Sarah melempar tasnya ke atas kasur. Ditelungkupkannya tubuhnya tidak jauh dari tasnya mendarat. Sungguh dia lelah hari ini dan ingin segera tidur saja.
Tadi di sekolah, tanpa sengaja dia melihat pacarnya Val. Tepatnya lelaki yang katanya pacarnya Val. Seperti yang diributkan anak-anak di kantin, dia lelaki dewasa yang sangat tampan dan seksi. Dan Sarah mengenal lelaki itu. Bagaimana bisa seorang lelaki seperti dia memacari Val? Sarah tahu bagaimana reputasinya.
“Sar? Sarah?” Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dari suaranya dia tahu siapa yang berdiri di depan pintu.
Dengan malas Sarah bangkit dan berjalan ke arah pintu. “Kak,” katanya ketika pintu terbuka.
“Kakak datang, kok nggak disambut kayak biasa, sih?” Stephen, kakak Sarah memeluk adiknya dan menjawil hidungnya seperti biasa.
“Emang kapan pernah nyambut kakak? Kayak sultan aja harus disambut.” Sarah bersungut dan masuk ke kamar untuk melanjutkan berbaring.
“Makan, yuk! Kata Mami kamu belum makan sejak pulang sekolah. Tumben.” Stephen duduk di tempat tidur Sarah, disadarinya kalau adiknya ini sedang bad mood.
“Udah makan tadi di sekolah. Pas istirahat kedua makan mi ayam. Jadi masih kenyang. Aku ngantuk, Kak,” kata Sarah sambil memalingkan wajah membelakangi tubuh Stephen. Melihat kakaknya membuatnya teringat pada pacar Valerie.
“Ya udah Kakak ke bawah dulu ketemu Mama. Abis tu Kakak langsung pulang ke apartemen, lho. Kamu jangan merajuk, ya.”
Stephen memang tidak tinggal bersama mereka sejak dia membantu mengelola perusahaan Papa. Stephen bilang mau mandiri. Tapi Sarah tahu kalau kakaknya itu mau hidup bebas dengan alkohol dan perempuan-perempuan sewaan yang bergilir setiap malam. Kakaknya dan dua sahabatnya. Mereka selalu berpesta dan menghamburkan uang tak jelas.
“Kak!” panggil Sarah ketika kakaknya sudah melewati ambang pintu. Stephen menoleh dan tersenyum. Lelaki ini sebenarnya tampan jika saja tidak terlalu kurus sehingga cekungan pipinya kelihatan.
“Kenapa? Nggak jadi istirahatnya?” goda Stephen sambil menyandarkan diri di kusen pintu.
Sarah duduk bersila di kasur dan memandangi kakak satu-satunya itu. Stephen duduk di sebelahnya, menunggu hingga adiknya mau bicara sendiri. Mereka dua bersaudara yang sangat dekat karena kedua orang tua mereka sibuk. Meski Stephen sudah tinggal terpisah, dia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi adiknya.
“Kakak nggak berniat kembali ke rumah?” tanya Sarah memulai percakapan. Dia rindu masa-masa Stephen dan dirinya berdua saja di rumah. Waktu itu Stephen masih lelaki baik yang tidak suka keluar malam.
“Memangnya kenapa? Kakak, kan sering datang ke sini kalau nggak banyak kerjaan.”
“Semua ini gara-gara Kak Gio, kan? Sejak Kakak kenal dia, Kakak selalu memberontak,” katanya bersungut.
Stephen membelai rambut adiknya lembut. Dia paling suka kalau melihatnya merajuk. Dan dia tidak heran dengan tuduhan-tuduhan adiknya soal Gio. Karena itu benar adanya. Stephen mengenal segala hal yang berbau dunia malam sejak bersama Gio. Lelaki itu mengubah cara pandangnya soal dunia.
“Kenapa salahkan dia? Apa yang Kakak lakukan itu menjadi tanggung jawab Kakak. Bukan tanggung jawab siapa pun. Kamu nggak bisa membenci Gio karena dia membuat Kakak seperti sekarang. Hidup Gio tidak seindah kelihatannya.”
“Whaterver. Aku tetap nggak suka sama dia. Karena dia Kakak jadi menjauh,” Sarah memalingkan wajahnya dan bibirnya mengerucut.
Stephen membelai kepala gadis itu lalu merangkulnya. Mereka dulu saling menguatkan dalam kesepian. Mungkin adiknya ini merasa sendirian sekarang. Pulang ke rumah dan hanya menemui perabot dan para pelayan yang sibuk dengan urusan masing-masing. Sementara orang tua mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing. Stephen tidak bisa menyalahkan adiknya.
“Kamu, kan punya sahabat yang baik-baik. Kamu juga bisa seperti Kakak, menghabiskan waktu dengan mereka.”
“Aku lagi marahan sama mereka.”
Stephen tergelak. Di pikirannya marahan itu hanya untuk anak TK atau SD. Ternyata anak remaja bisa juga musuhan.
“Masa musuhan lama-lama. Nanti juga kalian pasti baikan.”
Sarah memukul tangan kakaknya. “Kakak, ih. Kami bukan anak TK yang sebentar musuhan sebentar baikan. Ini seperti Papi Mami kalau habis berantem. Nggak teguran berhari-hari. Malah Papi kadang nggak pulang ke rumah.”
“Tapi katanya sahabat. Masa nggak bisa memaafkan?”
“Aku melakukan kesalahan besar, Kak. Dan sepertinya nggak termaafkan,” ujar Sarah sedih. Dia menundukkan kepala dan mengingat kembali sorot kemarahan di mata Val. Sahabatnya itu memendam kesedihan mendalam yang disebabkan olehnya.
“Nanti juga kalian baikan.”
“Dia juga bilang begitu. Dia minta waktu dan menyuruh aku menunggu sampai dia memaafkan dengan sendirinya.”
“Emang kamu salah apa, sih? Kok, kayaknya berat banget?”
Sarah mengedikkan bahu. “Kalau aku jelasin juga, Kakak nggak bakal paham.”
Stephen mengelus bahu adiknya. “Ya, cerita aja. Seenggaknya perasaanmu lebih plong.”
Sarah menoleh dan menatap wajah kakaknya. Sebenarnya ini untuk pancingan supaya bisa menggali tentang Gio lebih banyak. Sarah curiga karena kemunculan Gio berdekatan waktunya dengan malam saat dia meninggalkan Val. Jangan-jangan yang dialami Val malam itu memang ada hubungannya dengan Gio.
“Ingat waktu Papi sama Mami bertengkar lagi?” tanyanya. Stephen mengangguk.
Itu malam yang membuatnya lepas kendali. Karena pada malam itu dia pulang dan mendapati kedua orang tuanya bertengkar hebat. Lalu dia berteriak kepada mereka berdua dan meninggalkan mereka untuk mabuk-mabukkan. Stephen mengernyit membayangkan yang sudah dia dan kedua sahabatnya lakukan pada seseorang.
“Malam itu aku, kan lagi kerja kelompok di perpustakaan. Kakak pasti nggak tahu kalau ada teman-teman aku di sana. Ika dan Val.”
Stephen membatu dan memandang wajah adiknya. “Mereka dengar pertengkaran papi sama mami?”
Sarah mengangguk. “Tapi bukan itu yang mau aku omongin. Mereka bisa mengerti. Cuma gara-gara kesal sama papi mami, aku jadi uring-uringan sendiri. Terus aku memaksa udahan negerjain tugasnya. Terus aku antar Val pulang karena dia nggak bisa hubungin papanya. Dan ….”
“Dan apa?” Suara Stephen sedikit tercekat ingin mendengar kelanjutan cerita adiknya itu.
“Hei, kalian berdua di sini? Katanya mau makan. Mami tungguin, kok lama sekali turunnya.” Wanita separuh abad yang masih sangat menarik itu muncul di ambang pintu.
“Mami ganggu aja, lagi seru, nih cerita Sarah. Udah sana Mami ke bawah lagi!” usir Stephen. Dia tidak sabar untuk mendengar kelanjutan cerita adiknya.
“Lho, kok, jadi Mami yang salah? Emang Sarah cerita apaan?” Mami bukannya keluar malah masuk ke dalam kamar dan menarik kursi belajar Sarah lalu duduk.
Sarah yang malas bercerita karena ini ada kaitannya dengan Mami, bergegas berdiri dan menarik tangan kakaknya.
“Udah, nanti aja lanjutin ceritanya. Yuk, kita makan saja. Tiba-tiba perut Sarah lapar.”
Stephen mendesah kecewa. Dia sangat penasaran sekali dengan cerita Sarah. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Terbayang terus gadis seumuran adiknya yang pernah mereka nodai ramai-ramai.
Bagaimana nasib dia sekarang, ya? pikir Stephen. []
================
©elopurs – 2021