Episode 9 Berhentilah Menggangguku

1387 Kata
Tidak ada yang dirisaukan Ruis saat ini selain berharap agar gadis itu tidak lekas pulang. Ada banyak hal yang tiba-tiba ingin dia bagi dengan orang lain. Sesuatu yang berarti dia harus keluar dari zona nyamannya. Ia menyukai kesendirian, kesenyapan, dan ketentraman yang tidak pernah ia rasakan di rumahnya sejak kecil. Meskipun kini kesenyapan setelah ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi malah membuatnya berbalik menjadi sesuatu yang tidak disukainya. Ada banyak aturan, jadwal, dan beberapa nasihat yang harus didengarkan setiap waktu dari orang-orang di sekitarnya, termasuk memiliki seorang nenek yang cerewet. Ruis membenci suasana itu kecuali saat bersama kakak dan kakeknya. Semua tentang mereka membawa kesan mendalam bagi dirinya. “Apa itu foto kakakmu?” tanya Sekar ragu sambil mengusap rambutnya dengan handuk. Saat ini ia memakai pakaian baru yang diberikan oleh pegawai apartemen sesampainya di sana sebagai ganti pakaiannya yang basah. “Aku hanya menebak—karena jelas itu bukan kamu.” Alli dan satu pekerja yang sengaja dipanggil ke Apartemen untuk menyiapkan keperluan Ruis tampak berjalan mendekati keduanya yang berada di ruang tengah. Perhatian Sekar dan Ruis pun beralih pada mereka berdua. “Silakan, Tuan.” Alli mempersilakan Ruis dan Sekar mengikutinya ke ruang makan. Ruis pun mengangguk saat memandang Alli kemudian berjalan pelan mengikuti langkah Sekar yang sudah menjauhi dinding di mana beberapa foto terpasang rapi pada permukaannya. “Ini salah satu apartemen peninggalan kakakku,” ungkap Ruis tersenyum. “Ya, begitulah. Aku sangat menyayanginya.” “Hm, apartemennya bagus. Pantas saja kemarin kamu mengisyaratkan kalau apartemenku jelek bagimu.” Sekar mengalihkan pandangannya ke arah kedatangan Alli dan satu pekerja perempuan yang telah menyiapkan makanan dan meletakkan ke atas meja makan. “Maaf, bukan begitu maksudku.” “Tidak apa-apa, standar kita memang berbeda,” sahut Sekar mengembuskan napas. “Kalau sampai Hasan tahu aku berada di sini, mungkin akan terjadi masalah besar .” Gadis itu terlihat gelisah sejak sampai di tempat itu dan Ruis paham apa yang menjadi masalahnya. “Kita makan dulu baru kau boleh pulang. Pakaianmu akan dibersihkan pekerja dan akan dikirim ke apartemenmu setelah siap.” Ruis masih melangkah mengikuti Sekar yang sudah berjalan meninggalkan dirinya. Gadis itu teramat sangat sulit dikendalikan. Ia tahu Sekar tidak memercayainya, setelah insiden yang terjadi di area taman restoran Ers_Santosa yang terkenal tadi siang. Bisa saja kali ini berita tentangnya sudah memenuhi berita di platform digital. Entahlah, yang dirisaukan Ruis saat ini lebih pada sikap Sekar terhadapnya. “Kamu sengaja menabrak dan menjatuhkan ponselku, 'kan?” tebak gadis itu memutar arah kepalanya untuk menatap Ruis lalu memalingkan wajahnya ke arah ruangan makan yang telah dipersiapkan pekerja bersama Alli. “Apa aku ada alasan untuk melakukan hal konyol itu!” Untuk menutupi kesalahan dengan berucap ketus, meskipun ia membenarkan tuduhan itu di dalam hatinya. “Siapa yang tahu,” sahut Sekar mengedikkan bahu, memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi dalam beberapa hari ini tidak seluruhnya berupa kebetulan. “Oh, come on! Apa tidak bisa kau lebih berpikir rasional?” debat Ruis masih tidak ingin Sekar menuduhnya dengan tatapan mata seperti itu. Itu sungguh ide gila yang tercetus begitu saja. “Baiklah. Aku akan anggap itu kecelakaan. Tapi, soal kamu yang tiba-tiba diam tidak bergerak di dasar kolam tadi bagaimana? Itu—” “Apa membuatmu cemas?” serobot Ruis dengan harapan akan mendapatkan jawaban yang menyenangkan untuk hari ini. Tidak ada yang tahu apa yang telah dilakukannya tadi di sana. Namun, ia yakin, dorongan untuk tidak keluar dari sana cukup mengganggu pikiran Ruis hingga saat ini. Sensasi menenangkan hingga tidak ada yang harus ia pedulikan. “Itu konyol! Jangan diulangi lagi,” desis Sekar dengan wajah bersungut-sungut. Apa yang terjadi tadi sangat mengejutkan dan membuatnya kalut. Ia sangat ketakutan hingga akhirnya bersedia mengikuti pria itu sampai di sini. Ruis tersenyum, duduk berhadapan dengan Sekar yang mulai melahap makanan tanpa lagi mengucapkan sepatah kata pun. Pikiran Ruis ke mana-mana. Bagaimana rasanya apabila mereka kini menjadi sepasang kekasih? Apakah akan tetap canggung jarak yang sedemikian jauh seperti ini? Sungguh, membayangkan saja rasanya membawa efek nyeri dalam dirinya. “Sekar,” panggil Ruis di sela makan. “Ya?” Masih fokus dengan makanan yang ada di hadapannya, Sekar menjawab datar. “Apa kau pernah mengkhianati kekasihmu? Mantan pacarmu, mungkin,” pancing Ruis seketika membuat Sekar membelalak dengan kepala terangkat untuk menatapnya lebih jelas. “Apa maksudmu?” Tidak nyaman, rasanya itu tidak bisa dihilangkan Sekar sama sekali sejak pertemuan pertama dengan pria di hadapannya ini. Sebuah kode, atau ini bagian dari modus pria itu padanya? Sekar buru-buru menyelesaikan makan dan berpamitan ke belakang sebentar untuk mencuci tangannya yang kotor. Ruis segara sadar bahwa apa yang telah ia ucapkan terlalu jauh. Namun, gejolak di dalam dirinya menuntun untuk bertindak demikian. Sekarang atau tidak akan ada kesempatan seperti ini lagi. Ia ingin memastikan bahwa apa yang tengah dirasakannya sama. Gadis itu juga merasakan apa yang melandanya dalam beberapa hari ini. Sinyal ketertarikan itu kuat karena Sekar bersedia untuk bersamanya, bukankah begitu? Pikir Ruis untuk menenangkan diri. “Aku rasa kamu sudah baik-baik saja. Sebaliknya kamu menghubungi dokter bila ada keanehan. Seperti ingin melakukan sesuatu yang hanya menyakiti diri Kak Ruis misalnya,” nasihat Sekar ketika gadis itu sudah selesai dan pamitan untuk segera pulang. “Biar aku yang akan mengantarmu pulang,” cegah Ruis berjalan menutupi jalan Sekar hingga beberapa kali gadis itu memutar arah agar tidak terhalang saat akan mencapai pintu utama. “Kamu sakit, akan sangat membahayakan kalau aku pulang sama kamu,” tolak Sekar menggeleng cepat. “Sampai kapan kau akan berlaku seperti ini? Menolak semua bentuk bantuan yang kuberikan!” protes pria itu merasa sangat kesal. Berada di urutan nomer yang kesekian sangat menjengkelkan baginya. Ia tidak pernah merasakan diabaikan selama ini dan itu cukup mengganggu pikiran Ruis. “Sampai kamu berhenti mengganggu dan berhenti menemuiku, Tuan Ruis!” Sekar berhenti melangkah, menatap dengan dagu terangkat penuh kepercayaan diri yang tinggi. Cukup, cukup sampai di sini saja pertemuan sial yang harus dilakoninya. Perasaan bersalah pada Hasan begitu menyiksanya, Sekar tidak mau kalau sampai kekasihnya tahu bahwa beberapa hari ini ia bermasalah dengan sepupunya. “Kau salah memahami—” “Aku tidak bodoh. Apa yang kamu lakukan beberapa hari ini bisa k****a dengan baik. Tidak bisakah kamu membiarkan aku sendiri, tidak membuatku berada dalam masalah dengan hal-hal konyol yang kamu ciptakan? Aku tidak suka, okay. Tolong, jangan ganggu aku lagi setelah ini,” tegas Sekar dengan wajah sungguh-sungguh. Perempuan yang dididik untuk menjaga kepercayaan dan hubungan yang baik itu memutar tubuh kemudian berjalan ke luar dari apartemen Ruis. Ia tidak menoleh, memaksakan langkahnya tetap tegas menuju ke arah lift berada. Kalimat ini sudah ia persiapkan sebelumnya. Saat menyadari bahwa sorot mata pria itu begitu hidup saat memandangnya, Sekar harus memastikan untuk tidak bertindak ceroboh dengan terpengaruh oleh sikap baik pria itu padanya. Ruis masih mematung di depan pintu yang menutup secara otomatis sepeninggal Sekar. Ia tidak berniat untuk segera bergerak dari tempatnya. Hatinya bagai ditusuk-tusuk belati dan sialnya tidak berdarah hingga tidak ada yang bisa mengerti rasanya diberikan penolakan seperti yang dialaminya sore ini. Ya, gadis yang berhasil membawa minatnya sudah memberikan cubitan keras pada otaknya untuk berhenti melangkah lebih jauh. Rasa cinta yang dimilikinya tidak disambut dengan hangat. “Tuan,” tegur Alli kini melangkah maju mendekati Ruis. “Dia menolakku tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan bahwa aku hanya ingin membantunya,” desis Ruis tampak menahan guratan kekecewaan pada wajahnya. Alli merasa bingung dalam menanggapi, jelas ia memahami bahwa saat ini pria itu merasa malu karena Sekar mengatakan hal itu di depan pelayan Ruis. Ia pun hanya bisa diam menyimak tanpa berusaha menasihati. Ekor matanya kini mengarah pada satu pekerja yang berada di sana untuk keluar dari apartemen dan kembali ke asal. “Besok aku ingin ponsel Sekar yang baru sudah sampai di apartemennya. Pastikan kau melakukan tugasmu dengan baik seperti biasa!” tegas Ruis sembari memutar badan menghadap ke arah asistennya dengan tatapan tajam. “Jangan mengecewakan aku.” “Siap, Tuan.” “Kau tahu 'kan apa yang aku mau?” tantang Ruis menyeringai dingin, ia berjalan tegas meninggalkan Alli menuju kamar dan menutup pintunya dengan rapat. Penolakan Sekar hari ini terlampau menyakitkan dan mengecewakan bagi Ruis. Ia pun memilih untuk menghubungi Hasan dan melakukan sesuatu yang bisa mengurangi rasa sakit di dalam hatinya. “Kita lihat sekar, sejauh mana kamu bisa melenggang bersama Hasan dengan tenang.” Ruis mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN