Bab 4 Berkah Dari Langit

1381 Kata
Hujan adalah momen paling dibenci Ruis selama ini. Menjadi anak yang selalu dijaga keselamatannya, hujan merupakan keadaan paling membosankan dalam hidupnya. Sebuah peraturan diciptakan untuk melarang pria itu untuk sekadar berada di teras rumah demi menikmati kesegaran air yang tercurah dari langit. Keadaan itu cukup menyiksa baginya sejak masih kecil. Ia akan dipaksa untuk terus berada di dalam ruang perpustakaan dengan ribuan buku tebal tentang bisnis hingga rasanya mual. Namun, entah mengapa tidak pernah satu kali pun ia mendengar keluhan keluar dari bibir kakaknya dan itu yang semakin membuat dirinya membenci hujan. "Akan ada momen di mana kamu akan bersyukur karena hujan turun, Adikku Sayang," ucap kakaknya kala itu untuk menghibur Ruis muda. Ruis mendengus bila mengingat kenangan itu, kini tanpa disadari kebersamaan dengan kakaknya merupakan momen paling berharga dalam hidupnya. Ia merindukan sosok pria jangkung tersebut untuk mengisi hari-harinya yang sepi. "Aduh, kenapa harus hujan sekarang, sih!" keluh Sekar dengan tatapan mengarah ke sebuah dinding kaca yang menampilkan suasana luar. Lamunan Ruis buyar, ia ikut menoleh pada dinding berbahan kaca tersebut dengan tatapan murung. Ingatannya kembali pada masa lalu yang menyebalkan untuk diingat. "Padahal aku tidak bawa payung." Sekar lagi-lagi menggerutu, bibirnya mengerucut lucu. Ruis tersenyum tipis, menyadari satu kesamaan antara dirinya dan Sekar yang tidak menyukai datangnya hujan. Ia pun mengalihkan pandangannya pada gadis itu dan melihat wajah cantik itu dengan seksama. Sama seperti kemarin, gadis itu tidak menatapnya sama sekali. Ruis dibuat kembali jengkel, ia hanya ingin menangkap bayangannya sendiri dan tenggelam di dalam mata gelap indah itu. Namun, sepertinya hari ini ia tidak akan mendapatkan itu. "Kita bisa pulang bersama," sahut Ruis kemudian, mencoba bersikap setenang mungkin. "Tidak usah! Aku akan nunggu sampai hujan reda," balas Sekar menggeleng tidak nyaman. "Baiklah, itu bukan ide yang buruk." Ruis menarik buku dari atas meja dan mulai menyimak isi bacaan. "Kamu akan tetap di sini?" tanya Sekar menatap tidak percaya. "Aku juga menunggu hujan reda." Senyuman Ruis terukir begitu saja. "Tapi, bukankah kamu membawa mobil? Kamu tidak akan basah karena hujan." Gadis itu kembali menampakkan ketidaksetujuan dengan keberadaan pria itu di sekitarnya. Ruis paham apa yang diinginkan Sekar. Ia tahu kalau gadis itu tidak suka dengan kedekatan yang coba ia ciptakan. Sungguh, kesetiaan yang patut diacungi jempol dan itu sangat menyebalkan juga untuk dirayakan. Ruis melirik sekilas ke arah gadis itu, tampak menyimak lagi buku di hadapannya dengan gestur tubuh kurang nyaman, tetapi Ruis tidak peduli. Untuk pertama kalinya ia menyukai turunnya hujan. Momen yang memaksa gadis itu bertahan bersamanya dan tidak pergi ke mana-mana. Keadaan ini tercipta bagaikan sudah ditata apik oleh malaikat untuk dimanfaatkan dengan baik. Bukankah begitu? "Kamu sudah lama jalan dengan Hasan?" Ruis membuka percakapan lagi dengan pura-pura mengganti buku bacaannya dengan buku yang dipilih Alli untuknya. "Satu tahun." Sekar menjawab singkat tanpa menoleh. “Lumayan lama.” Ruis mengangguk mengerti. Cukup terkejut dengan kenyataan itu. Ia tidak menyangka bahwa Hasan bisa bertahan dengan wanita yang sama dalam tenggat waktu yang lama. Satu tahun cukup mengesankan, mengingat kesibukan Hasan yang seringkali menjadi kendala dalam merajut jalinan asmara. “Iya, aku sendiri juga tidak menyangka.” Gadis itu menutup bukunya seraya menghela napas. Ruis mendongak, menatap ekspresi lelah nan cantik itu dengan senyuman tipis. Rasanya jantungnya sudah rusak, degupnya tidak beraturan ditambah dengan gejolak hati yang menggebu penuh bunga-bunga cinta. Ia mulai mendoakan hubungan kedua sepasang kekasih itu berjalan kurang baik. Hanya itu yang dipikirkan pria itu saat ini, mendapatkan sebuah jalan untuk bersama gadis di hadapannya. “Sepertinya perpustakaan akan segera tutup. Kalau tidak keberatan, Alli akan mengantarkan kita pulang,” tawar Ruis lagi tanpa ada desakan sama sekali di dalam kalimatnya. "Benarkah?" Sekar menoleh ke arah sekitarnya dan benar saja pengunjung mulai berkemas. Lalu ia beralih pada pria berpostur tinggi dan tegap yang setia berdiri di belakang Ruis dengan seksama. Pria itu tampak mengangguk sopan dengan wajah datar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Kalau tidak mau, ya sudah.” Ruis pun menutup buku lalu bangkit dari tempatnya. Ia mendorong pelan kursinya ke belakang dengan tatapan lembut ke arah Sekar yang memandangnya penuh rasa bimbang. Dalam hati, Ruis berharap tawaran yang ia berikan akan diterima gadis itu. Meskipun sikapnya sangat natural dan tidak ada tekanan di dalamnya. Namun, jauh di dalam lubuk hati, pria itu sangat menginginkan gadis itu pulang satu mobil dengannya. Setidaknya, ia tahu tempat tinggal Sekar. Ia ingin tahu kehidupan gadis itu seperti apa. Ruis melangkah meninggalkan meja untuk mengembalikan buku ke dalam rak. Langkahnya tampak pasti tanpa ada keraguan di dalamnya. Ia sangat pandai menyembunyikan apa yang tersimpan di benaknya. Di hadapan gadis itu, ia tidak boleh terlihat begitu menginginkannya. Alli mengikuti langkah Ruis meninggalkan rak ke arah pintu utama. Terdengar deburan hujan lebat ketika pintu berbahan kaca transparan tersebut dibuka dari dalam. Dengan langkah mantap Ruis berjalan ke arah luar dan menunggu Alli mengambil mobil ke tempat parkir. Suasana sangat berbeda, hujan kali ini rasanya lebih menyenangkan. Setidaknya ia bisa menatap wanita yang mampu menggetarkan hatinya meskipun tidak begitu mendapat tanggapan hangat. “Kak Ruista!” Suara panggilan Sekar yang lembut membuat pria itu menoleh dengan cepat. Sosok cantik itu tampak menatapnya malu penuh perhitungan. Ruis melengkungkan bibirnya, tersenyum ketika gadis itu mendekat. “Iya?” jawabnya ramah. “Soal tawaran tadi ....” Sekar tidak melanjutkan kalimatnya. Ia malah memandang ragu ke arah pria itu seraya meneguk ludah dan berhenti melangkah. “Masih berlaku, tentu saja.” Ruis ingin tertawa. Namun, pria itu sebisa mungkin menyembunyikan gelenyar kebahagiaan bercampur geli dari hatinya. “Alli sedang mengambil mobil dari parkiran.” “Oke, terima kasih atas bantuannya.” “Tidak masalah.” Pria itu mengangguk lalu mengalihkan pandangannya dari Sekar ke arah langit yang masih mencurahkan berkah Tuhan ke bumi. Sekar berjalan kembali setelah sempat menghentikan langkahnya ketika Ruis menolehkan kepalanya. Ia berjalan hingga kini sudah berada di samping pria itu dengan jarak satu meter. Meskipun demikian, tetap saja itu merupakan momen menyenangkan yang bisa Ruis rasakan di dalam hidupnya. “Rumahmu di mana?” tanya Ruis tanpa menoleh. Tampak mobilnya sudah berhenti tepat berada di depan mereka. Ruis menerima payung dari tangan asistennya. Ia sengaja menunggunya hingga bisa membawa Sekar bersamanya saat menaiki mobil. “Ayo!” “Iya,” jawab Sekar berjalan lebih mendekat dan dilanjutkan dengan langkah beriringan ketika mencapai mobil yang pintunya dibuka Alli dengan penuh kesopanan. Sekar segera masuk, menggeser tubuhnya ke arah lebih tengah dengan perasaan setengah terkejut karena Ruis ternyata juga duduk satu jok bersamanya. Gadis itu berubah sangat canggung. Ia mengira Ruis akan duduk di depan bersama sopir. Ternyata dugaannya salah. “Jalan, Al!” perintahnya setelah pintu ditutup dan Alli sudah siap di belakang setir kemudi. “Baik, Tuan.” Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Hujan memang turun dengan lebat. Setelah musim dingin berganti menjadi musim semi, mereka tidak menyangka akan disuguhi cuaca seperti sekarang ini. “Prakiraan cuaca harusnya tidak hujan, 'kan?” pancing Ruis memulai lagi percakapan. “Oh, iya. Tapi memang cuaca tidak selalu bisa diprediksi dengan sempurna, apalagi dengan adanya efek gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dunia,” sahut Sekar dengan lancar dan terdengar menyenangkan diajak berbincang. Namun kemudian, gadis itu pun mengatupkan bibirnya rapat setelah menyadari telah bersikap sangat santai. “Benar. Seperti kita.” Ruis tersenyum samar menyadari perubahan ekspresi Sekar yang kaku. “Hah, maksudnya?” Tampak Sekar mengerutkan keningnya. Ia tidak memahami maksud yang disampaikan oleh Ruis mengenai kata 'kita' di dalam kalimatnya. “Iya, kita bertemu dan bisa satu mobil seperti ini. Momen yang tidak bisa diprediksi. Benar, 'kan?” tanya Ruis mencoba untuk menegaskan bagaimana pertemuan mereka sangat penting. “Ah, iya.” Gadis itu bersuara canggung, menganggukkan kepalanya dengan tidak begitu yakin. “Jadi alamat rumahmu di mana? Kami akan mengantarmu sampai di rumah.” “Tidak perlu! Aku akan turun di pemberhentian bus saja,” tolak gadis itu cepat. “Apa kau pikir aku akan menurunkan begitu saja di pemberhentian bus seperti yang kau minta!” Pria itu memberinya tatapan mata tidak suka. Jelas Ruis langsung menggelengkan kepalanya. Sekar menelan ludah. Ia merasa cukup cemas dengan pertemuan kali ini. Gadis itu tidak mau kalau sampai Hasan berpikiran yang bukan-bukan dengan pertemuan meraka berdua hari ini. Ia bingung sendiri dengan sikap sepupu dari kekasihnya itu dalam menentukan apa yang harus dilakukannya. “Berikan alamatmu di mana!” Pria itu kembali mendesak dengan suaranya yang tidak ingin dibantah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN