Episode 1. Love at First Sight

1372 Kata
Hari ini pria bernama Ruista tengah berdiri dengan wajah murung, sorot mata pria itu redup, dan tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibirnya. Saat ini ia sedang memberikan salam penghormatan untuk mengenang kepergian Rusdy, sang kakak di sebuah aula museum tempat acara peringatan hari kematian tersebut dilaksanakan. Dua tahun sudah berlalu sejak Rusdy—kakak kandungnya, meninggal bersama dengan kakeknya dalam sebuah tragedi kecelakaan pesawat jet pribadi saat sedang melakukan kunjungan bisnis. Kesedihan yang mendalam pun dirasakan pria berusia dua puluh delapan tahun tersebut. Selain kehilangan sosok dua pria yang begitu disayanginya, Ruis dihadapkan pada kenyataan bahwa hanya tinggal dirinya putra dari keluarga Juliane yang masih hidup setelah kakaknya meninggal dalam kecelakaan pesawat tersebut. Itu tandanya, beban hidupnya semakin berat karena harus mengemban tugas sebagai penerus tunggal kerajaan bisnis multinational, Ruista Global Hotel. Sebuah perusahaan yang memiliki aset kekayaan yang tersebar di seluruh dunia. Tampak di sampingnya hadir pula nenek, ibu, dan ayahnya—bersama keluarga besar dan rekan kolega bisnis tentunya. Acara pelelangan barang koleksi Rusdy diikuti penggalangan dana yang akan disumbangkan untuk lembaga sosial akan menjadi puncak dalam acara tersebut. Ruis merasa tertekan semenjak kakaknya meninggal. Ia pun memilih untuk menyendiri daripada bergabung dengan keluarganya setelah acara pembacaan doa selesai. “Aku mencarimu ke mana-mana.” Hasan menepuk pundak pria yang akrab dipanggil Ruis itu lalu ikut duduk di sebelahnya. Mereka berdua merupakan saudara sepupu. Ayah dan ibu mereka saudara kakak beradik sehingga keduanya menjadi cukup dekat dan akrab. Banyak hal dilakukan Ruis dan Hasan bersama-sama mengingat usia mereka hanya terpaut satu tahun. “Aku hanya ingin mencari udara segar,” sahut Ruis memberi alasan, wajahnya tampak muram. Ruis sedikit melonggarkan dasi yang melilit krah lehernya seraya menyandarkan punggung pada kursi. Embusan napasnya terdengar berat, lelah dengan suasana di dalam museum yang sangat ramai. Seperti biasa, apabila terdapat acara lelang amal, maka semua peserta akan menawarkan harga tertinggi untuk mendapatkan barang koleksi tersebut dan merasa bangga apabila namanya terdaftar menjadi salah satu penyumbang dana terbesar. Ruis hanya menyimak jalannya acara dari luar aula tempatnya berada saat ini. “Aku tidak menyangka, kakakmu akan mengalami nasib tragis seperti itu,” ucap Hasan menerawang, pria itu pun ikut mengambil gaya seperti Ruis dengan menyandarkan punggungnya pada bantalan kursi. “Hm, dan aku seperti robot pesakitan yang harus mengurus semua pekerjaan miliknya,” sahut Ruis dengan suara tawa sarkas. Hasan menepuk pundak Ruis, memberikan tatapan simpati penuh dukungan. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali pasrah. Keluarga besarnya menganut sistem patriarki di mana hanya keturunan dari pihak laki-laki dan anak sulung saja yang akan diperhitungkan di dalam keluarga besar Juliane. Anak perempuan akan otomatis tersingkir dari kandidat penerima warisan. Kalaupun ada, itu pun tidak lebih dari sepuluh persen dari nilai aset keseluruhan. Itulah mengapa, keluarga Hasan sangat berbeda tingkat kekayaan dibandingkan Ruis. “Aku akan menghiburmu,” cetus Hasan tersenyum. “Kita bisa minum beberapa cangkir kopi di kafe favoritku.” “Kopi? Yang benar saja!” Ruis mendesis, sungguh ide yang menurutnya sangat konyol. Bagi Ruis yang sudah akrab dengan beberapa pub mewah yang didatanginya, tawaran yang diberikan Hasan sangat menggelikan. Pria itu pun menggeleng dengan wajah menyiratkan kecerahan. Hasan memang telah berhasil menghiburnya. “Aku tidak minum di siang hari,” tegas Hasan diberi anggukan Ruis, alasan yang bagus untuk berkelit. Lagipula, ketika mereka diam-diam menyelinap pergi dari acara tersebut, alangkah menyedihkan kalau sampai tertangkap kamera wartawan mereka sedang mabuk di sebuah pub. Ruis pun menerima alasan Hasan dengan baik. “Bawa aku segera pergi dari sini!" pinta Ruis ketika dari kejauhan tampak seorang wanita cantik berjalan melenggak-lenggok menuju ke arah mereka berdua. Hasan yang menyadari kedatangan wanita itu segera melepaskan tawa, ia bahkan harus dengan menundukkan kepala untuk menahan geli. Dia mengerti apa yang membuat sahabatnya itu muak. Banyak wanita singgah di dalam kehidupan Ruis, tetapi tidak ada satupun yang tulus mencintai pria itu. Semua mendekati Ruis hanya demi harta, ketenaran, dan kedudukannya saja. Ruis benar-benar sudah berada dalam fase tidak ingin lagi mengenal dan menyentuh wanita selama kurang lebih empat tahun belakangan ini. Kondisi ini sangat menghawatirkan keluarga besarnya karena Ruis menolak untuk menikah dan memberikan keturunan sebagai pewaris keluarganya kelak. “Ayo, kita pergi!” putus Ruis beranjak dari tempat duduk. “Pakai mobilku saja. Parkirnya cukup strategis untuk kabur dari sini,” balas Hasan meraih pundak Ruis sambil tertawa, mereka berjalan bersama-sama tanpa memedulikan kalau di belakang mereka tampak seorang wanita cantik sedang mengentak kaki kesal karena panggilannya tidak ditanggapi sama sekali. Baru saja berhasil lolos dari wanita penghisap harta, langkah mereka malah diadang oleh beberapa wartawan yang mencari berita. Untung saja banyak pengawal yang berjaga sehingga mereka bisa segera lolos dan pergi dari museum Art Rusdy itu secepatnya. Mobil mereka kini sudah membelah padatnya jalan raya kota La Tigres, tempat tinggal mereka. Salah satu kota terbesar di negara Mueensland. Tidak terasa musim dingin kali ini sudah berlalu, tampak pepohonan sudah mulai bersemi dengan hangatnya mentari yang bersinar cerah. Rasanya ingin lepas, Ruis rindu masa di mana dia dan kakaknya memancing di danau beku setiap musim dingin tiba. Tahun ini masa itu terlewati begitu saja tanpa menyisakan kenangan apa pun. Dia merasa kesepian. “Bersenang-senanglah!” Ruis hanya mendengus, ucapan Hasan sangatlah mudah untuk dikatakan, tetapi nyatanya sangat sulit untuk dilakukan. Suara dering ponsel Hasan pun menjeda percakapan mereka berdua hingga sampai Kafe pun tidak ada lagi obrolan tercipta dari keduanya. "Kekasihku sudah ada di dalam, menunggu kita," ucap Hasan turun dari mobil. "Aku akan jadi nyamuk!" Ruis memprotes keputusan Hasan yang tidak memberitahu kalau ada orang lain di antara mereka. Hasan hanya tertawa, menunggu Ruis sampai menyusulnya keluar dari mobil, baru setelah itu keduanya memasuki ruangan Kafe yang terlihat lengang. Suara dentingan lonceng pun segera terdengar ketika mereka melangkah masuk dan pintu otomatis tertutup kembali dengan perlahan. "Welcome to Jojo_Kafe," sambut seorang barista yang merupakan sahabat Hasan. Pria itu tersenyum ramah. "Hai, kenalkan ini sepupuku, Ruista. Ruis, ini John." Hasan mempersilakan Ruis dan John saling bersalaman. "Sekar sudah di dalam. Dia menunggumu," ujar John memberi tahu. "Ok, kalau begitu aku ke sana." Hasan pun segera menarik lengan Ruis agar mengikutinya menuju ke tempat yang menjadi favoritnya ketika berkunjung ke Kafe ini bersama Sekar. Sudah dua minggu dia tidak bertemu dengannya. Nada suara gadis itu terdengar tidak baik-baik saja ketika di telepon, dan ia merasa cukup cemas. Ruista berjalan mengekor di belakang Hasan. Tatapannya sesekali menangkap suasana dan desain interior kafe yang sangat nyaman. Untuk pertama kalinya ia merasa tenang berada di tempat asing. Langkahnya mulai melambat kala pandangannya menangkap sosok wanita berpenampilan menarik dan cantik sedang duduk sendirian di pojok ruangan. Sialnya, tempat itu merupakan tujuan dari langkahnya bersama Hasan. Jantungnya berdebar lebih kencang, dan timbul perasaan yang sukar dijelaskan ketika gadis itu tiba-tiba berdiri dan keluar dari tempat duduknya untuk menyambut uluran tangan Hasan. Melihat keduanya berpelukan dan saling mengumbar senyuman berhasil membuyarkan lamunan indah Ruis pada sosok gadis tersebut. "s**t! Jadi, dia kekasih Hasan yang bernama Sekar?" gumam Ruis tercenung dalam hati. Entah perasaan dari mana, ia tidak suka dengan kenyataan itu. "Sekar, ini sepupuku Ruista," ucap pria itu merangkul pinggang ramping Sekar dan memperkenalkan pada Ruis. "Halo, Kak Ruista," sambut Sekar dengan ramah dan lembut tanpa dibuat-buat. "Ruis, ini Sekar." Hasan memperkenalkan. "Senang bisa bertemu denganmu, Sekar," ucap Ruis mencoba bersikap biasa. Namun, jujur di dalam hatinya cukup bergolak dengan perasaan yang sukar untuk dikendalikan. Mereka pun bersalaman sejenak. "Kak Hasan sangat sibuk?" tanya gadis itu mengalihkan pandangannya dari Ruis ke arah Hasan. Sekar tidak lagi menatap Ruis, ia menarik tangan Hasan agar duduk di sampingnya dan disusul Sekar sendiri dengan tawa ringan yang menyenangkan. Ruis hanya bisa diam, ikut duduk menyimak tanpa dipedulikan keberadaannya. Hasan pun segera tenggelam dalam obrolan bersama Sekar yang tanpa jeda menariknya untuk diperhatikan. "Jadi, bisakah kita ke sana? Momennya pas, tuh, Kak." Mata gadis itu tampak berbinar-binar, terdapat magnet yang kuat hingga Ruis tidak kuasa menolak pesonanya untuk tidak mengagumi sosok sederhana di hadapannya—wanita yang tengah mengobrol bersama sepupunya. "Boleh, kita berdua bisa atur jadwal," sahut Hasan menganggukkan kepalanya seraya mengusap lembut rambut poni gadis itu dan menyelipkan ke bagian belakang telinganya. “Ok, pasti akan sangat menyenangkan.” Gadis itu tersenyum cerah, tatapannya masih mengarah kepada Hasan. "Gila, aku tidak mungkin tertarik dengan kekasih sepupuku sendiri. Itu sangat menggelikan." Ruis membatin kesal. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN