Episode 5 Gadis Pembangkang

1710 Kata
Langit malam terlihat mencekam oleh gumulan awan kini berangsur normal, hujan sudah mereda. Seperti kebanyakan prakiraan cuaca yang tidak selalu tepat, kini hal tersebut malah bisa menjadi bahan obrolan untuk mengajak Sekar terlibat dalam percakapan. Ruis tidak menyangka, sikap ceria ketika bersama Hasan ternyata hanya sebatas pada pria itu saja. Gadis itu tampak menjaga jarak darinya. “Apa menurutmu aku harus memecat presenter yang membacakan prakiraan cuaca hari ini?" pancing Ruis dengan suara datar, tetapi terkesan dingin dan serius. Sekar menoleh cepat. Bulu kuduknya meremang seketika, seolah ada yang baru saja meniupkan angin ke atas permukaan kulitnya. Ia tidak tahu akan menjawab apa, alamat yang diminta pria itu masih belum dia berikan. Sangat tidak biasa ia melakukan hal tersebut kepada orang asing. Ia mengingat jelas apa yang disampaikan ayah dan ibunya ketika mengizinkan pergi ke kota ini untuk menempuh pendidikan. Jangan terlalu mudah memercayai orang apalagi masih asing. "Apa kamu serius?" tanya Sekar pelan, tidak menyangka pria itu bisa berpikiran demikian ekstrim. ”Apa Hasan tidak pernah cerita apa pun mengenai aku?" Tatapan Ruis terpaku pada mata indah gelap dan besar milik Sekar. Dengan bulu mata lebat meliuk ditambah alisnya yang tebal sangat memesona hingga rasanya ia ingin memandang gadis itu selamanya. Ya, Ruis sudah memutuskan itu. "Ehm, tidak ... ah, mungkin pernah, tapi aku sering melupakan apa saja yang kami bicarakan." Senyuman Ruis pun memudar berganti muram. "Apa itu artinya cerita tentangku tidak penting?" tanyanya dengan wajah kaku. “Apa harus menjadi penting hanya karena itu cerita tentangmu?" Sekar membalik pertanyaan Ruis dengan wajah sengit, terpancing menjadi kesal karena merasa Ruis terlalu percaya diri. Ruis melepaskan tawa. Ia tidak menyangka akan disuguhi bahasa perlawanan seorang wanita yang sudah jelas ia berikan kode untuk lebih mengenal dirinya. Bukankah selama ini banyak wanita berlomba agar bisa berada di sisinya. Apa yang salah dari gadis di hadapannya ini bila sedikit saja bisa bersikap baik seperti yang dilakukannya kepada Hasan. ”Turunkan aku di Halte depan itu!" "Sudah kubilang kalau aku akan mengantarmu, tepat di depan rumahmu." “Kubilang tidak perlu." "Aku akan melapor pada Hasan!" desaknya menampakan aura tidak ingin dibantah. "Berikan saja alamatnya dan masalah ini akan selesai." Sekar mengerutkan keningnya, tidak ada gurat ketakutan yang ia perlihatkan. Ia cukup terkejut setelah menyadari bahwa Ruis—pria yang diceritakan sebagai orang baik hati oleh Hasan, ternyata memiliki sifat pemaksa. Ruis sadar, ada keangkuhan di dalam diri wanita di sampingnya ini. Bukan, kini otaknya mulai meralat pemikiran itu dengan istilah baru yaitu pembangkang yang menarik untuk ditaklukkan. Ia merasa tertantang untuk mendapatkan perhatian dari gadis itu yang menyebabkan respon kebutuhan asing dalam diri Ruis. Ya, dia merasakan debaran yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Dan jika aku menolak?" Sekar menatap tidak senang. Dagunya tampak terangkat, sebuah harga diri yang terpancar dalam setiap garis tubuhnya. ”Terpaksa aku akan menghubungi Hasan dan bilang padanya kalau kau—“ ”Kau apa?“ potong Sekar tidak terima. ”Kalau kau menumpang mobilku dan memintaku untuk diantarkan pulang. Lihat apa yang akan dipikirkan kekasihmu kalau tahu saat ini kau sedang jalan denganku.“ "Fimena Road nomor 17, Block C." Sekar mengucapkan dengan cepat dan ketus. "Sudah dengar, 'kan?” ucap Ruis merujuk pada Alli yang sedang mengemudikan mobilnya. Ujung bibirnya pria itu melengkung ke atas, tipis, nyaris tidak terlihat. "Siap, Tuan," sahut Alli dengan suara tegas dan jelas. “Apa sih maunya?” geram Sekar dalam hati. “Bisa-bisanya menawarkan diri lalu mengancam seperti itu.” Sekar memilih memutar arah pandangannya ke sisi yang lain. Melihat musim yang harusnya memantulkan sinar mentari hangat, menawarkan keindahan bunga bermekaran, dan pepohonan yang mulai menghijau, kenapa bisa berubah mencekam dalam beberapa jam? Gadis itu menghela napas. Naluri bertahannya kuat, ia menyadari sejak awal bertemu, pria itu memancarkan aura yang berbeda. Sebisa mungkin ia harus menjaga jarak dan tidak lagi berurusan dengan pria seperti Ruis. Beberapa berita yang sempat didengarnya, pria itu merupakan salah satu dari pengusaha yang sukses. Sekar tahu, pria itu bisa melakukan apa saja yang diinginkan tanpa perasaan. Mobil melaju dengan kecepatan rendah. Lalu lintas yang merayap membuat Sekar sadar sudah dekat tujuannya. Setelah memasuki gang beberapa meter hingga akhirnya limusin itu berhenti di luar Apartemen Fimena, tempat Sekar tinggal selama ini. Buru-buru assisten pribadi Ruis turun dan membukakan pintu untuk Sekar. Gadis itu pun tampak rikuh dan mengangguk untuk kemudian turun dari mobil disusul Ruis dari pintu seberang. “Kau tinggal di lingkungan seperti ini sendirian dan Hasan membiarkan begitu saja?" Dengan suara ketus penuh nada cemooh terdengar jelas di telinga Sekar. Gadis itu mendengus kesal. Apa yang salah, kenapa pria asing itu menghinanya dengan kalimat retoris seperti itu? Apartemennya bagus, dan dia merasa nyaman berada di sana sejak awal menginjakkan kakinya di Kota La Tigres. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Sekar berjalan menjauhi mobil Ruis. ”Hey, kau melupakan sesuatu." Tampak gurat kekesalan muncul pada wajah Ruis hingga ia harus mengembus napas agar tidak sampai menarik tangan kecil gadis itu dan mengajarkannya cara berterima kasih. “Kalau ada yang tertinggal, ambil saja!“ sahut Sekar tanpa menoleh. Ia berjalan tanpa menghiraukan Ruis. Baginya ucapan itu sangat mengusik ketenangan dan ketentraman hidupnya. Apa yang salah dengan Apartemen yang dipilihnya? Sekar merasa sangat kesal karena ayahnya saja menghargai pilihannya, kenapa orang asing itu bisa seenaknya saja ikut campur. “Astaga! Kau tidak melihatnya, Al?" decak pria itu sambil melirik ke arah pengawal sekaligus asistennya itu. "Seharusnya dia mengucapkan terima kasih!" "Silakan masuk, kita sudah terlambat menghadiri acara makan malam bersama keluarga besar Anda, Tuan.” "Hmm. Baiklah, masih ada hari esok untuk memberinya pelajaran sopan santun." Ruis pun menurut untuk pulang, meskipun tatapan matanya masih terpaku ke atas bangunan apartemen berlantai tiga belas itu. Tidak layak, itu yang ada di dalam benak Ruis. Perempuan itu terlalu indah hidup di lingkungan biasa seperti itu. Ada banyak fasilitas di rumahnya yang bisa dinikmati Sekar. Ya, Sekar terlalu cantik untuk dilihat dengan mudah oleh banyak pasang mata pria jelalatan di apartemen kelas rendah baginya itu. "Aku akan memindahkan dia ke salah satu Apartemenku yang jarang kugunakan." "Tuan, dia kekasih Hasan," ujar Alli memperingatkan. “Saya mohon Anda bisa menahan diri.” "Tapi, lihatlah! Hasan tidak mengurusnya dengan baik. Dia—lihatlah tempat tinggalnya, Al," decak Ruis dengan tatapan kesal tidak ingin dibantah. Alli hanya bisa menarik napas panjang, tidak mengerti jalan pikiran tuannya yang berubah aneh sejak acara peringatan kematian kakaknya dua hari yang lalu. Rasa sedihnya kini ikut menjalar, ketika sebelumnya ia menjadi sekretaris pribadi Rusdy, perasaan kehilangan terhadap sosok pria itu juga hadir menyelimuti hatinya. Sifat kakak beradik yang dilayaninya sangatlah berbeda. Ruis sangat menggebu dan sulit dikendalikan emosinya. Namun, begitu menyangkut soal wanita, Ruis lebih bisa menghargai bagaimana kehidupan wanita yang dekat dengannya harus terjamin dan aman. "Hasan payah! Uangnya selama ini untuk apa, kalau mengurus kekasih satu saja tidak becus!" Ruis masih menggerutu di sepanjang perjalanan. Alli tidak menyahut, membiarkan tuan mudanya meluapkan apa yang tengah dirasakan. Tidak mengenal wanita selama beberapa tahun jelas membawa dampak psikologis pada hidup Ruis. Itu yang kini tengah dirasakan Alli sebagai orang terdekatnya. "Nenek Anda sudah menunggu, Tuan." Alli melapor setelah menerima panggilan dari rumah. "Ehm, kita bergegas." Ruis pun menyahut santai. Perjalanan Ruis sampai di rumah neneknya berjalan dengan lancar. Tampak mobil berjajar rapi di halaman semakin menambah keyakinan Ruis bahwa yang datang diundang neneknya kali ini tidak sembarang orang. Ia harus menyiapkan diri apabila posisinya di keluarga Juliane kembali disorot tajam. "Kakak, kau membuat hidup adikmu di bawah tekanan," gumam Ruis dalam hati. Sejak dulu ia mengandalkan kakaknya dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga. Pria itu yang akan menjadi orang yang menjaganya selama ini dari penilaian buruk sang nenek karena kemampuannya dalam menjalankan pekerjaan masih di bawah standar keluarga. "Ruis, cucuku," sambut perempuan yang telah melahirkan ayahnya itu dengan wajah penuh senyuman kerinduan. “Kenapa baru berkunjung sekarang?” "Selamat malam, Nenek. Apa kabar?" Ruis menyahut seraya memeluk tubuh neneknya dengan tubuh menunduk. “Maaf, Ruis banyak pekerjaan.” "Nenek sudah merindukan kakekmu, tapi sebelum memastikan kau menikah, sepertinya nenek belum bisa pergi dengan tenang." Perempuan berusia 83 tahun itu memberikan cubitan keras pada perut Ruis begitu telinganya mendengar kekehan geli dari bibir sang cucu. "Kumohon jangan bicara begitu. Cari jodoh itu tidak mudah, Nek." Ruis mencoba berdiplomasi, sudah beberapa kali ia menjalani kencan buta dengan wanita pilihan neneknya, dan beberapa berakhir drama karena isinya pereguk harta. "Anak nakal, susah bagian mana! Nenekmu ini sudah tua. Kau harusnya segera memberikan nenekmu ini buyut, bukan malah bermain-main seperti ini!" Wajah nenek itu tampak jengkel. "Aku harus bagaimana, jodohku masih jauh, Nek?" Ruis membantah dengan suara menggoda seraya memberikan senyuman menawan. "Minta Hasan untuk mencarikan kekasih dari salah satu temannya!" hardik wanita bernama Rosana itu seraya melepaskan tautan tangannya. "Dan sialnya, aku malah menyukai kekasih Hasan, Nek," batin Ruis tercenung sesaat. Senyumnya pudar seketika. "Besok bawa dia menemui nenek di rumah," tegas neneknya tanpa bisa dibantah. "Dia siapa?" Pria pemilik nama lengkap Pangeran Ruista Juliane itu tertawa ringan. Sebenarnya kalau bukan karena neneknya begitu menyayanginya, ia sangat malas membicarakan soal pernikahan. Kalau bukan atas permintaan ibu dan ayahnya agar selalu bersikap baik kepada nenek Rosana, sudah tentu malam ini ia tidak akan berkunjung ke rumah ini. “Yang beberapa hari ini menyita waktu dan perhatianmu sampai meninggalkan kantor sembarangan.“ Nenek Rosana menatap Ruis dengan pandangan menyelisik dan Ruis pun kembali dibuat tidak berkutik. Ketika tatapannya kini mengarah pada Alli yang menundukkan kepalanya, ia hanya bisa mendengus kesal sendiri. Hidupnya tidak pernah bebas dari mata-mata. "Oya, benarkah? Wah, tidak kusangka Ruis sudah punya calon incaran yang baru. Ini patut dirayakan!" seru Hasan tiba-tiba muncul dari belakang Ruis, pria itu menepuk pundaknya dengan wajah semringah. "Kapan kita bisa double date, biar aku bisa sedikit membantumu dalam proses pendekatan," tambah Hasan senang, binar mata cerah itu berbanding terbalik dengan wajah Ruis yang mendadak muram. ”Siapa dia? Ayolah! Pasti akan sangat menyenangkan kalau kita bisa jalan berempat.“ Alis Hasan terangkat naik turun, pria itu masih betah menggoda padahal di dalam hati Ruis ingin sekali mengakhiri percakapan ini. Ada perasaan bersalah, tetapi hatinya berkeras. Tidak ingin menghentikan apa yang menawarkan kebahagiaan kala memandang gadis ayu itu saat berusaha mengabaikannya karena sudah memiliki Hasan di dalam hidupnya. ”Nanti saja. lagipula ini baru awal.“ Ruis memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain. Tanpa sadar pria itu menggaruk tengkuknya dengan perasaan tidak nyaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN