Sengaja Gio menghentikan mobilnya agak jauh dari sekolah. Dilihatnya gadis yang dia tunggu celingukan mencari mobilnya. Setelah melihat di mana mobilnya berada, gadis itu berjalan dengan menunduk ke arahnya. Beberapa pasang mata menatapnya dan seperti membicarakannya diam-diam.
Valerie cantik. Untuk ukuran anak SMA, kecantikannya memang di atas rata-rata dan dia terlihat menonjol di antara temannya yang lain. Wajar kalau dia menjadi pusat perhatian. Tapi kelihatannya Val bukan gadis yang suka gaul atau pamer penampilan. Gayanya biasa saja, tidak mengenakan barang bermerek di tubuhnya. Gio memandangi gadis yang berjalan cepat ke arahnya. Dia juga tidak tahu sampai kapan permainan ini berakhir. Yang jelas dia tidak mau Val berdekatan dengan lelaki lain.
Pintu membuka di samping Gio. Tanpa memandang gadis yang mengempaskan tubuhnya di kursi penumpang, Gio segera menyalakan mesin mobil.
“Kamu sudah makan siang? Pasti belum, kan? Kita makan dulu.”
“Nggak usah, aku mau makan di rumah saja. Pasti Mama sudah masak.”
“Baguslah. Aku juga mau makan masakan ibu mertua,” kata Gio kalem. Val menoleh cepat, matanya memicing.
Ibu mertua? Nggak salah? Baru dikasih sarapan gratis saja peringkat Mama sudah naik jadi ibu mertua? Hhh, seandainya Mama dengar, pasti dia bakal melompat nembus plafon saking girangnya.
“Ngapain kamu mau makan di rumah. Emang nggak bisa beli makan sendiri? Nggak, nggak, nggak usah. Kita makan di tempat lain saja.”
Kita? Gio tersenyum miring. Siasatnya berhasil. Memang itu tujuannya. Mengajak Val makan siang. Lagian kalau makan di rumah Val, dia tidak bisa menyentuh gadis itu. Ya, Gio sudah sangat rindu merasai bibir Val. Sudah terlalu lama dia menahan diri dan hari ini dia ingin melampiaskannya sedikit.
“Val?” panggil Gio ketika mereka sudah berada di parkir sebuah restoran masakan tradisional. Gio tidak tahu apa kesukaan Val jadi masakan tradisional pilihan yang netral.
Val menoleh, lalu tanpa disangka, Gio menarik lehernya mendekat dan mendaratkan bibirnya ke bibir Val.
Gadis itu berusaha menolak dan menekan d**a Gio agar menjauh darinya. Tapi lelaki ini jauh lebih kuat dari tenaganya. Akhirnya Val membiarkan Gio melakukan keinginannya tanpa berusaha membalas ciumannya.
“Aku nggak sedang nyium manekin, kan? Kenapa diam saja?” tanya Gio tajam ketika dia melepaskan bibir Val sebentar.
Val tidak tahu harus membalas apa. Selain enggan dia bukan gadis yang mahir berciuman.
“Belajar membalas atau aku akan melakukan lebih dari sekadar ciuman sekarang juga,” kata Gio sambil memasukkan tangannya ke dalam rok Val dan membelai pahanya.
Val menahan napas mendapat perlakuan dari Gio. Dia terlihat bingung. Haruskah dia mencium Gio duluan dari pada tangan Gio semakin naik ke atas dan dia tidak suka rasanya.
Ya, mungkin begitu lebih baik. Dengan gemetar, Val memegang kedua pipi Gio dan mendekatkan bibirnya ke bibir Gio. Dia menciumi Gio kasar dan tergesa. Val mau tangan Gio keluar dari roknya.
Gio melepaskan ciumannya. “Wowowo … nggak gitu caranya ciuman, my lady. Kamu terlalu tergesa.” Gio terkekeh dan mengeluarkan tangannya dari rok Val, sesuai janjinya.
Didekatkannya kembali bibirnya ke bibir Val dan dia melumat lembut kedua bibir ranum itu. Val membalas sama lembutnya. Napasnya mulai teratur sekarang. Dia meniru apa yang Gio lakukan pada bibirnya. Lama kelamaan Val mulai menikmati merasai bibir itu dan dia merasa lebih santai. Gio tersenyum melihat Val mulai mahir dan semakin girang ketika desahan lirih terdengar darinya.
“Sudah cukup,” kata Gio sambil menempelkan kening mereka. “Nanti kita lanjutkan lagi. Sekarang kita makan dulu, ya.” Diusapnya bibir bawah Val dengan ibu jarinya. Bibir yang membuatnya ingin melakukan lebih pada bagian tubuh yang lain.
Val berusaha mengatur napasnya yang mendadak menjadi cepat dan tak teratur. Dia merapikan bajunya dan melirik Gio diam-diam. Dipegangnya bibirnya yang tadi disentuh lelaki itu. Sial! Kenapa dia jadi berdebar-debar begini, sih?
Val enggan turun. Perutnya mendadak tidak lapar. Lagipula dia tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah ciuman yang menurutnya sedikit aneh tadi. Val yakin kalau Gio juga menyadari tadi dia mendesah. Sekarang Val malu.
Pintu di sampingnya membuka dan Val sedikit terkejut dibuatnya.
“Ayo turun! Apa mau kegendong sampai dalam?” tanya Gio seperti biasa. Sinis dan menyebalkan. Membuat Val menyesal tadi sempat malu dan ge er.
“Aku malas makan,” kata Val begitu mereka di luar mobil. Dia enggan menatap Gio dan kembali bersikap acuh. Val tidak boleh terpikat pada lelaki berengsek ini hanya gara-gara ciuman manis seperti tadi.
Gio menutup pintu dan mengaktifkan alarm. “Nggak apa. Temani saja aku makan. Aku lagi malas makan sendirian,” katanya. Digandengnya lengan Val dan dibawanya gadis itu ke dalam. Gio tidak mau melepaskan genggamannya dan dia menikmati Val yang menjadi pusat perhatian karena sedang jalan bersamanya.
“Aku tidak tahu apa makanan kesukaanmu. Tapi gado-gado di sini enak sekali. Juga ayam bakar dan sambalnya. Aku selalu ke sini sendirian kalau sedang ingin masakan rumahan.” Gio menjelaskan sambil membuka menu. “Lain kali kita makan sesuai seleramu. Anak seumuran kamu biasanya suka fast food, kan?”
Val memandang Gio. Entah sejak kapan mereka menjadi aku-kamu seperti sekarang. Apa artinya hubungan mereka sudah naik satu tingkat?
“Aku suka semua makanan. Mama selalu bilang nggak boleh pilih-pilih.” Val membolak balik menu. Berbeda dengan yang diucapkannya, dia kelihatan tidak berminat dengan makanan tradisional ini. Val ingin makan mi goreng, sayangnya tidak ada di menu.
“Jadi kamu mau pesan apa?” tanya Gio lembut. Seorang pelayan wanita sudah berdiri di dekat mereka. Val melihat kalau pelayan itu hanya memandang Gio.
Kenapa dengan mata para pelayan, sih?
“Minum saja. Tadi kamu bilang aku boleh cuma menemani makan, kan?”
Gio memesan kepada pelayan tanpa memandang. Dia menyebutkan pesanannya dan juga segelas es oyen untuk Val. Mungkin itu bisa mendinginkan suasana hati Val yang selalu panas.
“Kenapa kamu nggak memberi senyum sedikit sama pelayan tadi. Emang senyum kamu mahal?” tanya Val sinis.
“Memangnya kamu ikhlas pacar kamu cengengesan sama perempuan lain? Seharusnya kamu marahin pelayan tadi karena sudah memandangi pacar kamu tanpa izin.”
Val memutar bola matanya. Jengah.
“Jangan lakukan itu,” kata Gio tiba-tiba.
“Melakukan apa?”
“Tadi. Yang begini.” Gio memperagakan cara Val memutar bola mata.
“Memangnya kenapa?” tanya Val sambil memutar bola matanya.
“Stop! Aku nggak suka. Belajar untuk melakukan hanya yang aku suka dan meninggalkan yang nggak aku suka.” Gio memandangi Val kejam.
“Hhh, mungkin sebentar lagi kamu akan mengatur kapan aku boleh bernapas di dekatmu,” ujar Val dingin. Dia membuang muka untuk meredakan amarah yang mulai timbul di dadanya.
Tanpa disadari, Gio sudah berpindah duduk ke sebelahnya. Mereka memang memilih duduk di pondok-pondok kecil yang lebih pribadi. Val merasakan tangan Gio menyentuh jemarinya.
“Jangan marah, Val.” Gio meraih jemari Val dan menciuminya.
Val terkesiap dan menoleh cepat. Memandangi lelaki yang sedang menciumi jemarinya satu per satu. Jika dipandangi dengan betul, Gio memang tampan. Pantas saja wanita-wanita suka memperhatikannya. Dan pantas saja teman-temannya menggunjingkan dia diam-diam.
Val masih mengagumi wajah yang tak henti mengecupi jemarinya. Sebelah tangannya yang bebas memegangi dadanya. Kenapa …. Kenapa rasanya ada banyak sayap yang mengepak di dadanya sekarang? Rasanya geli sekaligus menyakitkan.[]