“Arbrito, mana menunya?” Anggoro merasa koki yang seharusnya menghidangkan makanan pembuka cukup lamban pergerakannya.
“Baik, Pak. Sedang berjalan ke sini.”
Anggoro mengangguk lagi. Ia mengukir senyum bangga pada Huzam. Ia rasa ia menemukan orang yang tepat di tengah kegalauan tingkat tinggi dalam kehidupannya. Koki yang memang disewa khusus untuk memasak pada siang ini meletakkan dua piring bundar di atas meja. Satu untuk Huzam, satunya lagi untuk Anggoro.
“Silakan dinikmati. Ini hidangan pembuka dari saya.”
Huzam jelas tidak mengerti menu apa yang tersaji di depannya. Seumur-umur ia baru melihatnya. Terlebih dua piranti makan yang rasanya dipegang saja susah. Pisau dan garpu yang tersusun lebih dari satu. Sejatinya sejak pertama datang pun, sudah ada. Hanya saja Huzam tak mengerti itu untuk apa. Huzam dibuat kikuk dengan suasana makan siang yang cukup mewah. Namun, ia berusaha menikmatinya.
“Pakai sendok saja,” ujar Anggoro menyadari Huzam tidak paham harus mengambil peralatan makan yang mana. “Seperti biasanya orang makan saja.”
Huzam mengangguk. Ia memang belum mengisi perutnya bahkan dari semalam. Meski tidak yakin dengan rasa hidangan pembuka yang ada, Huzam gegas menyuapkannya pada mulutnya sendiri. Sungguh, tidak lucu seandainya dalam pertemuan ini perutnya tiba-tiba berbunyi.
Anggoro mengamati gerak gerik Huzam yang tampak begitu alami. Ia mengakui bahwa pemuda ini memiliki hal istimewa di dalam dirinya. Anggoro pun ikut menyantap menu itu dengan caranya tanpa merasa risih dengan cara Huzam menghabiskannya. Pertemuan ketiga yang lebih terencana dan berharap akan menjadi takdir terbaik bagi dirinya serta calon orang kepercayaannya nanti.
“Bagaimana rasanya? Enak?” Anggoro berusaha mengakrabkan diri.
Huzam mengangguk kecil. Meski asing di lidahnya, ia akui menu pembuka itu terasa nikmat. Mungkin, karena dia kelaparan.
“Baik. Kalau begitu siapkan hidangan utama, Arbrito.”
“Siap, Pak.”
Begitu Arbrito memberi kode para koki yang rupanya memasak tak jauh dari lokasi mereka, dua pengantar makanan datang. Kembali melakukan hal yang sama seperti tadi.
“Steak special sesuai pesanan bapak,” ujar sang koki.
Anggoro mengangguk. “Terima kasih, terima kasih.”
“Baik, Pak.” Koki itu pun undur diri.
Air ludah Huzam nyaris keluar. Begitu Arbrito membuka penutup piring itu, menu utama yang disajikan benar-benar menggugah selera. Huzam, bisa dibilang belum pernah menyantapnya, tapi ia tidak bodoh. Ia tahu jenis makanan ini.
“Sudah dipotong. Bisa langsung pakai garpu.” Anggoro menunjuk peralatan makan lain yang ada di samping Huzam.
Huzam pun mengangguk. Ia seperti orang yang tidak pernah makan. Rasa lapar dari perutnya tak tertahankan. Tanpa berdoa, Huzam melahapnya. Mengunyah dengan mantap dan merasakan betul bagaimana olahan daging terbaik itu terasa begitu empuk di mulut. Mata Huzam berbinar. Segera ia lanjutkan pada potongan berikutnya. Tak lupa mencicipi kentang yang seperti direbus menurut Huzam dan beberapa sayur pelengkap. Huzam benar-benar merasa puas.
Anggoro tersenyum sendiri. Sudah pasti Huzam akan menjadi orang yang mudah dirayu jika seperti itu. Makan siang yang memang dikonsep oleh Arbrito selesai setelah hidangan penutup disajikan. Huzam tidak menunjukkan kekagetan seperti sebelumnya. Ia tidak asing sama sekali dengan menu yang biasa disebut desert itu. Meski lagi-lagi takjub dengan rasa yang ada, ia tidak buru-buru menghabiskannya.
“Minta semua pengawal pergi dari sini,” ucap Anggoro setelah Huzam menandaskan minuman. Pasti perut pemuda di depannya itu sudah penuh.
“Baik, Pak.”
Sigap Arbrito memberi kode pada semua pengawal yang berada di sekitaran kolam juga area memasak. Para koki dan pramusaji juga diminta pergi. Di tempat itu hanya menyisakan Anggoro dan Huzam beserta dirinya.
“Saya butuh privasi,” terang Anggoro pada Huzam. Tampak jelas Huzam kebingungan dengan perginya orang-orang dari sana.
“Saya tidak suka ada yang menguping pembicaraan saya,” imbuhnya.
Huzam pun mengangguk kecil. Meski tak yakin dengan maksud perkataan Anggoro ia berusaha memahami.
“Mari,” ujar Anggoro seraya berdiri. Ia mendekatkan diri ke arah kolam. Huzam mengikutinya. Ia bisa melihar Arbrito berjaga tapi tidak menghadap pada mereka.
Anggoro menatap dasar kolam berwarna kebiruan itu. Ia bahkan tak pernah mengira masih bisa hidup setelah apa yang menimpanya. Beberapa bulan ini ia bersembunyi di hotel mewah ini demi mendapatkan siapa sejatinya musuh yang menghunuskan pedang padanya. Ia bahkan sampai melakukan hal-hal konyol yang berbau klenik guna melindungi diri. Salah satunya adalah membeli barang-barang antik yang katanya berisi sesuatu dari para penjual.
Anggoro menghela napas panjang. Nasibnya menjadi orang yang tidak punya keluarga dan hanya bergantung pada orang lain yang sudah seperti saudara memang memprihatinkan. Anggoro terus mengamati dasar kolam itu, ia tak pernah tahu bahwa kedatangan dua remaja pengantar barang setepat itu.
“Huzam kelas berapa?” Anggoro memulai kembali percakapan dengan pemuda yang menyelematkannya.
“Tiga, Pak.”
“SMA?”
“SMK. Ini sedang ujian sekolah.”
Anggoro mengangguk kecil. Artinya sebentar lagi lulus. “Keluarga ada berapa? Orang tua tinggal satu rumah?”
Aneh memang pertanyaan yang dilontarkan Anggoro. Pada sesi kali ini ia tampak lebih santai dan terkesan tidak memiliki pengaruh. Tidak kaku juga.
Huzam terdiam. Pertanyaan yang menyangkut orang tua serta keluarga sudah pasti menyayat hatinya. Anggoro yang meski sudah tahu lebih dulu dengan jelas bisa memahami itu. Namun, ia berpura tidak mengetahuinya.
“Orangtua saya sudah meninggal, Pak. Dua-duanya.”
Anggoro tersentak. Ia berusaha memasang wajah terkejut nan prihatin atas apa yang menimpa Huzam. “Maaf,” ujarnya.
Huzam mengangguk kecil. Tak ada yang perlu dimaafkan atas respons itu. Kenyataan yang terjadi memang demikian.
“Tinggal sendiri? Tidak ada adik maupun kakak?”
Anggoro hanya memancing. Ia ingin tahu seperti apa pemuda di sampingnya ini mengungkapkan kesedihan. Ia perlu melihatnya.
Huzam menatap ke dasar kolam sama seperti yang dilakukan Anggoro tadi. Wajah manis Bintang tergambar di sana. Bagaimana adiknya yang kadang marah karena ia tidak bisa diandalkan.
“Adik saya hilang, Pak. Belum ketemu.”
“Hilang? Bagaimana bisa?” tanya Anggoro penuh kepanikan.
Huzam mengulas senyum kecil. Sungguh, ia hanya bisa tertawa dibandingkan menangis meratapi nasib diri. Ia bukan pria lemah yang pada akhirnya menyerah dengan keadaan.
“Ada insiden dan saya tidak bisa mencarinya.” Huzam mendesah. Ia masih menyesal karena tak bisa menjaga Bintang.
Anggoro tidak perlu menanyakan lebih lanjut. Ia tahu apa yang harus ia lakukan ke depan terhadap pemuda ini. Anggoro pun menepuk lengan Huzam.
“Terima kasih sudah menyelamatkan saya. Kalau hari itu kamu tidak menceburkan diri ke kolam, bisa jadi saya tidak berdiri di sini. Saya berhutang budi pada kamu. Saya harus membayarnya bahkan dengan kehidupan saya.”
“Membalas? Hutang budi?”
Anggoro mengangguk. Ia yakinkan lewat tatapan mata apa pun permintaan Huzam ia pasti mengabulkan. Nyawanya bisa saja melayang jika Huzam tak datang. Kalaupun Huzam datang, tapi tidak segera menolongnya, mungkin berbeda cerita. Aksi heroik Huzam jelas menjadi poin sendiri di mata Anggoro. Terlebih ia memang sedang mencari orang dengan karakter seperti itu.
“Katakan saja. Apa pun itu.”
Huzam menatap mata Anggoro. Ia rangkum wajah pria paruh baya itu. Ia berharap bahwa permintaannya tidak terlalu berlebihan. Satu harapan Huzam tanamkan. Meski sulit, ia harus berusaha menggapainya.