36. Permintaan Khusus

1058 Kata
Huzam nyaris tidak punya kegiatan setelah pulang sekolah. Ia juga tidak bisa melakukan anjang sana maupun anjang sini jika Jaka tidak menjemputnya. Perihal makan, Huzam tidak terlalu mementingkannya. Ia menjadi tidak terlalu lapar saat satu hari hanya bisa mengisi perut satu kali. Kadang, Jaka mentraktirnya atau Niken mengirimkan nasi angkringan yang sederhana. Huzam, hanya sedang mencari cara bagaimana keluar dari Borobodur dan bisa pergi ke Jakarta.                Sebuah mobil van berwarna hitam berhenti di depan rumahnya. Huzam yang sedang asyik memotong kuku tidak terlalu peduli. Mana mungkin ada orang berkepentingan dengannya. Huzam tetap melanjutkan aksinya dan mengabaikan kedatangan mobil tersebut. Hingga salah seorang dari dalam mobil itu turun dan menghampirinya.                “Nak Huzam?” tanyanya. Pria tersebut mengenakan kacamata hitam.                “Ya. Saya.”                Arbrito melepas kacamatanya. Ia menyapa Huzam dengan seulas senyum. “Masih ingat saya?”                Huzam mengais memori tentang wajah pria itu. Satu tempat ia temukan. Hotel, Jaka dan pengiriman barang. Pria itu seorang ajudan dari pria yang tenggelam di kolam.                “Perkenalkan saya Arbrito. Saya pengawal pribadi Pak Anggoro.”                Ya, Anggoro. Nama pria yang menjadi pasword Huzam dan Jaka masuk ke hotel mewah itu. Huzam pun gegas meletakkan gunting kuku di atas meja dan mulai berdiri dengan benar.                “Ada apa, Pak?” tanyanya. Tidak mungkin orang sekelas Arbrito datang menemuinya tanpa ada sebab yang pasti. Huzam paham betul itu.                “Kalau tidak keberatan bisa ikut saya sebentar? Nanti saya jelaskan setelah sampai di lokasi.”                Huzam berpikir sejenak. Apa artinya bukan Arbrito yang berkepentingan dengannya, melainkan orang lain. Mungkinkah?                Arbrito yang sudah melalang buana ke mana-mana, sudah paham jenis-jenis ekspresi wajah seseorang. Sudah mengerti gestur keterkejutan dan penasaran serta hal lainnya. Ia yakin seyakin-yakinnya Huzam memikirkan hal yang sama dengan dirinya.                “Ya. Pak Anggoro ingin bertemu dengan Huzam.”                Huzam sedikit tersentak. Arbrito bisa membaca pikirannya bak cenayang saja. Huzam menjadi gugup.                “Sekarang, Pak?”                Arbrito mengangguk. “Di Aman Jiwo.”                Huzam terlolong. Seorang dengan kemewahan yang tampak di depan mata menghubunginya. Bahkan datang langsung ke rumahnya untuk sekadar bertemu. Huzam untuk beberapa detik merasa ragu.                “Sebagai bentuk ucapan terima kasih karena sudah menolong bapak. Tanpa adanya kalian, mungkin nasib Bapak sudah berbeda.”                Huzam mengangguk kecil. Artinya ia dan Jaka layaknya pahlawan karena datang tepat waktu. Meski sebelumnya berencana melakukan pencurian. Cukup ironis memang.                “Sebentar, Pak. Saya kunci pintu rumah dulu,” ujar Huzam. Sejatinya ia mengulur waktu sambil berganti baju. Tidak mungkin mengenakan kaos olahraga sekolah yang sudah mulai pudar warnanya.                Huzam masuk ke dalam rumahnya. Ia mengambil ponsel di atas nakas. Sejenak menghubungi Jaka lewat pesan WA.                [Ada yang nyari lo nggak?]                Huzam menunggu dengan sabar balasan dari Jaka. Biasanya temannya itu tidak pernah tidak menggunakan ponsel. Online setiap detik ibaratnya.                [Siapa? Nggak ada tuh.]                [Arbrito. Ajudan Pak Anggoro. Nyari nggak?]                Jaka tampak mengetik. Sambil menunggu, Huzam mencari kaos di lemari plastiknya. Mengambil yang dirasa paling baik. Aman Jiwo bukan hotel sembarangan. Ia juga akan bertemu orang yang mungkin terpandang.                [Siapa? Arbrito? Nggak ada. Ngaco aja kamu.]                Huzam pun menutup aplikasi pesan itu. Artinya Arbrito hanya khusus menemui dirinya tidak bersama Jaka. Huzam berpikir sejenak. Jika ini berkaitan balas budi apa mungkin artinya? Huzam menemukan satu alasan yang logis di kepalanya. Gegas ia mengganti pakaian dan keluar dari kamar untu bertemu lagi dengan Arbrito.                “Wah ganti kostum,” seloroh Arbrito.                Huzam tersenyum samar. “Tadi seragam sekolah, Pak. Tidak enak.”                Arbrito membalas senyum itu. Ia tahu atasannya tidak mungkin salah menilai orang. Remaja bernama Huzam ini sepertinya memang bisa diandalkan. Arbrito pun mengangguk. Ia persilakan Huzam jalan terlebih dulu untuk kemudian memasuki mobil van berwarna hitam.                “Jalan, Pak,” ujar Arbrito pada sopir yang akan mengantar mereka.                “Baik, Pak.”                Huzam cukup gugup. Bagaimana tidak, mobil ini jelas berbeda kelas dengan apa yang biasa ia naiki. Sekarang, ia bahkan tidak memiliki kendaraan. Huzam berusaha berpikir positif. Pikirannya berpusat pada kata balas budi yang ia artikan sederhana sebagai sebuah imbalan. Huzam tak akan meminta banyak. Jika ditawarkan ia hanya ingin diberi kesempatan untuk bisa pergi ke Jakarta dan mencari Bintang—adiknya.                Secara khusus Arbrito menjadi penunjuk jalan. Begitu sampai di parkiran hotel, Arbrito mengarahkan Huzam untuk terus maju melewati lorong dan undakan tangga kecil sebagai akses utama menuju kamar Pak Anggoro. Arbrito melirik sekilas ke arah Huzam, ia tahu remaja di sampingnya itu hanya tertarik pada hal-hal yang menguntungkan terlebih suatu hal yang berkaitan dengan uang. Sungguh suasana yang terasa berbeda bagi Huzam, karena ia sendiri tidak perlu melewati pemeriksaan satpam. Huzam pun mengedarkan pandangan. Ketiga kalinya datang ke tempat ini dan ia merasa senang. Ada keinginan tersendiri untuk bisa mencicipi kehidupan mewah yang jauh dari kehidupannya sehari-hari. “Silakan duduk.” Arbrito menunjuk kursi dengan meja bundar di depannya. Huzam mengangguk. Meski canggung, ia berusaha mengatasinya. “Ya. Sudah siap semua?” tanya Arbrito pada orang yang menghampirinya. Pakaiannya mirip dengannya, style juga sama. Huzam mengamati sekilas.                “Kalau begitu saya panggilkan bapak dulu.” Pria tersebut pun mengangguk. “Tunggu sebentar, Nak Huzam. Saya ke dalam dulu.”                “Baik, Pak.” Huzam membiarkan Arbrito meninggalkannya. Ia merotasi matanya. Tampak beberapa pengawal seperti berjaga di area itu. Huzam sedikit bingung. Namun, otaknya tetap terus berpikir. Bisa jadi Anggoro memang orang yang sangat berpengaruh sampai-sampai semua orang mengawalnya. Tatapan Huzam beralih ke arah kolam. Pertemuan tak sengaja itu, mungkin adalah jalannya untuk bisa pergi dari Borobudur dan menemukan kebenaran. Huzam tak pernah tahu nasib seperti apa yang akan menimpanya. “Selamat siang, Nak Huzam,” sapa Anggoro. Huzam cukup kaget. Refleks ia berdiri seraya membungkuk kecil. “Siang, Pak.” “Duduk saja, duduk. Tidak masalah.” Anggoro menempati satu kursi yang sebelumnya sudah di tarik oleh Arbrito. Huzam menatap Arbrito meminta penjelasan lewat tatapan mata. Apa yang harus dilakukannya. Sementara Arbrito mengangguk kecil. “Terima kasih, Pak.” “Sudah makan siang?” tanya Anggoro lagi. Ia tidak ingin wajah tegang Huzam bertahan lama. Sejak tadi nampak sekali remaja di depannya tampak gusar. “Su--, belum, Pak.” “Hahahahahahah! Lugas sekali. Saya suka Arbrito,” kelakar Anggoro. “Betul, Pak. Jujur dan apa adanya. Seperti yang sudah diberitahukan.” Anggoro mengangguk-angguk. Ia tidak mungkin memanggil orang kalau belum tahu latar belakangnya. Ia begitu tahu yang menyelematkannya adalah seorang siswa SMK dan berniat mengirim barang, cukup tersentak. Akan tetapi, setelah menyelidiki lebih dalam, ia tak heran sama sekali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN