16. Berubah

1134 Kata
Pintu rumah Huzam sudah terkunci rapat tepat saat ia sampai. Waktu memang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih dua puluh menit. Huzam sudah paham. Ia tidak perlu mengetuknya mengingat tak akan ada yang membukakannya. Huzam memilih masuk ke kamarnya langsung melalui jendela. “Jam berapa?” tanya Bintang sinis. Sudah sejak satu jam lalu ia berada di sana. Huzam pun menatap adiknya heran. “Tutup. Nanti banyak nyamuk,” perintah Bintang. Sebenarnya tanpa diminta pun ia akan melakukannya. Huzam tidak terlalu menghiraukan adiknya. Ia melepas jaket miliknya dan menggantungnya di belakang pintu. Tidak seperti biasanya adiknya menunggu di dalam kamar. Pasti karena ada sesuatu. Mungkinkah? Huzam menoleh lagi. Ia amati gestur tubuh adiknya yang menekuk lutut serta menyembunyikan kepala di sana. “Lagi?” tanya Huzam menyadari bahwa seharian ini ada ayah tirinya di rumah. Bintang tak menjawab. Ia malas menjelaskan karena tidak akan ada yang berubah. Apa yang ia terima tidak bisa lagi dibatalkan. “Bagian mana? Sakitkah?” tanya Huzam. Seharusnya ia tidak pulang terlalu malam. Bintang mendongak. Ia tak mungkin menjelaskannya. Wajahnya tampak sembab. “Bintang,” ujar Huzam. Ia punya kekuatan lebih untuk sekadar memusnahkan Suko. Bahkan sejak dulu. Bintang menggeleng. Ia tidak mau kakaknya melakukan hal-hal yang justru merugikan mereka. Sebenci apa pun ia dengan sikap Huzam di sekolah, ia tetap tidak rela jika Huzam mengotori tangannya hanya untuk pria seperti Suko. “Ibu. Bagaimana dengan Ibu?” Bintang memejamkan mata. Justru apa yang dilakukan Suko kali ini jauh lebih menyiksa. Ia lebih bisa terima jika dipukul, dimarahi dan bahkan mungkin dihabisi nyawanya sekaligus dibandingkan seperti tadi. Huzam meraih lengan Bintang. Ia alirkan sedikit kekuatan di sana. “Bilang ke Mas apa yang pria itu perbuat.” Bintang terisak. Menceritakan kembali apa yang terjadi hanya akan membuat lukanya semakin menjadi. “Bintang,” lirih Huzam sambil mengeratkan cengkeramannya.                Bintang menggeleng. Dari semuanya yang pernah terjadi ini yang paling memuakkan. Ia sungguh membenci pria itu. Huzam menatap iba adiknya. Berharap bukan hal-hal yang kadang terpikirkan di kepalanya. Huzam pun melepas cengkeramannya. Ia harus melakukan sesuatu demi keluarganya. Huzam bersiap untuk berdiri, namun Bintang menahannya.                “Melakukannya tepat di depan kami berdua. Menjadikan ibu kita b***k nafsu tanpa tau waktu.” Bintang terpejam. Air matanya berlinang. Sungguh itu memilukan ditambah saat ibunya tidak bisa berbuat apa-apa karena diancam.                “Ini lebih parah dari neraka, Mas. Aku ingin pergi dari dalamnya.”                Tangan Huzam mengepal. Ia harus meninju pria itu. Seenak sendiri datang hanya untuk membuat masalah. Harusnya sejak lama ia menghabisinya. Bintang terus menarik lagi tangan Huzam. Ia terus menggeleng. Rasanya ia tidak ingin melihat lebih banyak kekacauan untuk malam ini. Jika Huzam berbuat seenak sendiri, ia pun akan menyaksikan hal lain yang juga ia benci.                Huzam frustrasi. Tidak seperti ini yang ia harapkan. Ini bukanlah kehidupan. Ia harus membuat pelajaran pada pria itu. Bintang terus menggeleng. Ia tarik lagi tangan kakaknya. Ia meminta Huzam kembali merengkuhnya seperti tadi.                “Tidak sekarang, Mas. Nanti,” ucapnya sambil menghamburkan diri ke tubuh Huzam. Sekuat tenaga membekam tangisnya. Tidak boleh tangis itu sampai terdengar ke luar kamar.                Huzam menghela napas berat. Ia salah satu pria yang tidak bisa diandalkan. Ia gagal dalam segala hal. Bayang wajah ayahnya muncul tiba-tiba. Seakan menyaksikan momen memilukan yang ada.                “Maaf, Pak. Maaf,” lirihnya. Ia rengkuh Bintang dalam peluknya. Ia biarkan adiknya itu melepaskan semuanya.                ***                Bagi sebagian orang menghabiskan malam yang dingin sangatlah menyakitkan. Banyak di antara mereka berharap bahwa malam itu adalah malam terakhirnya. Mereka tidak ingin terbangun lagi. Tidak mau melihat dunia yang terus-terusan mempermainkannya. Pun bagi seorang Bintang. Gadis muda berusia enam belas tahun itu mengira bahwa semalam adalah pejam terakhirnya. Ia berharap ia tidak akan lagi melihat kakaknya atau anggota keluarga lain. Akan tetapi semua berbeda sekali. Tepat saat matanya terbuka sang kakak berada di sampingnya. Sudah mengenakan seragam lengkap. Ini pasti mimpi. “Udah bangun?” tanya Huzam. Ia sengaja tak membangunkan adiknya lebih awal. Bintang bangkit dari posisi rebahnya. “Jam berapa?” Huzam melirik sekilas ke jam weker miliknya di atas meja. “Enam seperempat.” Sontak Bintang menyibak selimut tipis yang gunakan. Ia sudah sangat terlambat. Namun, Huzam mencegahnya. “Badanmu panas. Semalam kamu menggigil. Izin saja.” Bintang menggeleng. Hari ini ada ulangan mata pelajaran matematika. Salah satu mata pelajaran favoritnya. Ia tidak bisa melewatkan itu. Bintang pun berusaha berdiri. “Awww,” ujarnya seraya memegang kepala. “Kamu sakit, Bintang. Nggak usah ngeyel.” Bintang menggeleng. Tidak, ia sedang tidak sakit. Ia sehat seperti biasa. Bintang berusaha kembali berdiri dari kasur tipis milik kakaknya. Huzam mendesah. Tidak hanya ibunya yang susah diberi tahu, adiknya pun juga.                “Biar aku yang izinkan. Kamu istirahat di rumah.”                Bintang pun menatap tajam kakaknya. Istirahat di rumah? Di saat kondisi rumah mereka sedang seperti itu? Huzam paham maksud tatapan adiknya.                “Sudah pergi sebelum subuh tadi. Sudah pamitan sama ibu. Harusnya tidak balik lagi.”                Ada sebuah penekanan yang Huzam coba tampakan. Sesuai perjanjian mereka harusnya ayah tirinya itu tidak akan berani menampakkan diri. Selamanya. Bintang menatap penuh selidik pada kakaknya. Ia curiga ada hal yang tidak diketahuinya.                Huzam sedikit mendorong tubuh Bintang. Ia meminta dengan sopan agar adiknya itu tetap berbaring. Hari ini tidak perlu berangkat sekolah.                “Mas ....”                “Kalau kamu sudah baikan nanti gantian jagain Rahma. Ibu juga nggak enak badan.”                Bintang tak mampu membantahnya. Pasti ada hal yang dilakukan kakaknya dan ia tidak tahu itu apa.                “Istirahat dulu. Nggak usah mikirin apa-apa. Mas mau berangkat sekolah.”                Bintang semakin tidak mengerti. Jelas ini bukan sikap kakakynya. Huzam tidak mungkin seperti itu. Huzam selalu tidak peduli dan membuat masalah di mana-mana. Ia sekalipun tidak pernah melakukan hal baik untuk keluarganya.                “Kunci pintu dari dalam. Kecuali ibu yang manggil jangan dibuka. Mas berangkat dulu.” Huzam berdiri. Ia meraih segelas air putih di atas meja. Sengaja menyiapkan untuk adiknya.                “Minum,” perintahnya.                Bintang menerima itu. Kerongkongannya cukup kering. Perlahan Bintang mulai meneguknya.                “Ah ya. Satu lagi,” ucap Huzam setelah menerima gelas dari Bintang. Ia kembali berdiri dan meletakkan gelas itu lagi di atas meja. Untuk kemudian meraih sesuatu di saku jaketnya yang ia kenakan semalam.                “Nih,” ujarnya sambil menyerahkan kotak berwarna biru berlapis pita di atasnya. Bintang menatapnya penuh tanya.                “Apa?”                “Minimal dibuka dulu. Jangan langsung dibuang. Itu titipan dari Roni. Hari ini dia pindah ke Jakarta.” Huzam mengingat pesan Roni dan menyampaikannya dengan baik. Tanpa menambah lagi mengurangi.                Bintang terdiam. Roni—teman kakaknya yang juga pembuat masalah pindah?                Huzam tidak mengizinkan Bintang memikirkan banyak hal. Segera ia meninggalkan kamarnya. Hari ini berbeda dari hari biasanya. Ia harus berjalan kaki untuk sampai ke sekolahnya. Tidak ada lagi motor bising yang menjadi kenangan sekaligus teman setia. Satu-satunya barang berharga di rumahnya, ia relakan demi mengusir pria tak tahu diri yang terus-terusan menyakiti.          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN