4. Sekamar

1336 Kata
Lova menutup mulut dengan mata melebar melihat pemandangan di depan mata di mana Zegan terus menekan kepala Flo padahal wanita itu tak bergerak. Dia pingsan. Seluruh pasang mata mengarah pandangan ke arah meja Lova. Beberapa di antaranya sampai menganga melihat kejadian yang baru saja terjadi. Lova menatap Zegan dengan pandangan tak terbaca seakan terkejut, takut, dan tak mengira pria itu bisa berbuat itu pada seorang wanita. Tak lama setelah itu, Lova dan Zegan telah berada di sebuah klinik tak jauh dari restoran sebelumnya. Lova membawa Flo ke sana untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Zegan. “Kuharap dia tidak melaporkanmu ke polisi,” ucap Lova sambil memijit pangkal hidungnya dan terlihat frustasi. Zegan hanya diam sambil melirik Lova yang duduk di sebelahnya. Ia kehilangan kesabaran karena wanita itu benar-benar cerewet hingga membuat telinganya berdengung. Selain itu ia ingin menunjukkan pada Lova bahwa ia tak akan segan berbuat kasar pada wanita sekalipun agar Lova menurut. Tak lama kemudian, Flo keluar dari ruangan dokter dengan jidat yang tampak memar. Ia sadar tak lama setelah dibawa ke sana dan setelah merasa lebih baik setelah mendapat penanganan dokter, ia memutuskan untuk pulang tanpa tahu Lova dan Zegan masih menunggu di luar. Flo bergidik dengan tubuh gemetar saat melihat Zegan. Ia sampai tak memperhatikan bahwa Lova menghampirinya. “Flo … bagaimana keadaanmu? Soal yang tadi aku–” Flo menatap Lova dengan wajah suram. “Pacarmu benar-benar mengerikan,” ucapnya dengan suara bergetar. Lova mengusap tengkuk yang terasa berat. “Ma- maaf, dia–” “Ehm.” Flo makin bergidik seperti kucing takut dengan air saat Zegan berdiri di belakang Lova dan berdehem seolah sengaja. Lova menoleh dan menemukan Zegan dengan sorot mata dan raut wajah yang suram. Ia ingin menyuruh Zegan meminta maaf tapi, sebelum itu Flo telah kabur lebih dulu. “Jauhkan pacar gilamu dariku, Lova!” teriak Flo sambil lari sempoyongan. “Tu- tunggu!” panggil Lova dengan tangan terulur seakan tangannya mampu mencegah Flo pergi. Zegan menepis ke bawah tangan Lova yang terulur dan mengatakan, “Biarkan saja.” Lova menatap Zegan dengan mata berkaca-kaca. Bagaimana bisa dirinya membiarkannya? Flo pasti akan menyebar masalah ini di kantor besok. Rasanya, itu lebih mengerikan dibanding harus berurusan dengan polisi. Lova ingin menangis, ah, tidak, dia sudah menangis dan merasa frustasi. Sebelumnya ia senang saat Zegan memberi Darren pelajaran dan saat membuat Flo diam, ia juga puas tapi, tak dipungkiri ia juga merasa terkejut dan takut atas tindakan pria yang mengaku sebagai mafia itu. *** Lova berjalan mondar-mandir di ruang tengah dan sesekali memijit kepala. Ia sedang memikirkan cara agar Zegan pergi dari rumahnya tanpa membuat pria itu melakukan sesuatu padanya. Teringat apa yang Zegan lakukan pada Flo sebelumnya membuatnya berpikir bisa saja Zegan juga melakukan itu padanya. Alis Zegan berkerut melihat apa yang Lova lakukan. Ia berdiri di ambang pintu dapur, menyandarkan tubuhnya pada kusen sambil memakan sebuah apel. Zegan mengambil langkah, berjalan menghampiri Lova dan berkata, “Apa yang kau lakukan?” “Sedang memikirkan cara untuk mengusirmu.” Tanpa sadar Lova mengatakan apa yang tengah ia pikirkan. Terlalu memikirkan masalah Zegan membuatnya sampai tak sadar pria itu lah yang bicara. Lova menghentikan langkahnya saat berhadapan dengan Zegan. Ia menutup mulut dengan mata melebar seakan baru sadar apa yang sudah ia katakan. Zegan menatap Lova dengan raut wajahnya yang datar. Ia kemudian melangkah maju membuat Lova melangkah mundur tanpa menurunkan tangan yang menutup mulut. Langkah Lova terhenti saat bokongnya menabrak meja tv. Tap! Zegan mengurung Lova, menahannya agar tak melarikan diri. Kedua tangannya berada di sisi kanan dan kiri tubuh Lova menekan tepi meja. Zegan mencondongkan tubuhnya ke depan membuat wajahnya dan wajah Lova begitu dekat. “Semakin kau ingin mengusirku, semakin aku ingin tetap tinggal di sini. Kenapa kau tak belajar dari apa yang terjadi tadi? Harusnya kau bersyukur sampai detik ini kau masih bisa menghirup oksigen. Jika berani macam-macam, aku tak segan melakukan sesuatu padamu. Meski kau berhasil mengusirku, aku akan kembali dan terus mengganggu hidupmu, selamanya.” ‘Selamanya … selamanya … selamanya ….’ Kata selamanya seolah terus mendengung di telinga Lova dan membuatnya kian pucat. Kata-kata yang Zegan ucapkan seakan tertanam di kepala membuatnya hanya mengangguk sebagai tanda mengerti dan paham. Jika sebelumnya ia bisa bersikap ramah pada Zegan, bicara seperti seorang teman bahkan tak segan menunjukkan kejengkelan, rasanya ia tak berani lagi melakukan itu mengingat Zegan bisa sangat berbahaya. Zegan tersenyum tipis. Ia kemudian mengambil jarak, melepaskan Lova dari kurungannya. “Selain itu, bagaimana dengan janjimu?” Lova tercenung sesaat. Janji? Janji apa? Sampai ia teringat ucapannya pada Zegan, menyuruh pria itu mengaku sebagai kekasihnya dengan imbalan dia bisa tinggal di rumahnya sampai kapanpun ia mau. Mata Lova melotot, bagaimana bisa ia melupakannya? Bagaimana bisa dirinya dengan bodoh mengatakannya? Demi apapun, rasanya Lova ingin mengubur diri hidup-hidup. Tak terasa hari menjelang malam dan lagi-lagi Lova tampak gelisah. Ia menatap Zegan yang duduk di ranjang memangku laptop miliknya. Entah apa yang pria itu kerjakan tapi, dia tampak serius. Tanpa dirasa Lova terus memperhatikan pria itu hingga timbul pikiran aneh dalam kepala, Zegan terlihat begitu berwibawa seperti seorang bos yang tengah serius mengerjakan pekerjaannya. Ketampanan pria itu juga di atas rata-rata begitu juga bentuk tubuhnya. Pria itu benar-benar panas. Lova menggeleng cepat saat pikiran aneh merasuki kepala. Ia berusaha sadar bahwa pria tampan yang saat ini terlihat seperti bos besar, adalah pria jahat yang mengancam nyawanya. Tak ingin pikiran aneh lainnya merasuk pikiran, ia memutuskan pergi dari sana. Lova yang sedari tadi duduk di kursi meja rias, bangkit dari duduknya dan mengambil langkah menuju tempat tidur. “Kau tidur di sini. Aku akan tidur di luar,” ucap Lova seraya mengambil bantal dan guling miliknya. Perhatian Zegan teralihkan sekilas. Ia menutup laptop di pangkuannya kemudian menatap Lova. “Tidak. Kita tidur di sini.” Hening. Suasana begitu hening setelah Zegan mengatakan kalimat itu. Lova terdiam selama beberapa saat hingga tiba-tiba matanya melebar saat baru tersadar. “Tunggu, apa maksudmu kita?” tanya Lova dengan kerutan dahi samar. Ia sama sekali tak mengira Zegan akan memberinya jawaban demikian. “Aku tak mau mengambil resiko kau melakukan sesuatu saat aku tidur.” Lova mengeratkan pelukan pada bantal dan guling kesayangannya. “Bukankah itu justru berlaku jika kita tidur bersama?!” Zegan terdiam sejenak lalu mengatakan, “Aku tak ingin mengambil resiko kau kabur dan memanggil warga. Atau, pergi ke kantor polisi dan membawa mereka ke sini. Atau mungkin, kau akan membakarku hidup-hidup di sini.” Lova menatap Zegan dengan pandangan tak percaya. Bagaimana bisa Zegan berpikir sejauh itu? Mana mungkin ia membakar rumahnya sendiri? Satu-satunya tempat tinggal pemberian orang tuanya? “Baiklah, aku mungkin bisa melakukan dua hal yang kau katakan tadi tapi, membakarmu? Hei, apa kau pikir aku gila? Mana mungkin aku membakar rumahku sendiri? Selain itu, jika aku berniat lapor polisi, aku bisa melakukannya sejak tadi pagi. Apa kau kira aku manusia purba yang tidak punya alat komunikasi?” cerocos Lova yang kembali lupa bahwa sebelumnya Zegan berhasil membuatnya ketakutan. Zegan turun dari ranjang kemudian melangkah menuju kamar mandi. “Anggap saja aku percaya padamu,” ucapnya sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Lova menatap pintu kamar mandi yang telah tertutup dengan pandangan aneh. Ia tidak tahu apa maksud Zegan dan tiba-tiba pria itu pergi begitu saja. “Terserah,” ucap Lova kemudian mengambil langkah melanjutkan niatnya pergi dari kamar. Ia tidak mau ambil resiko Zegan berbuat iya-iya padanya jika mereka tidur bersama dalam satu ruangan. Meski semalam Zegan tak berbuat apapun, ia tetap tidak bisa tenang. Saat hendak membuka pintu, Lova terkejut karena pintunya terkunci. “Eh? Terkunci?” gumam Lova sambil terus berusaha membuka pintu kamarnya. Namun, hasilnya nihil. “apa mungkin macet?” batinnya dan terus menekan gagang pintu berulang kali hingga ia merasa lelah. Seingatnya ia tidak mengunci pintu kamarnya. Sementara itu, Zegan keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang melilit pinggang. Tubuhnya masih basah, begitu juga rambutnya. Ia baru selesai mandi. Tiba-tiba senyum miring Zegan terukir melihat Lova berusaha membuka pintu. Mengambil kunci yang ia sembunyikan, suaranya pun terdengar sambil menenteng kunci kamar di tangan. “Mencari ini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN