“Yakin nggak mau ikut foto sekelas, Zam?” tanya Niken saat Huzam sudah melepas jas pinjamannya.
“Nggak, lah. Males.”
“Sekali doang lo, buat kenang-kenangan. Kapan lagi?” Niken terus berusaha. Tentu ia ingin ada foto mereka di album kenangan wisuda. Setidaknya bisa menjadi momen terakhir kebersamaan selama sekolah di SMK Hijau.
“Sorry, Ken. Aku ada acara.”
“Woi, Zam! Jangan kebangetan napa!” seloroh ketua kelas teladan yang bahkan biasanya menyapa Huzam pun tidak pernah.
Jaka dan Niken saling melempar pandang. Ia perlu melakukan sesuatu. Mereka mengangguk kecil seraya menggamit lengan Huzam di kanan dan kiri. Secara bersamaan Niken dan Jaka mendorong Huzam untuk berjalan.
“Apa-apaan?” tolak Huzam.
“Udah lo nurut aja.”
Jaka pun terbahak. Semua anggota kelas sudah bersiap dalam satu formasi barisan. Mereka sengaja meletakkan kursi khusus yang seharusnya disinggahi wali kelas, tapi kali ini sambil menunggu Bu Ziya, dipersilakan untuk Huzam. Huzam berusaha memberontak namun tarikan teman-teman kelas yang lain terlalu kuat. Alhasil mereka berfoto dalam formasi lengkap sejumlah tiga puluh tiga siswa dengan gaya ala kadarnya.
Huzam menggeleng. Ini jelas di luar rencana. Ia bahkan sudah berniat kabur sebelum nanti Bu Ziya menghampiri mereka. Namun, sialnya Bu Ziya datang lebih awal. Guru muda itu tampak mempercepat langkah agar kebagian sesi foto bersama anak-anak perwaliannya.
“Geser, Zam, geser,” pita ketua kelas pada Huzam. Kursi itu tentu untuk wali kelas kesayangan mereka.
Huzam pun berdiri. Ia berniat memutar badan atau ikut barisan yang di belakang. Sayang, tangan Niken menahannya.
“Nggak kabur,” tegas Niken.
Huzam sedikit kesal. Ia tak bisa lagi menghindar. Ziya benar-benar datang dan tanpa basa basi langsung menduduki kursi yang tadi dipakai Huzam.
“Siap ya anak-anak?” tanyanya sedikit keras. Ia tahu susah mengajak Huzam berpose bersama. Ia jelas tidak mau menyiakan kesempatan.
Salah satu siswa yang menjadi anggota OSIS dan diperbantukan dalam acara itu pun menjadi fotografer dadakan. Beragam pose ia tangkap melalui kamera milik ketua kelas. Puas dengan banyak foto yang diambil, ia mendekat dan menyerahkannya.
“Makasih, Dek. Besok lagi, ya,” seloroh ketua kelas. Sorak hu dari anggota kelas yang lain pun mendominasi. Cukup aneh karena ketua kelas memilih anggota OSIS putri.
“Modus, dus, dus,” seru siswa yang lainnya.
Semua pun terbahak. Larut dalam kebahagiaan kelulusan itu. Mereka setelah tiga tahun menempuh studi, akhirnya mendapat predikat lulus dari SMK Hijau. Jelas satu hal yang membanggakan. Huzam, tidak tertarik dengan segala macam hingar bingar. Pikirannya tertuju pada satu hal. Ia harus segera pulang dan mempersiapkan keberangkatannya ke Jakarta. Huzam memisahkan diri dari kerumunan kelasnya, ia berjalan santai menuju gerbang depan dan langkahnya terhenti saat ia menyadari ada yang membuntuti.
“Ngapain, Ken?” tanya Huzam cukup kaget. Temannya hanya diam di belakang tanpa bersuara.
“Kamu buru-buru banget, Zam?”
Huzam mengangguk. “Kapan aku nggak buru-buru?”
“Maksudnya beneran nggak ada waktu?”
Huzam mengernyit. Tidak biasanya Niken seperti ini. Ia sedikit curiga dan merasa ada yang aneh dengan sahabatnya.
“Sekarang?” Niken mengangguk. Matanya berbinar. Ia hanya butuh sedikit waktu dari Huzam. Ia harus melakukannya karena ia bahkan sudah memantapkan diri dan memilih hari ini.
Huzam menunjuk selasar kelas yang berada di sisi kirinya. Tidak mungkin berbicara sambil berdiri saat beberapa orang lalu lalang. Ada juga yang tengah mengambil foto dengan kelompok-kelompoknya.
“Kalau di dalam gimana?” tanya Niken malu-malu. Rasanya di selasar terlalu ramai.
“Kenapa harus di dalam?”
“Bentar aja, Zam. Yah, please.”
Huzam menggeleng. Sikap Niken benar-benar aneh. Ia pun terpaksa memenuhi permintaan konyol sahabatnya.
“Duduk, Zam,” ujar Niken menunjuk kursi paling depan di kolom kedua. Huzam mematuhinya.
Niken memberanikan diri menarik kursi yang ada di kolom pertama. Ia tidak duduk satu meja dengan Huzam. Ia sengaja memberikan jarak agar jantungnya yang sejak tadi bertalu-talu itu tidak didengar Huzam. Niken pun berdeham. Meski sudah sering berbicara dengan Huzam, kali ini jelas berbeda. Niken meraih sesuatu dari dalam tasnya seraya meletakannya di atas meja.
“Buat kamu, Zam,” ujar Niken.
“Apaan?”
“Buka aja, Zam. Anggap hadiah kelulusan dari aku.”
“Hadiah? Nggak salah?”
Niken menggeleng. Ia memang sudah berusaha cukup lama untuk membelikannya. Ia berharap Huzam mau menerima. Niken mengulas senyum. Ia percaya diri dengan perasaannya untuk Huzam.
Huzam pun membuka plastik serta bungkus di dalamnya. Ia tidak bisa menebak dengan pasti apa isinya dan ia tersentak begitu kardus berwarna putih dengan tulisan salah satu merek terkenal terlihat.
“Apa maksudnya, Ken?”
“Buka dulu, Zam. Keluarkan.”
“Nggak, aku nggak bisa nerima.”
“Zam, selama ini kamu udah banyak bantuin aku, Zam. Kalau nggak ada kamu mungkin warung tenda kakakku nggak bakal ada. Pasti udah digusur lama.”
Huzam menggeleng. Ini jelas tidak tepat. Ia bahkan tidak membantu apa-apa selain berada di sana setiap malam. Ia pun hanya membunuh waktu karena kesepian.
“Zam, kita teman, kita udah kaya saudara. Kakakku juga setuju buat ngasih ini ke kamu.”
Huzam menggeleng lagi. Ia dekatkan kardus ponsel itu ke arah Niken. Ia tidak membutuhkannya.
“Zam, aku pengen kalau kita udah nggak ketemu lagi, kita tetap bisa komunikasi, Zam. Setidaknya bertukar kabar.” Niken berusaha membujuk Huzam. Ia jelas tidak bisa kehilangan jejak sahabatnya itu begitu saja. “Kamu bilang bakal ke Jakarta kan, habis ini? Ponsel ini penting, Zam.”
Huzam mendesah. Sejak dulu ia tidak senang berhutang budi. Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal semacam itu. Huzam terpikir akan satu hal. Sesuatu yang tampak tabu, tapi sangat mungkin terjadi terlebih dengan apa yang mereka jalani selama ini.
“Ken, aku tegasin ke kamu. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama kamu selain teman. Kita cuma teman, Ken. Kamu paham itu, kan?”
Niken mengangguk. Ia tak hanya paham tapi sangat paham. Huzam tidak pernah memiliki perasaan seperti itu pada siapa pun apalagi dirinya. Ia jelas mengerti. Namun, siang ini ia berencana jujur atas apa yang ada di dalam hati. Niken berusaha menepis air mata yang siap mengalir jika diizinkan.
“Aku tau, Zam. Aku cuma takut kita los kontak banget. Gimanapun kita teman. Aku paham.”
Huzam menghela napas. Ia bungkus kembali kardus putih itu ke dalam plastik. Ia serahkan pada Niken seraya berujar, “Makasih udah peduli sama aku, Ken. Tapi maaf, aku nggak bisa terima. Masalah ponsel sama nomorku, kamu nggak usah khawatir. Maaf, Ken, buat aku nggak ada kata nanti. Selamanya akan sama.”
Niken mengangguk lagi. Ini adalah penolakan secara jelas yang diperlihatkan Huzam. Jika sebelumnya, Huzam selalu menghindar, ini benar-benar nyata. Ya, yang memiliki perasaan special hanyalah dirinya, Huzam tidak pernah. Mereka murni bersahabat selamanya tidak akan menjadi cinta.
“Aku pamit, Ken. Sampaikan terima kasihku buat kakak kamu.”
Huzam menepuk lengan Niken. Ia benar-benar pergi tanpa memperhitungkan bagaimana sakitnya hati sahabatnya. Sejak dulu, ia memang seperti itu. Dalam kamus hidupnya, tak ada yang namanya perempuan kecuali sang ibu dan Bintang. Ia sudah mengikarkan diri untuk tidak memiliki perasaan cinta pada siapa saja. Huzam mengayunkan langkah.
“Huzam!” seru Ziya yang seperti sudah menunggu kedatangannya di dekat area ruang guru. Ziya seperti yakin muridnya akan melewati lorong itu.
Huzam tak menjawab. Ia berhenti berjalan saat ternyata Ziya datang menghampirinya. Huzam kembali memikirkan pendapatnya. Benarkah tidak ada satu pun?
***