17 | Selamat

1008 Kata
Akhirnya tanda S.O.S yang dibuat selesai juga, mereka juga telah membuat bakar-bakaran agar menimbulkan asap tebal yang terbang ke udara. Jika diperhatikan, Nino semakin tampak pucat. Dia memang masih tertawa-tawa meningkahi lelucon yang dilontarkan Adrian, tapi sesekali dia kelihatan meringis kesakitan. "Alden kayaknya nggak bisa bertahan lama. Apa lagi yang bisa kita lakukan biar mereka segera menemukan Alden, Pa?" tanya Eliza, sedetik pun tak pernah bisa berhenti mencemaskan keadaan Nino. Damar melihat ke sekililing, mencari-cari apa yang bisa dimanfaatkan. Semua yang ia tahu sudah ia lakukan. "Kita tunggu aja, Liz. Semoga hari ini nggak ada badai lagi." Damar mengusap punggung Eliza menenangkan. Meskipun langit saat ini cerah sekali, tidak ada yang bisa menjamin hari ini tidak akan terjadi badai. Damar lalu membimbing Eliza untuk bergabung dengan anak-anaknya yang di dekat batu karang. Melihat Eliza dan Damar mendekat, Nino lantas berdiri dari duduknya. "Terima kasih udah bantu saya," ujar Nino bersungguh-sungguh. Dengan satu tangan nyeri luar biasa dari pundak hingga telapak tangan akibat lukanya, Nino tidak yakin bisa membuat tanda-tanda itu sendirian. "Sama-sama. Kalau masih ada yang mau dibuat lagi, jangan sungkan bilang," balas Damar. Nino hanya menganggukkan kepala kecil. "Tentu saja, di sini nggak ada yang bisa dimintai tolong selain kalian berdua." "Kami nggak melakukan ini karena permintaan tolong, memang inilah yang seharusnya keluarga lakukan." "Ah iya ...," gumam Nino tak tahu harus menyikapi bagaimana, masih merasa aneh menempatkan diri sebagai bagian dari anggota keluarga Yunta yang serba aneh ini. Namun meski sempat kecewa pada keluarga ini, anehnya Nino senang berada di tengah-tengah mereka. Sesaat Nino lupa bagaimana mereka mengatai papanya sebagai seorang penjahat. "Ma, apa kita bisa makan sekarang? Aku lapar," adu Adrian dengan wajah yang dibuat-buat kelaparan, padahal dia selalu menjadi orang yang paling banyak makan. "Iya, kita makan sekarang," jawab Eliza, lalu beralih menatap Nino. "Al—ah, maksudnya Nino, kamu juga harus makan kali ini karena tadi pagi kamu nggak makan sama sekali." "Oh, iya," jawab Nino asal, tak ingin menolak perhatian Eliza. Sesungguhnya ia masih belum berselera makan, malah kepalanya semakin pusing dan perutnya semakin mual jika dibandingkan dengan tadi pagi. "Mama, badan Adik panas," adu Anisya yang sedari tadi tak melepaskan tangannya menggandeng tangan Nino. "Benarkah?" tanya Eliza berlagak kaget padahal sebenarnya sepintas saja siapapun bisa melihat Nino sedang tidk sehat. Eliza mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak menyentuh Nino. Eliza merasa cukup hanya dengan memandangi Nino saja, ia tak ingin ambil resiko jika sampai kulitnya mereka bersentuhan, Eliza akan sulit mengendalikan emosi. "Ya udah, ayo pulang dulu untuk makan." Anisya menjadi yang pertama bergerak, dia melompat turun dari batu karang yang didudukinya lalu menyelipkan tangan mungilnya, menggandeng tangan kiri Nino. Sesaat Nino menunduk menatapnya dan seperti biasa, mendapati senyum manis Anisya. Membuat Nino tak kuasa untuk tersenyum juga, Anisya adalah adik manis yang siapapun akan ingin menjadi kakaknya. "Kita makan apa siang ini, Ma?" tanya Adrian sembari mulai jalan bersisihan dengan Alin. "Masih ada sisa ubi tadi pagi," jawab Eliza. "Hah? Ubi lah—" Perkataan Adrian tercekat lantaran Alin mencubit pahanya dan memberinya pelototan mata, isyarat agar dia diam saja. Adrian menghela napas, kali ini dalam tujuan berusaha mengerti. Seperti penjelasan papanya tadi, manusia tidak bisa makan makanan yang berasal dari dapur rumah keluarga Yunta. "Makanan terus ya yang ada di pikiranmu. Nggak ada bosan-bosannya, heran," dengus Alin sebal pada apapun yang dilakukan Adrian. "Makan itu kebutuhan." "Ck, kebutuhan apanya? Kita nggak akan mati walaupun nggak makan." "Kalau begitu kenapa kamu masih makan hah?" Nino sama sekali tak tak tahu apa yang Alin dan Adrian ributkan, di telinganya suara mereka tak terdengar jelas. Malah suara embusan angin lah yang terdengar keras, bersamaan dengan pandangannya mulai berkunang-kunang tak fokus. Kepalanya sangat pusing dan perutnya makin tak nyaman. Nino tanpa sadar meremas tangan Anisya di telapak tangannya, berusaha keras menahan diri agar tidak pingsan. "Adik," panggil Anisya disertai goncangan, dan Nino menyadari kakinya seolah tulang kakinya berubah jadi karet. Nino ambruk berlutut di pasir, ia tak jatuh karena ada seseorang yang menahan tubuhnya dari belakang. Nino memejamkan mata rapat, berusaha menjaga kesadaran di tengah kepanikan keluarga Yunta yang mengelilinginya. "Adik kenapa ... Adik kenapa," tangis Anisya tak mau dijauhkan dari Nino, sesaat setelah Nino jatuh dan dirinya ditarik mundur oleh Alin. "Aku nggak apa-apa," lirih Nino di saat dirinya tengah berada di ambang ketidakberdayaan. Eliza gemetaran melihat Nino ambruk seperti yang ia khawatirkan sejak tadi pagi. "Apanya yang enggak apa-apa," tangis Eliza, menarik kepala Nino bersandar di daadanya. Eliza menyentuh seluruh permukaan wajah Nino yang panas, sembari memohon dalam hati agar Nino dapat bertahan. "Pa, lakukan sesuatu, ini gimana? Mama nggak mau Alden meninggal." "Buka matamu, jangan tidur, Alden." Nino merasakan pipinya ditampar-tampar. "Adik, Adik ...." Semakin Nino memaksakan diri untuk membuka mata, semakin ia terdorong ke pusara gelap. Menyakitkan sekali. Beginikah akhirnya? tanya Nino dalam hati. Nino kini berada di titik pasrah. Jika pun Tuhan tidak mengizinkannya keluar dari sini dalam keadaan hidup-hidup, Nino harap papanya tidak akan terlalu sedih karena ia pergi tanpa pamit. Meski masih banyak hal yang belum kesampaian dan ingin Nino lakukan, setidaknya Nino meninggal membawa kenangan terakhir yang menyenangkan karena bisa mengenal dan bersama keluarga Yunta. Di saat kesadaran Nino makin menipis, Nino merasakan tubuhnya diterpa angin sangat kencang, lalu tubuhnya seperti diangkat dan melayang. Inikah akhir yang sesungguhnya? Suara teriakan Anisya dan tangisan Eliza masih dapat didengar Nino meski hanya samar-samar dan makin lama makin mengecil, tergantikan oleh suara-suara orang-orang asing saling sahut menyahut. Siapa mereka? Bukankah malaikat pencabut nyawa hanya satu? Nino berusaha memejamkan mata, tapi bukan langit yang dilihatnya pertama kali. Nino mengedip sangat lambat berusana mengenali tempatnya berada saat ini dan siapa orang-orang ini, mau dibawa ke mana dia? "Dia bangun, Nino bangun," seru suara seorang laki-laki, disusul dengan dia tepukan-tepukan di daada Nino. "Clevonino, kamu dengar suara saya? Clevonino?" Orang-orang ini bukan pasukan malaikat pencabut nyawa, melainkan tim penyelamat yang menyelamatkannya. Nino akan keluar dari pulau ini dalam keadaan hidup-hidup. Tiba-tiba menyadari sesuatu, Nino berusaha bangun namun Nino tak bisa bergerak karena daada pinggang dan kakinya terikat sesuatu. Nino terus berontak, ingin mencari keluarga Yunta. Tidak, Nino tidak bisa pergi begitu saja. Ia belum mengucapkan selamat tinggal pada mereka. "Nino, tenanglah. Kamu sekarang aman," ujar orang di sebelah Nino sambil terus menahan kedua pundak Nino. "Kamu selamat. Kita sedang di helikopter, sebentar lagi kamu akan bertemu dengan papamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN