40. Debar yang Berbeda

1139 Kata
Ziya mematut dirinya di depan cermin. Ini bukan seperti seseorang akan datang melamarnya, tetapi hatinya sungguh berdebar di luar kebiasaan. Gamis berwarna moca dengan jilbab segitiga dengan warna coklat dan bermotif bunga mempercantik penampilannya sore ini. Ziya tentu senang sekali saat hingga menjelang pukul tiga tidak ada pesan pembatalan dari Huzam. Artinya, murid istimewanya itu sudah pasti datang.                “Assalamualaikum!” seru seorang laki-laki di luar rumah Ziya. Seratus persen Ziya yakin itu adalah Huzam.                “Waalaikumsalam,” jawab Ziya seraya berjalan keluar.                “Tamu kita, Nduk?” tanya Ibu Ziya yang sedang mempersiapkan hidangan.                “Iya, Bu. Ziya lihat dulu.”                Sang ibu mengangguk. Artinya momen yang selama ini dirahasiakan akan segera terungkap. Suaminya sudah berkata ingin melakukan tugas terakhirnya sebelum penyakitnya semakin parah.                Ziya berjalan tanpa beban. Tubuhnya terasa begitu ringan. Terlebih tepat hari ini status mereka bukan lagi guru dan murid. Secara hukum, Huzam sudah lulus dari SMK Hijau. Huzam tidak lagi menimba ilmu di sana. Meski beberapa hal belum purna terkait administrasi dan lainnya. Ziya menarik napas sejenak sebelum membuka pintu utama rumahnya. Dalam hati ia mengucap kalimat bismillah. Lirih sekali sekadar untuk menghalau kegugupan.                “Masuk, Zam,” ujar Ziya begitu ia menyaksikan sosok pemuda yang usianya terpaut tiga tahun lebih muda darinya. Ia sudah mengonfirmasinya sendiri lewat fotokopi akta kelahiran Huzam yang sempat dikumpulkan.                Huzam mengangguk. Ia sendiri terpana dengan penampilan Ziya yang selalu berbeda saat berada di sekolah. Huzam selalu menganggap Ziya masih pantas menjadi siswi SMK layaknya Niken. Huzam berusaha menyembunyikan rasa kagumnya. Ia melepas sandal dan melangkah masuk di belakang Ziya.                “Duduk dulu. Saya tanyakan ke abah dulu bisa bicara di sini atau kamu harus ke kamar.” Kondisi Pak Hamzah memang sudah cukup parah. Beberapa hari ini beliau malah tak bisa meninggalkan tempat tidur. Sebelumnya masih bisa keluar kamar menggunakan kursi roda.                Huzam cukup kaget dengan informasi itu. Ia tidak menyangka kondisi Pak Hamzah tidak baik-baik saja. Huzam pun mengangguk, dengan sabar ia menunggu Ziya memberitahukannya. Huzam mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Rumah sederhana yang penuh kesejukan. Di tembok sekat ruang tamu dan ruang tengah terdapat sebuah bufet. Ada begitu banyak buku-buku tersusun di dalamnya. Di pojok-pojok ruangan beberapa tanaman hijau yang diletakkan di atas pot menjadi daya tarik sendiri. Juga beberapa pajangan berupa kaligrafi semakin menambah hangat suasana rumah. Huzam jelas paham akan hal itu, mengingat Pak Hamzah sendiri salah satu penceramah berpengaruh.                “Nak Huzam, ya?” sapa perempuan paruh baya yang Huzam duga sebagi istri dari Pak Hamzah.                “Iya, Bu.”                “Bagaimana kabarnya? Sehat?”                Huzam mengangguk. Ia membantu perempuan itu meletakkan gelas berisi teh hangat di atas meja. “Alhamdulillah sehat, Bu.”                “Sudah lulus, ya. Habis ini mau ke mana?”                Di luar dugaan Huzam. Istri dari Pak Hamzah menanyakan banyak hal. Tidak seperti orang yang baru pertama bertemu. Huzam pun mengulas senyum canggung.                “Belum tau, Bu. Belum kepikiran.”                “Dulu, sebelum kalian pada besar. Ayah kalian itu sahabatan. Akrab sekali sampai apa-apa bareng.” Istri Pak Hamzah, mengingat sedikit memori tentang kebersamaan mendiang sahabat suaminya. Mereka sejak dulu memang sedekat itu. Sayang, maut terpaksa memisahkan.                Huzam tersentak dengan informasi lain yang tidak pernah ia dapat sebelumnya. Kalian di sini apa mungkin ia dan Ziya?                “Ya sudah kalau begitu diminum dulu tehnya, ya, Zam. Saya lihat ke dalam dulu kondisi suami saya.” Huzam mengangguk lagi. Sedikit tak mengerti dengan sikap istri dari Pak Hamzah. Ia pun menuruti saran perempuan itu dengan menghidu aroma teh cap dandang yang menggugah.                Sahabat? Sedekat itukah? Tanya Huzam di hatinya.                “Huzam maaf, Abah nggak bisa ke sini. Apa nggak apa-apa kalau kamu yang ke dalam?” Ziya mengonfirmasi kesediaan Huzam untuk menemui ayahnya.                Huzam pun mengangguk. Ia teguk teh itu satu kali lagi lalu meletakkannya kembali. “Ya, Bu. Tidak apa-apa.”                Mata Ziya berbinar. Ia senang saat Huzam tidak menolak bertemu abahnya. Ziya pun memimpin langkah lagi. Mengajak Huzam menuju bagian dalam rumahnya. Melewati ruang tengah yang hanya terdiri dari satu kamar dan area tempat makan. Masih terus berjalan melewati sebuah pintu di mana ada area sendiri untuk menonton televisi dan sebuah mini dapur. Ziya berhenti sejenak. Ia berbalik melihat Huzam.                “Maaf, rumahnya berantakan.”                Huzam tersenyum samar. Ziya bahkan memikirkan detail seperti itu, seakan mereka sedang safari rumah pasangan. Huzam menepis angan-angannya yang kejauhan ia mengangguk kecil. Ziya berbalik lagi. Ia mengayunkan langkah kecil menuju area rumah di samping kiri. Lebih mirip sebuah paviliun. Terpisah dari rumah utama dan hanya tersambung oleh sebuah teras yang tertutup. Huzam terpana. Ia tidak pernah tahu jika model rumah Pak Hamzah seperti ini.                Ziya berhenti tepat di depan gawang pintu kamar abahnya. Di dalam, tampak sang ibu sedang merapikan selimut ayahnya. Ziya menarik napas dalam seraya mengembuskannya. Jika memang hari ini hadiah yang dimaksud ayahnya adalah sebuah rahasia, ia harus siap. Keluarganya tidak mungkin menguburnya terlalu lama. Pak Hamzah melambaikan tangan, meninta agar Huzam dan Ziya mendekat.                “Assalamualaikum, Bah. Ini murid kesayangan abah udah datang,” kelakar Ziya mencairkan suasana. Huzam yang diperkenalkan dengan cara seperti itu oleh Ziya, mau tidak mau tersenyum meski canggung.                “Assalamualaikum, Pak Hamzah,” sapa Huzam.                Hamzah mengangguk. Ia meminta Ziya lebih dekat lagi padanya. “Sini, Nduk.”                Ziya melakukan perintah itu tanpa bantahan. Ia duduk di samping ranjang abahnya, menatap penuh kasih pada orang yang sangat berjasa di hidupnya.                “Kursi, Mi,” ucap Hamzah pada sang istri. Ia meminta istrinya memberikan kursi untuk Huzam. Baik Ziya maupun Huzam nantinya berada di sampingnya semua.                “Bagaimana kabar kamu, Huzam? Sehat?” tanya Hamzah membuka obrolan. Fisiknya memang tampak berbeda, tapi suaranya masih berwibawa seperti awal menjadi wali kelas Huzam.                “Baik, Pak. Sehat juga. Pak Hamzah?” tanya Huzam. Jelas itu hanya basa basi. Tanpa ditanya harusnya ia paham kondisi wali kelasnya.                “Ya seperti ini, Zam. Sudah tidak bisa lari-larian ngejar kamu.”                Ziya terkekeh. Ia bahkan sempat mencari Huzam di warung PS saat awal mereka membolos. Ia juga harus berkejaran dengannya saat Huzam berniat lompat pagar. Sungguh pertemuan singkat yang diisi dengan banyak kenangan tak enak.                “Maaf, Pak,” timpal Huzam. Ia cukup malu karena pernah melakukan hal-hal semacam itu. Ia benar-benar payah.                Hamzah mengulas senyum. Satu hal yang berbeda dari Huzam antara dulu dan sekarang, Huzam sudah bisa mengucap salam dan kata maaf. Jelas sebuah perkembangan yang sangat baik.                “Ndak apa-apa. Sudah berlalu, sekarang sudah beda cerita.”                “Iya, Pak.”                “Saya minta maaf karena meminta Huzam datang ke sini. Saya juga tidak bisa menepati janji.” Ziya melihat ayahnya. Mungkin, ayahnya tidak ingin berlama-lama menunda. Maka sang ayah langsung melompat ke topik janji.                “Umi ....”panggil Hamzah pada istrinya.                “Ya, abah.”                “Ambilkan kotak abah di lemari dan minta tolong bawa sini.” Istri Hamzah mengangguk. Suaminya benar-benar akan melakukannya sore ini. Tanpa lagi mempertimbangkan banyak hal seperti sebelumnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN