan? Apa ini khayalan? Ziya menggeleng. Rupanya murid istimewanya itu benar-benar sedang menikmati senja. Bahkan, ucapannya tak didengarkan dengan baik. “Jangan lupa besok bawa surat pernyataan yang ada tanda tangan orang tua, ya. Sekalian kamu minta izin buat persiapan pengabdian. Dua minggu di pondok pesantren.” Tentu Ziya tak lupa akan tugasnya. Saat berhenti dan menyadari bahwa itu murid istimewanya, ia sengaja menyempatkan menghampiri. Tak lain agar muridnya ingat tentang hal-hal yang kerap dilupakan. Huzam mengangguk. Ya, begini harusnya Bu Guru Ziya. Tidak mungkin jika tidak ada maksud lain yang dibawa. “Saya balik dulu, ya, Zam. Kamu pulang jangan malam-malam. Kasihan ibu kamu nanti nyariin.” Ziya bersiap menaiki sepeda listriknya lagi. “Biar saya bantu, Bu,” ujar Huzam saat melihat Ziya sedikit kesulitan. “Oh, ya, makasih, Zam.” Huzam mengangguk lagi. Sungguh ini bukan seperti dirinya. Tak biasanya ia peduli dengan hal-hal remeh semacam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN