Hamzah menerima kotak yang diambilkan oleh istrinya. Ia membukanya seraya mengambil sesuatu di dalam sana. Sebuah kenangan yang tidak mungkin ia lupakan selama ia hidup di dunia. Hamzah memandangi sejenak foto lama milik sahabatnya.
“Lihat ini, Zam,” ujar Hamzah menyerahkan foto itu pada Huzam dan diterima oleh pemuda itu. Huzam menatapnya sekilas, ada sebersit kerinduan yang selama ini ia pendam.
“Itu Rahdi—ayah kamu, Zam. Dulu kami bersahabat,” imbuh Hamzah. Huzam mengangguk. Ya, jelas sekali pria bertopi yang berdiri di puncak Candi Borobudur itu adalah ayahnya.
“Maaf terlambat memberitahumu, Zam. Kami dulunya sangat dekat.” Hamzah menyesal. Sejak Huzam masuk SMK Hijau ia memang selalu membela murid itu. Tak peduli seberapa besar kesalahan yang dilakukan Huzam. Bahkan, Hamzah sudah memantau perkembangan Huzam jauh sebelum itu.
“Kami sangat dekat, Zam. Bahkan sudah seperti saudara. Kami kerap bersama ke mana-mana hanya nasib saja yang berbeda. Kebetulan saya berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi, sementara ayah kamu tidak.” Huzam mengangguk kecil. Seingatnya ayahnya hanya lulusan SMP.
“Ayah kamu orang baik, Zam. Bahkan sangat baik. Beliau rela melakukan apa saja demi orang terdekatnya terutama keluarga. Beliau bahkan mengorbankan hal paling besar di hidupnya.” Huzam mendongak. Kalimat Hamzah menuntutnya ingin tahu lebih banyak. Hamzah mengangguk. Ia sudah siap dengan apa pun respons yang akan diberikan Huzam suatu hari nanti.
“Saya akan jelaskan semua, Zam. Saya tidak akan lagi berhutang meski ayah kamu melarangnya. Mungkin, sekarang ayah kamu sedang mengumpat karena saya melanggar janji kami berdua.” Huzam semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Hamzah. Ia benar-benar tidak paham.
“Suatu hari seharusnya ayah kamu mendapatkan perawatan, Zam. Kita tau kalau ayah kamu memiliki penyakit jantung bawaan. Saya yang kadang ikut mengantarnya kontrol paham betul tentang itu. Mungkin, semasa hidup ayah kamu tidak pernah bilang.”
Huzam jelas tersentak dengan berita itu. Artinya saat sang ayah berjualan mie ayam di kawasan candi ayahnya menderita penyakit itu. Tidak mungkin. Pikir Huzam.
“Benar, Huzam. Ibu kamu saja mungkin tidak tau. Karena ayah kamu hanya bicara dengan saya. Saat itu mungkin usia kalian sekitar delapan dan lima tahun.” Hamzah memandang Ziya dan Huzam bergantian. Ziya menunduk pasrah. Huzam menggeleng. Ini pasti cerita yang hanya dibuat-buat. Tidak mungkin ayahnya semenderita itu.
“Dulu seharusnya ada pendaftaran untuk meminta donor organ di sebuah rumah sakit. Kami sama-sama mencarinya. Ayah kamu seharusnya menjadi prioritas, Zam. Tapi ... tapi ....” Hamzah tercekat. Lidahnya kelu untuk mengungkapkan itu. Sementara Huzam menunggu dengan sabar.
Ziya mendongak. Rasanya mendengar kisah ini berkali-kali membuat jantungnya bergeser dari tempat semula. Ia memang selamat. Ia bisa hidup sampai saat ini. Akan tetapi, melihat sang ayah menanggung beban atas kegagalan menyelamatkan karibnya membuat Ziya sakit sesakit-sakitnya. Pedih.
“Ayah kamu bilang. Aku sudah tua. Lambat laun pun akan mati juga. Berikan pada putrimu saja formulir itu. Ambil kesempatan terbaik untuk mendaftar.” Hamzah menatap Ziya. Putri kecilnya bisa bertahan selama ini meski harus terus mengonsumsi obat imunosupresan. “Ayah kamu seharusnya mendapat perawatan, Zam, kalau saja tidak menyerahkannya untuk Ziya.” Hamzah sungguh menyesal. Meski itu bukan mutlak permintaannya, tetap saja ia terlalu egois karena menerima tawaran itu.
“Bukan salah Ziya, Zam. Bukan salah ayah kamu juga. Ini salah saya yang akhirnya memutuskan mendaftarkan nama Ziya. Andai saya bisa mencari dua formulir, bisa jadi ayah kamu juga ikut diobati.” Huzam tak mengerti. Informasi ini terlalu sulit untuk dipahami.
“Saya mau berterima kasih sama kamu, Zam. Saya tidak bisa menyampaikan langsung pada Rahdi. Saat saya kembali dari Jakarta, ayah kamu sudah tidak ada. Saya tau kabar itu dari ibu kamu. Beliau bilang ayah kamu meninggal mendadak saat kamu kelas dua SD. Saya juga mau minta maaf karena saya gagal membujuk sahabat saya sendiri. Saya tau usia manusia sudah ada yang mengurusnya, tapi seandainya kami berusaha saat itu tidak akan sepedih ini.” Hamzah terisak. Ia ingat betul bagaimana mereka sering berangkat bersama saat masih mengenyam pendidikan menengah pertama. Ia juga masih hapal kebiasaan Rahdi yang memang sejak kecil hanya ingin menjadi pedagang di candi.
“Huzam, kenapa saya bersikeras meminta Huzam sekolah, karena salah satu cita-cita ayah kamu, anaknya mengenyam pendidikan lebih tinggi dibandingkan dirinya. Beliau ingin anak-anaknya kelak menjadi orang yang lebih bermanfaat dibandingkan dirinya. Huzam, saya tidak bisa terus-terusan menyimpan semua ini. Saya serahkan sedikit kenangannya dan barang peninggalannya. Siapa tau bisa menjadi pelipur rindu kamu pada ayahmu.”
Huzam benar-benar tak bisa mengerti. Artinya jika ayahnya mau menerima tawaran itu, bisa jadi ayahnya hidup lebih lama. Namun, sang ayah memberikan kesempatan itu pada gadis muda yang dulu berusia delapan tahun. Seperti itu yang bisa ia simpulkan lewat penuturan Hamzah. Bergetar tangan Huzam menerima satu kotak yang sudah lusuh itu.
“Ziya, dengarkan. Abah tidak membencimu, Nak. Abah tidak pernah menyalahkan siapa-siapa. Abah hanya menyesal karena tidak bisa menyelamatkan keduanya. Abah pada dasarnya manusia, selalu punya sikap serakah. Abah ingin menjaga keduanya.” Hamzah berkata jujur. Ia tidak pernah tahu sebelumnya kalau Ziya tak nyaman dengan cerita itu. Ia meminta bantuan Ziya menjaga Huzam, memang sebagai bentuk balas budi atas kebaikan dari Rahdi tapi sama sekali ia tak membenci putrinya.
Ziya terisak. Ia tidak mampu berkata-kata. Selama ini yang ia tangkap dari cerita ayahnya hanyalah penyesalan dan bagaimana cara membalas kebaikan. Ziya tidak tahu jika ayahnya pada waktu itu hanya ingin serakah.
“Huzam, tolong jaga dirimu baik-baik. Saya sebentar lagi mungkin akan menyusul ayah kamu. Saya tidak bisa terus-terusan ada di balik layar. Maafkan saya yang terkesan terlalu ikut campur dalam kehidupanmu meski tidak terang-terangan. Maafkan saya yang tidak terbuka pada kamu dan juga keluargamu. Maafkan saya tidak bisa membantu mencari Bintang.” Hamzah memejam. Peristiwa itu sampai pada telinganya dan ia menyesal karena juga tidak bisa melakukan apa-apa.
Huzam menggeleng. Ia merasa dibodohi selama ini. Rupanya Ziya dan Pak Hamzah menjaganya karena pengorbanan sang ayah. Andai mereka jujur, andai mereka bicara sejak awal mungkin ia tidak akan senakal itu. Tidak akan menjadi murid bengal. Huzam mendekap kotak kayu. Memori tentang sang ayah terputar lagi. Ia rindu ayahnya, ia menyayangi ayahnya ia ingin selalu bersama ayahnya.
Huzam tertunduk pasrah. Malam ini getir itu tertelan lagi. Bagaimana takdir berputar semau sendiri. Mempermainkan dirinya yang sudah jelas hanya sebatang kara. Hamzah menepuk lengan Huzam. Ia juga hidup penuh dengan penyesalan. Sekarang, ia hanya berharap Huzam menjadi seseorang yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Sementara Ziya masih terisak. Hal ini yang paling ia takutkan. Saat semua fakta terungkap dan mengakibatkan kebencian yang mungkin muncul di hati Huzam.
Perlahan Huzam mendongak. Ia sendiri tidak yakin dengan cerita yang dibuat Hamzah. Yang ia tahu sekarang, ia memiliki sebuah kenangan pahit tentang Ziya, Hamzah dan ayahnya. Ketiganya sama-sama menjaganya dalam sebuah rahasia besar. Huzam cukup kecewa.
“Mau ke mana, Zam?” tanya istri dari Pak Hamzah. Ia yang paling bisa menahan diri di sini.
“Saya pamit dulu, Bu. Saya masih belum bisa mencerna ini.”
Istri Hamzah pun mengangguk. Siapa pun yang berada di posisi Huzam akan mempertanyakan. Jika mereka memang sebaik itu mengapa tidak mengungkapnya sejak awal? Mengapa harus menyembunyikannya hanya demi menjaga rahasia tetap menjadi rahasia. Huzam berlalu dari rumah Ziya. Pikirannya kosong tak tentu arah. Hatinya perih tak terkira. Malam ini setelah momen kelulusan dan hadiah yang ia dapatkan, langit kembali menggugatnya dengan cara yang tak pernah ia kira.
Ziya menatap hampa punggung itu. Ia tahu betul selamanya debar yang ada tak akan pernah menjelma nyata. Sejak pertama mereka datang dari waktu dan tempat yang tidak tepat. Tidak bisa menjadi bagian yang saling mengisi meski ingin sekali.