Setelah memastikan Ziya melambaikan tangan serta meninggalkan spot favoritnya, Huzam kembali menyaksikan senja seorang diri. Ia masih setia mengingat dalam hatinya masih ada perasaan rindu pada sang ayah. Mungkin, setelah hari ini ia benar-benar akan memperbaiki semuanya.
“Roni?” lirih Huzam saat merasakan getaran ponsel dan mengambilnya.
“Halo. Ada apa?”
“Kamu di mana, Zam?”
“Lagi jalan-jalan.”
“Ke rumahku sekarang.”
Huzam terdiam. Rumah Roni? Tempat di mana mantan aktris itu berada?
“Ngapain?”
“Aku jelasin kalau udah di sini. Buruan aku tunggu pokoknya.”
Huzam berpikir sejenak. Matahari sudah condong ke arah barat. Sebentar lagi kumandang azan maghrib terdengar. Artinya ia akan kembali ke rumah setelah gelap sempurna membungkus langit.
“Penting, Zam. Temenku kan kamu?” tanya Roni terdengar memelas.
“Ya udah oke.”
“Yes. Makasih, Zam.”
Sambungan pun terputus. Huzam meletakkan kembali ponselnya ke saku celana. Ia sekali lagi menatap stupa itu dan meyakini bahwa sang ayah baik-baik saja di surga. Satu senyuman Huzam berikan. Teringat akan pesan seseorang barusan.
“Kamu pulang jangan malam-malam. Kasihan ibu kamu nanti nyariin.”
”Maaf, nggak bisa,” jawab Huzam sambil mengendarai sepeda motornya.
***
Berbagai kotak kardus serta tas-tas milik Roni sudah tersusun rapi. Ia sengaja mengemasnya agar lebih mudah dibawa. Tak peduli saat artinya barang-barang miliknya itu akan mendominasi di antara barang-barang milik keluarga. Roni tak peduli. Yang pasti ia tidak mungkin meninggalkan semua kenangan ini begitu saja.
“Masuk!” seru Roni saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Ada teman kamu,” ujar Hardi sinis.
“Temanku, Pak?”
“Iya. Itu nunggu di ruang tamu.”
Roni pun terkejut. Mengapa Huzam lewat pintu depan? Cari mati? Gerutunya.
“Ya, Pak.”
“Nggak pake lama.”
Roni mengangguk. Ia menyelesaikan ikatan terakhirnya di sebuah kotak kecil yang sudah ia siapkan cukup lama. Tidak ada waktu lagi selain sore ini untuk memberikannya.
“Selesai,” ujarnya puas. Ia biarkan kotak itu menempati tempat yang kosong di atas meja belajarnya. Roni pun merapikan peralatan berupa gunting dan lainnya untuk kemudian keluar dari kamar. Ia menuruni anak tangga dan menemui Huzam di ruang tamu.
“Ngapain?” tanya Roni lewat tatapan mata. Apalagi saat melihat Huzam sedang berbicara dengan ibu tirinya.
“Sini, Nak. Ini temen kamu nyariin,” ucap Yuna penuh tipu daya. Sejak kapan perempuan itu peduli pada putranya?
Roni mengangguk. Ia sedikit kesal dengan Huzam karena tidak mematuhi arahannya. “Langsung atas aja, Zam,” ucap Roni.
“Atas? Maksud kamu di kamar, Nak?” tanya Yuna seolah tidak tahu maksud perkataan Roni.
“Iya.”
Yuna menatap tajam putra tirinya. Ia tidak suka kalau sampai ada hal-hal yang tidak sesuai harapannya muncul begitu saja. Terlebih menjelang kepindahan mereka. Roni menggerakan tangannya, meminta Huzam segera mengikutinya.
“Permisi, Tante,” ucap Huzam sopan. Yuna mengangguk.
“Gia kamu. Lewat depan?” tanya Roni setelah mereka berada di dalam kamar.
“Mau ke belakang eh udah kepergok bapak kamu. Malu lah, Ron,” ungkap Huzam. Ya, mana mau ia melewati pintu depan kalau tidak karena ada suatu hal.
“Haha. Aku kira beneran niat.”
Huzam menggeleng. “Kagak. Mana ada sejarahnya.”
Roni semakin tertawa. Kata-kata temannya itu cukup melegenda. Sejak kelas satu selalu berucap mana ada sejarahnya. Sungguh, khas Huzam sekali.
Huzam ikut tersenyum. Ia mengamati ke seisi kamar Roni. Sudah banyak perubahan. Terutama barang-barang yang terpajang tidak lagi menempati posisi. Huzam pun menatap Roni.
“Kamu?”
Roni mengangguk. Ia meminta Huzam datang memang untuk memberitahukan hal itu. Sementara waktu ia tidak diperkenankan menggunakan ponsel. Jelas hal itu menyebabkan ia tidak bisa bertukar kabar pada siapa saja.
“Dini hari nanti aku berangkat.”
“Beneran pindah?”
Roni mengangguk lagi. “Ya. Jakarta.”
Bak petir di siang bolong. Jawaban itu membuat Huzam tidak bisa berkata-kata.
“Keluargaku mau pindah ke sana. Fix per dini hari nanti.”
“Dalam rangka?”
Roni menghela napas. Ia sendiri tak mengerti mengapa harus kota itu yang dipilih. Mungkin karena ibu kota dan menjanjikan segalanya.
“Sekolah?”
“Keluar lah. Udah resmi.”
“Itu bukan settingan?”
Roni terkekeh. Akhir-akhir ini sahabatnya itu cukup lucu.
“Mana ada sejarahnya.”
Keduanya pun tidak bisa untuk tidak tertawa.
“Terus ngapain aku diminta ke sini?” tanya Huzam setelah tawa mereka berhenti. Tidak mungkin jika hanya sebatas pemberitahuan tentang kepindahan Roni.
“Aku mau pamit. Sorry nggak bisa pamit sama yang lain juga. Aku juga mau bilang makasih. Kalau nggak ada lo, nggak bakal ngrasain hal-hal aneh.”
Kening Huzam berkerut. “Maksud lo?”
“Rokok, minuman, tawuran, bolosan, hal-hal dengan akhiran an yang menyenangkan.”
Sontak Huzam meninju lengan Roni. Ia tidak seratus persen mengajarinya. Roni sendiri yang memang ingin tahu akan hal-hal itu.
“Veteran emang lo, Zam.”
“Semprul.”
“Kalau ada salah sorry ya, Zam.” Roni tertunduk lesu. Ia tidak berencana terharu tapi tetap saja sulit untuk ditepis.
Huzam menghela napas panjang. Rupanya tidak hanya meninggalkan sekolah saja. Roni akan meninggalkan Borobudur dan kebersamaan mereka. Satu hal yang sebelumnya tidak pernah diduga oleh siapa saja. Keluarga Roni ibaratnya yang paling berkecukupan daripada yang lain. Tidak perlu mencari kehidupan dengan versi yang lebih baik. Namun, ternyata tidak selamanya yang terlihat baik di mata orang lain baik juga menurut yang menjalani.
“Oke, Bro. Sorry juga kalau banyak salah”
Roni mengangguk. Ia bukan pria cemen yang mudah mengeluarkan air mata. Ia adalah Roni Mahardi putra Pak Hardi yang terkenal dengan tidak pernah takut dengan rasa takut.
“Aku mau nitip sesuatu,” ujar Roni. Ia nampak serius.
“Apa?”
Roni tidak langsung menjawab. Ia ambil kotak berukuran persegi panjang itu. Sesuatu yang ia anggap cantik untuk seseorang yang istimewa.
“Nitip buat Bintang. Sampein jangan langsung dibuang. Minimal buka dulu meski dari orang kaya aku.”
Huzam terpinga. Bintang adiknya. Roni menitipkannya?
“Tolong.”
“Bintang?”
Roni mengangguk. “Nggak ada orang lain lagi yang bisa dititipi. Cuma kakaknya lah.”
Huzam menggelengkan kepala. Ini aneh menurutnya. Sangat tidak biasa. Sedikit terasa jeda di kamar Roni yang tidak terlalu luas. Selama ini berarti ada rasa yang mungkin tidak biasa dirasakan oleh sahabatnya dan itu untuk adiknya.
“Pengabdian gimana?” Roni berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak mau Huzam bertanya lebih banyak meski sepertinya tidak mungkin juga.
Huzam mendesah. “Mulai minggu depan. Besok ngumpulin surat pernyataan.”
Roni tergelak. “Lagi?”
Huzam mengangguk. “Paling nunggu satu rim baru berhenti.”
Roni semakin tidak bisa menahan derai tawa. Kebiasaan di sekolahnya itu setiap jenis pelanggaran diberikan sanksi membuat surat pernyataan. Isinya menerangkan bahwa yang bertanda tangan di sana dengan nama dan bla, bla, bla, bla tidak akan melakukan pelanggaran lagi. Surat pernyataan itu harus ditandatangani orang tua juga.
“Tinggal kayak biasanya, kan?”
Huzam mengangguk kecil. Harusnya memang iya. Ia menuliskan nama seperti biasa dan manandatanganinya sendiri meskipun di bagian kolom orangtuanya. Namun, pesan itu seperti gema di telinganya.
“Jangan lupa besok bawa surat pernyataan yang ada tanda tangan orang tua, ya. Sekalian kamu minta izin buat persiapan pengabdian. Dua minggu di pondok pesantren.”
Huzam mengulas senyum. Seribu persen ia yakin bahwa, ini bukan dirinya.