3. Tak Sungkan Kasar pada Wanita

1439 Kata
Darren membuka matanya perlahan saat sama sekali tak mendengar suara tembakan padahal, ia melihat Lova menarik pelatuk senjata di tangannya. Sementara itu, Lova dibuat terkejut karenanya. Kenapa senjata itu tidak bekerja? Ia terus menarik pelatuknya berulang kali tapi tetap sama, tidak ada sesuatu yang keluar dari benda di tangannya. Darren memberanikan diri melihat apa yang terjadi, dan melihat Lova seperti orang bodoh dengan terus mencoba menembaknya tanpa ada hasil, ia pun tertawa keras. “Ha, haha … hahaha!” Darren tertawa lebar sambil menunjuk Lova. “kau mengancamku dengan pistol mainan? Hahaha! Kau benar-benar gila! Hahaha!” Kelakar tawa Darren terus bergema, mendengung di telinga Lova. Pria itu seperti tak sadar bahwa dirinya sudah mengompol karena ketakutan. Tiba-tiba Zegan berjalan keluar dari dalam rumah dan berdiri di sebelah Lova. Sontak, hal itu menghentikan tawa Darren seketika. Darren mengerutkan dahi menatap pria berwajah tampan yang berdiri menjulang di depannya. Ia bertanya-tanya, siapa? “Siapa ka–” Belum sempat Darren selesai bicara, sebuah pukulan keras mendarat di wajahnya. Zegan memberinya bogem mentah tepat di tengah wajah dan sepertinya, pukulannya itu berhasil membuat hidung Darren patah. Beberapa saat kemudian, Lova telah berada di sebuah pusat perbelanjaan bersama Zegan. Ia tampak ceria dan bersemangat memilihkan baju untuk pria itu. “Hm, ini terlalu tua,” ucap Lova saat menempelkan baju yang ia ambil pada Zegan. Ia kemudian mengembalikannya dan mengambil baju lainnya di gantungan dan kembali menempelkannya pada Zegan. “hm, kurasa ini cocok,” ucapnya kemudian melempar baju itu pada Zegan untuk ia coba. Zegan tak berhenti menatap punggung Lova yang kembali memilih baju untuknya. “Sepertinya dia sudah tak waras,” batin Zegan. Setelah apa yang Zegan lakukan yakni membuat Darren pingsan hanya dengan satu pukulan, Lova menjadi seperti tante-tante girang. Wanita itu menuruti permintaannya yang meminta baju padahal sebelumnya wanita itu tampak enggan dan menolak dengan tegas. Lova bersenandung kecil saat memilih baju di antara banyaknya baju yang tergantung untuk Zegan. Ia merasa begitu puas dan senang Zegan sudah membantunya memberi Darren pelajaran. Melihat Darren terkapar membuatnya ingin terus tertawa. Ia bahkan dengan sengaja mengambil foto Darren yang menyedihkan itu di mana celananya basah karena ompol dan wajahnya tampak jelek dengan darah mengalir dari hidung. Beberapa saat setelahnya, Lova dan Zegan duduk di sebuah restoran setelah selesai belanja. Lova membelikan beberapa pasang baju untuk Zegan dan saat ini mentraktirnya. “Hah … kenyangnya ….” Lova menepuk perutnya yang sedikit buncit karena terlalu banyak makan dan kekenyangan. Ia makan sangat banyak sebagai pelampiasan rasa senangnya. Zegan mengakhiri makan siangnya dengan tenang. Ia bahkan membersihkan area mulutnya setelah selesai makan seperti seorang bangsawan. “Oh, ya, aku sampai lupa. Jadi, sejak awal senjata itu benar-benar kosong?” tanya Lova tiba-tiba. Ia hampir ingin menangis saat Darren menertawakannya saat pistol di tangannya tak berfungsi. “Menurutmu?” jawab Zegan seperti enggan menjawab karena sudah memberitahu Lova sebelumnya. Sejak awal pistolnya memang kosong tanpa peluru. Ia membawanya hanya untuk berjaga-jaga serta menggunakannya untuk mengancam Lova agar mau menurut. Lova memutar bola mata malas sambil menghela napas. “Tahu begitu aku tak akan menurut saat kau mengancamku.” Lova mengambil gelas minumnya dan menyedot jus jeruknya hingga tandas sambil memperhatikan Zegan dan tampak berpikir. Tanpa meletakkan kembali gelasnya ke atas meja, ia bertanya, “Apa kau … benar-benar mafia? Maksudku, mafia di film-film adalah orang kaya. Tapi kau, uang untuk membeli baju saja tak punya. Aku juga tidak melihat ada tato satu pun di tubuhmu.” Zegan menatap Lova dalam diam. Tidak semua pertanyaan Lova harus ia jawab. Ia punya alasan sendiri kenapa memilih pergi dari kota asalnya tanpa membawa apapun selain senjata untuk berjaga-jaga. Dan untuk tato, apa Lova pikir dirinya Yakuza? “Ada yang perlu dan tidak perlu kau tahu.” Pada akhirnya hanya itu jawaban yang Zegan berikan. Lova akhirnya diam, dalam hati ia ragu Zegan adalah mafia seperti yang dikatakannya. Bisa saja pria itu adalah buronan atau seorang penipu. Lova meletakkan gelasnya ke atas meja dan mengatakan, “Sebelumnya, terima kasih sudah membuat pria b******k itu hampir sekarat dan juga … mengenai semalam. Aku sudah membelikanmu baju jadi, setelah ini kau akan pergi dari rumahku, kan? Aku juga akan memberimu sedikit uang sebagai bekal.” Lova mengambil beberapa lembar uang dari dalam tas selempangnya dan meletakkannya di atas meja di depan Zegan. Ia tidak begitu takut dengan pria itu sekarang karena nyatanya, sampai detik ini ia masih hidup dan Zegan juga telah membantunya memberi Darren pelajaran. Zegan menatap lembaran uang di atas meja kemudian kembali menatap Lova. “Sudah kukatakan. Aku tinggal di rumahmu sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.” “Apa? Kenapa begitu?!” “Jangan banyak bicara. Aku bisa saja berbuat kasar sebelum kau berteriak meminta pertolongan.” Tepat setelah mengatakan itu, tiba-tiba saja seseorang menghentikan langkahnya di depan meja Lova dan Zegan. “Eh? Lova? Kau di sini?” ucap wanita itu sambil menunjuk Lova. Perhatiannya kemudian mengarah pada Zegan sekilas. “Sialan, siapa pria tampan ini?” batinnya. Alis Lova sedikit berkerut menatap wanita di depannya itu. Dia adalah teman satu kantor Lova bernama Flo. “Bukannya Darren di rumah sakit sekarang? Kenapa kau justru di sini dengan pria lain, Lova?” ucap Flo kemudian menunjukkan layar ponselnya. “lihat, ini pacarmu, kan? Harusnya kau kan menemaninya. Ck, ck, pacar macam apa kau ini?” desahnya seperti sengaja mendramatisir keadaan. Lova berusaha bersabar. Sebenarnya ia enggan bicara dengan Flo. Semua orang sudah tahu seperti apa wanita itu, dia adalah ratu gosip, banyak bicara, cerewet dan selalu ingin tahu urusan orang lain. “Kami sudah putus,” ucap Lova setelah menghela napas panjang. “What?” Flo menutup mulut seakan begitu terkejut. “kau serius? Tapi, kenapa? Apa jangan-jangan … karena kau selingkuh dengan pria ini?” ucapnya kembali seraya melirik Zegan. Zegan tetap diam, duduk dengan tenang bahkan seakan tak mendengarkan apa yang Flo bicarakan sedari tadi. Lova terdiam sejenak, tiba-tiba saja ia teringat ucapan Darren jika selama ini dirinya dijadikan bahan guyonan, disebut perawan tua dan ia yakin Flo juga membicarakan dirinya seperti itu di belakangnya. Merasa kesal, ia menyeret kursi ke arah kursi Zegan dan merangkulnya. “Bukan dia, tapi Darren lah yang jadi selingkuhan. Dia ini pacarku. Bukan begitu?” Lova menatap Zegan seolah memberinya isyarat agar Zegan mengangguk dan mengaku sebagai kekasihnya. Namun, Zegan hanya diam, hanya membalas tatapan Lova dengan tatapan datar. Melihat itu, Lova menarik tangan Zegan lalu ia berbisik di telinganya, “katakan kau pacarku maka kau boleh tinggal di rumahku sampai kapanpun kau mau.” Zegan terdiam sejenak hingga akhirnya ia mengangguk saat Lova mengambil jarak setelah berbisik di telinga. Flo menarik napas dan melotot. Ia seakan tak percaya. “Wow, sungguh? Apa kau serius? Ini bisa jadi gosip terpanas di kantor, Lova. Ya ampun, kenapa aku baru tahu?” Ia kemudian duduk di kursi kosong sebelah Lova dan mencercanya dengan banyak pertanyaan seperti seorang wartawan. “Jadi, sejak kapan kalian pacaran? Oh, ya, apa Darren tahu? Ya ampun, padahal dia sudah percaya diri sekali tentang taruhan itu. Ops!” Flo segera menutup mulut. Entah ia keceplosan atau memang sengaja pura-pura keceplosan. Alis Lova berkerut tajam. “Apa maksudmu?” tanyanya. “Ops, sorry, Lova. Sebenarnya Darren taruhan dengan temannya, siapa yang bisa menidurimu. Soalnya, katanya kau kan masih perawan,” ujar Flo tanpa rasa segan atau bersalah seakan hal itu sama sekali tak membuat Lova sakit hati. “sebenarnya banyak orang kantor yang sudah tahu, sih. Yah, tapi semuanya memilih diam dan menunggu siapa yang menang. Semua orang kira Darren yang menang, soalnya dia yang jadi pacarmu.” Lova tak mengerti kenapa orang-orang memiliki hati yang busuk. Apa mereka pikir dirinya tak punya hati? Menjadikan dirinya bahan taruhan? Pantas saja sejak ia menjalin hubungan dengan Darren, ia melihat tatapan orang-orang di kantor mulai aneh padanya. “Aku tak mengira, jadi selama ini orang-orang menertawakanku? Kiranya, kesalahan apa.yang sudah kulakukan pada mereka?” Zegan melirik Lova yang setengah tertunduk saat mengatakan itu. Ia tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi tapi, ia tahu Lova sedang jadi bahan bully di kalangan teman kerjanya sendiri. Tiba-tiba Flo tertawa dan mengatakan, “Ya ampun, Lova, jangan sedih begitu. Harusnya kau senang, kan, kau itu terkenal loh di kantor. Apa kau tahu? Orang-orang selalu membicarakanmu. Mereka kepo dengan hubunganmu dan Darren, apa dia sudah tidur denganmu atau belum.” Flo mencondongkan tubuhnya ke depan, ke arah Lova dan mengatakan sesuatu dengan suara pelan tapi seolah sengaja tetap membuat Zegan mendengar. “Jadi, apa kalian sudah tidur bersama?” Tiba-tiba Zegan bangkit dari duduknya dan tanpa mengatakan apapun, membenturkan kepala Flo ke meja dengan keras. “Tidak peduli pria atau wanita, aku akan menghajarnya jika mulut busuknya terus bicara.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN