39. Hadiah Kelulusan

1508 Kata
Huzam mengedipkan mata. Ia tidak boleh terjerat rasa saat melihat Ziya. Sejak awal bertemu, wali kelas barunya itu memang baik pada siapa saja. “Ya, Bu. Manggil saya?” “Iya. Saya manggil kamu.” “Ada apa, Bu?” “Nanti sore datang ke rumah, ya. Ada pesan dari abah.” “Abah? Maksud ibu ....” “Pak Hamzah. Pak Hamzah tau kalau kamu hari ini wisuda. Beliau ingin bertemu.” Ziya sangat antusias akan pesan itu. Ia sendiri tersentak saat pagi tadi abahnya secara khusus membuat permintaan. “Nanti sore, Bu?” “Iya nanti sore. Kenapa? Kamu ada janji lain?” Huzam menggeleng. Janjinya baru siang ini. Mungkin setelah bertemu Pak Anggoro di Aman Jiwo, ia bisa ke tempat Bu Ziya. Menemui Pak Soni bisa ia ganti di hari lain. “Gimana? Setuju? Kalau iya sekarang saya mau siap-siap pulang. Biar saya sampaikan ke abah.” “Ke rumah, Bu?” “Iya. Ke rumah saya. Maaf, nggak bisa ke tempat lain. Maklum, kondisi abah kurang baik.” Huzam pun memaklumi. Ia lupa Pak Hamzah sudah tidak bugar lagi seperti dulu. Huzam memikirkan lagi, perlukah datang atau seharusnya ditolak? Ia mulai bimbang. “Abah cuma mau ngasih hadiah, Zam. Maklum, kamu murid kesayangannya.” Ziya berusaha meyakinkan Huzam. Ia tidak mau muridnya itu berpikir macam-macam. “Saya pikir dulu, Bu.” “Oke. Nanti kalau nggak bisa kabarin saya, ya. Biar abah nggak nunggu. Saya duluan, ya.” Ziya berlalu. Ia benar-benar mengabaikan pertemuan terakhir mereka di perpustakaan. Ia kesampingkan segala kecamuk rasa di d**a. Huzam pun mengangguk. Ia pandangi punggung Ziya yang mulai menjauh. Ia rasa kelulusannya sangat berarti bagi orang-orang. Cukup banyak yang ingin memberikan hadiah bahkan termasuk Pak Hamzah. Huzam tidak mau memikirkannya. Ia terus berjalan menuju gerbang sekolah. Ia harus segera pulang dan bertemu Pak Anggoro. Namun, langkahnya terhenti lagi karena seseorang. “Ada yang jemput kamu, Zam,” ujar Pak Muslim tanpa berbasa-basi. Tampak wajah Pak Muslim tidak senang dengan Huzam. “Saya, Pak?” tanya Huzam menunjuk wajahnya sendiri. “Iya. Pakai mobil van mewah.” “Warna hitam?” Muslim tersentak. Huzam bahkan paham dengan warnanya. Sesuatu yang cukup aneh. “Kamu kenal sama mereka?” Huzam mengangguk cepat. “Kenal, Pak. Kalau begitu saya duluan, Pak.” Huzam berlari ke arah gerbang. Ia jelas tahu tentang mobil van itu. Mungkin karena terlalu lama ia tidak pulang, Pak Arbrito menjemput di sekolahnya. Huzam tak memedulikan banyak pasang mata memerhatikannya. Ia gegas melambaikan tangan saat melihat Arbrito berdiri di dekat mobil van itu. Huzam tersenyum riang. “Sudah beres semua?” tanya Arbrito dengan senyum mengembang. “Sudah, Pak.” “Jas itu cocok denganmu.” Arbrito menunjuk stelan jas yang dipinjamkan untuk Huzam. Khusus acara wisuda hari ini memang Huzam dibantu oleh pengawal Pak Anggoro itu. “Makasih, Pak, pujiannya.” Arbrito tergelak. Setelah jamuan makan siang di dekat kolam hotel, mereka intens bertemu. Arbrito secara khusus ditugaskan oleh Anggoro untuk menjaga Huzam di dekatnya. Apa saja Arbrito bantu agar Huzam mau menerima tawaran bekerja di Jakarta. “Langsung ke sana, Pak?” Arbrito mengangguk. “Iya. Agenda kita hari ini adalah siap-siap. Bapak nanti sore berangkat.” Huzam mengangguk kecil. Ia teringat akan janjinya pada Ziya. Ia pun mengesampingkannya dan segera masuk ke dalam van mewah itu. Teman-temannya yang melihat Huzam dijemput mobil semewah itu jelas curiga. Tak sedikit yang kasak kusuk membicarakannya termasuk petugas satpam sekolah. “Dasar dari awal bermasalah. Baru lulus ya urusannya langsung sama orang-orang kayak gitu. Moga aja nggak urusan sama yang aneh-aneh,” ujar Pak Satpam pada Pak Muslim yang kebetulan berjaga di dekat gerbang. Muslim mengangguk. Ia setuju dengan pendapat itu. Huzam—murid teistimewa di SMK Hijau sudah memulai kehidupan baru. Setelah ini tak akan ada banyak kasus yang di tangannya. Ia hanya berdoa adik kelas Huzam tak memiliki peliknya masalah yang sama. “Biarin aja lah, Pak. Wes bukan urusan kita.” Muslim berusaha mengabaikan semua. Ia yang tadi menyaksikan bagaimana Ziya menatap Huzam, sejatinya meradang. Ia selalu cemburu pada murid bengalnya yang bahkan tidak memiliki masa depan. *** “Bagaimana? Apa bisa nanti sore kamu ikut saya?” Anggoro sudah menjelaskan banyak hal pada Huzam. Ia bahkan menjanjikan akan membantu Huzam mencari Bintang. “Nanti sore, Pak? Tidak jadi minggu depan?” Huzam belum bersiap. Ia belum menata hatinya sepenuhnya. “Kenapa? Ada yang mengganjal? Atau ada yang belum kamu selesaikan?” Huzam tak berani langsung menjawab. Ia melihat sekilas ke arah Arbrito. Ia takut salah berkata dan malah membuat Anggoro kecewa. Arbrito seperti biasa lewat tatapan mata meminta agar Huzam mengungkapkan yang sejujurnya. “Saya, ada janji sama seseroang, Pak. Sore ini.” Anggoro tersentak. “Seseroang? Kamu punya seseorang?” Huzam menggeleng. Ia tidak mau Anggoro salah paham. “Tidak seperti yang dipikirkan Bapak. Hanya ....” “Haahahahahahaha! Berapa usiamu, Huzam?” “Dua puluh, Pak. Tepat bulan ini.” “Wajar sekali. Ya sudah kalau begitu selesaikan urusanmu. Kita tunda keberangkatannya.” “Tapi, Pak,” sergah Arbrito. Tidak mungkin Anggoro membatalkan pertemuan penting di keesokan harinya demi seorang Huzam. “Tidak apa-apa. Kita bisa mengatur ulang pertemuan. Sampaikan padanya aku masih belum pulih.” Arbrito sedikit menyayangkan keputusan Anggoro. Sekali menunda beberapa uang milik mereka akan menghilang. Namun, sepertinya Anggoro lebih menyayangi Huzam dibandingkan uang-uangnya. Huzam mungkin jauh lebih berharga ke depannya. “Siapa seseorang itu? Perempuan? Apa kekasihmu?” seloroh Anggoro. Mendengar Huzam menuturkan kejujuran selalu membuatnya semangat. Ia bahkan menjadi semakin yakin saat memilih Huzam sebagai calon orang kepercayaannya. Huzam menarik garis bibir. Membicarakan Ziya jelas tak mungkin ia lakukan. Ia hanya bisa merangkum senyum ceria perempuan itu juga raut wajah mungil nan menggemaskan. Ia berani bertaruh usia mereka hanya berjarak sekitar dua atau tiga tahun. Menjadi berondong tidak salah, bahkan banyak hubungan di zaman sekarang berkembang dengan perbedaan semacam itu. Huzam tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Sungguh, Ziya sangat istimewa. “Lihatlah, lihat. Kau senyum-senyum sendiri? Secinta itu dengannya?” tanya Anggoro. Huzam sangat menggemaskan. Arbrito mengangguk. Ia juga setuju. Huzam tampak begitu lucu. Huzam pun menunduk. Pipinya merah merona. Semenjak sering bolak balik ke Aman Jiwo, ia merasa mendapatkan keluarga baru. Kesehariannya ia isi dengan menemani Anggoro melakukan apa saja. Mendengar celoteh pria paruh baya itu juga bermain catur bersama. Huzam ingat betul bagaimana sang ayah dulu mengajarinya dan ternyata berguna saat ia beranjak dewasa. Dari permainan catur itu ia bisa menjadi orang yang pandai melakukan trik dan strategi, kata sang ayah. “Benar-benar kau ini. Sedang kasmaran rupanya.” Anggoro semakin meledek Huzam. Ia tahu calon orang kepercayaannya itu sedang jatuh cinta. Anggoro tidak mungkin melarangnya, karena ia memiliki rencana yang jauh lebih besar dari yang dikira oleh Huzam. Huzam merasa cukup malu saat tanpa sadar mengakui perasaannya untuk Ziya di depan Anggoro dan Arbrito. Namun, ia tidak keberatan berbagi kebahagiaan kecil ini karena memang ia ada janji dengan Ziya di rumah perempuan itu meski dalam konteks yang berbeda. “Ini hadiah dari saya,” ujar Anggoro menyerahkan satu kotak berwarna hitam. Huzam meraihnya. “Apa ini, Pak?” “Buat jaga-jaga. Siapa tahu setelah bertemu perempuan itu kamu berubah pikiran.” Huzam mengernyit. “Maksud bapak?” Anggoro terkekeh. Ia geli melihat kepolosan Huzam. Nampak jelas pemuda itu berhati lembut. “Siapa tau perasaan kamu ditolak dan kamu pengen langsung berangkat ke Jakarta. Ya tidak Arbrito? Hahahahahaha!” Arbrito hanya mengukir senyum. Majikannya kerap seperti itu. Bak cenayang mampu menebak banyak hal. Meski hanya sebatas gurauan. Huzam pun membuka kotak hitam itu. Ia dibuat tersentak dengan isi di dalamnya. “Buat saya, Pak?” Anggoro mengangguk. “Sudah ada nomor Arbrito. Kamu bisa menghubunginya.” Huzam masih tak percaya. Hadiah kelulusan dari Anggoro sangatlah mewah baginya. Ponsel berlogo buah apel tergigit itu, versi terbaru dan termutakhir. Arbrito ikut senang dengan respons Huzam. Mereka semua tahu Huzam tidak memiliki alat komunikasi itu. “Hubungi saya kapan saja, Zam,” seloroh Arbrito. “Baik, Pak. Baik. Terima kasih, Pak,” ujar Huzam seraya meraih punggung tangan Anggoro dan menempelkannya di keningnya. Anggoro mengangguk. Ia percaya Huzam akan menjadi orang hebat jika diarahkan. Anggoro memberi kode pada Arbrito. Huzam harus bersiap untuk pertemuan sorenya. Jangan sampai semua menjadi semakin terlambat dan menunda keberangkatan mereka ke Jakarta. Arbrito paham betul akan perintah itu. Sore hari Huzam dipersilakan keluar dari Aman Jiwo membawa salah satu sepeda motor keluaran terbaru yang dimiliki Anggoro. Huzam mempertimbangkannya, itu tampak berlebihan. Ia tidak mau menimbulkan tanda tanya besar di depan Ziya. “Kenapa? Ada yang salah?” “Ada yang motor bebek saja tidak, Pak? Ini ....” Arbrito menggeleng. Sesuai dugaan Huzam akan meminta yang jauh di bawah standar. Arbrito pun menunjuk salah satu sepeda motor keluaran lama tipe empat tack. “Itu maksud kamu?” “Boleh saya pinjam, Pak?” Arbrito tersenyum. Ia paham Huzam tidak terlalu silau dengan kemewahan. “Nih, bawa sama STNK nya juga.” “Makasih, Pak. Makasih.” Huzam memilih sepeda motor tipe biasa itu. Ia keluar dari Aman Jiwo dan bersiap ke salah satu rumah di kawasan Borobudur yang mungkin sudah menantinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN