Benar saja, badai yang menerjang selama semalam penuh membuat tanda-tanda pertolongan yang dibuat Nino rusak porak poranda. Namun untungnya Nino tak membereskan semua itu sendiri, tidak juga dengan dibantu Anisya saja, kali ini seluruh anggota keluarga Yunta membantunya. Damar, Eliza, Alin, Adrian, dan Anisya membantunya membereskan tanda-tanda itu. Malahan Nino lah yang nyaris tidak melakukan apa-apa, bak mandor mengasi pekerjanya bekerja.
Mereka semua menyuruh Nino diam aja, mengingat tadi pagi ia bangun dalam keadaan demam. Ditambah lagi, luka di tangannya tampak semakin parah. Melihat dari kedalamannya, luka itu butuh jahitan, kalau hanya dibebat dengan kain malah membuat Nino takut kena infeksi.
Melihat keluarga Yunta bahu membahu membantunya, entah mengapa keinginan Nino untuk pulang tak lagi semenggebu kemarin-kemarin. Nino tahu perasaan nyaman ini tidak bisa dibiarkan, bagaimana pun juga ia harus berpikir bagaimana caranya bia pulang. Pulang ke rumah dan keluarganya yang seungguhnya. sebaik apapun keluarga Yunta memperlakukannya, keluarga ini tetap bukan keluarganya.
"Adik, sakit sekali, ya?" Anisya menangkap basah saat Nino tengah memejam lantaran pandangannya mendadak berbayang, seperti hendak pingsan.
Nino menggeleng, masih dengan mata memejam dan berusaha menahan pusing. Nino masih berusaha mengumpulkan tenaga untuk menjaab dirinya baik-baik saja, namun keduluan Anisya berteriak.
"Mama, Papa, Adik sakit!"
"Anisya." Nino menangkap pergelangan tangan Anisya, tepat saat bocah itu hendak berlari menyusul orangtua dan kedua kakaknya mengumpulkan daun di pinggir pantai. "Aku nggak apa-apa."
Anisya menatap Nino ragu-ragu bercampur cemas. "Beneran, Adik nggak sakit?"
"Sakit sedikit, tapi nggak apa-apa. Makanya kamu di sini aja, temani aku. Oke?"
Anisya menatap Nino sesaat penuh selidik, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Oke, deh," jawabnya, lalu kembali merangkak duduk di atas baru karang besar dekat bibir pantai yang tengah Nino duduki. "Nanti kalau Adik sakit, bilang. Oke?"
Nino tertawa kecil, hampir merasa dirinya lah yang anak kecil. "Oke, Kakak Anisya."
Anisya tersenyum lebar mendengar namanya dipanggil dengan benar.
***
Damar, Eliza, serta Alin dan Adrian dengan kompak mengumpulkan daun-daun yang akan digunakan untuk membuat tanda pertolongan. Mereka melakukan semua itu dengan perasaan miris, ini sama artinya dengan mereka menyiapkan kepergian Alden di saat baru tadi malam mereka merasakan ketutuhan sesungguhnya keluarga mereka sampai-sampai mereka enggan tidur karena tak ingin kebersamaan itu cepat berakhir.
Alin berdecak kesal melihat Adrian bukannya kerja, malah bengong di bawah pohon. "Heh, Gendut, kamu tidur sambil berdiri, ya?" Teguran Alin menyentak Adrian.
"Ck, aku ini sedang mikir, tahu!" decak Adrian kesal.
"Mikir apaan? Kayak manusia aja, banyak pikiran."
"Aku lagi mikir, seandainya Nino meninggal di sini, mungkin nggak arwah dia juga akan tertinggal di sini sama kayak kita?" tanyanya. "Bukankah dengan begitu Nino nggak perlu pergi. Dia nggak akan menua dan bisa hidup abadi sama kayak kita?
"Dari mana kamu yakin kalau arwah dia akan tinggal kalau dia meninggal di sini?" balas Damar tanpa menghentikan kegiatammya. "Kita saja nggak tahu mengapa kita tersesat di alam manusia dan ditempatkan di pulau kosong ini."
"Lalu memangnya apa yang akan terjadi, Pa, kalau Nino hidup di sini sebagai manusia? Nanti kan kita bisa jelaskan alasan mengapa dia terus menua, sementara kita enggak. Kita beri tahu juga kalau dia sebenarnya adalah Alden. Mungkin dia akan kaget, tapi lama-lama pasti akan mengerti."
"Nggak bisa, nggak akan ada manusia yang bisa bertahan di alam bebas seperti di sini." Damar menghentikan sejenak kegiatannya, hanya untuk memberi penjelasan pada Adrian. "Kamu tahu kenapa tadi malam kita makan pisang dan tadi pagi kita makan ubi liar?"
Adrian menggeleng tak tahu.
"Karena makanan itulah yang nyata di dunia manusia. Nino tidak terluka saat ditusuk pisau karena bagi manusia, pisau yang ditusukkan Alin itu nggak ada. Sekarang dia terluka karena tergores benda yang ada di dunia manusia."
"Tapi biasanya dia makan makanan kita kan. Lalu itu artinya apa?"
"Nggak ada arti apa-apa. Dia cuma bisa melihat kita, tapi tidak hidup seperti kita. Kalau dia makan makanan dari dapur kita terus, bisa-bisa dia meninggal."
"Nah, sekarang itu yang membuat aku bingung. Kalaupun Nino tetap nggak bisa tinggal di sini, apa mengapa Papa mengirim dia kembali jadi anak Abrawan yang jahat, daripada mengirim ke pangkuan Tuhan."
"Setidaknya, Abrawan baik ke Alden," sambung Eliza, memberi anak keduanya itu senyuman lemah yang menyiratkan secuil miris. "Alden harus hidup dengan bahagia dan meninggal dengan wajar di umur maksimal manusia bisa hidup. Cukup kita saja yang mengalami kehidupan abadi yang entah di mana ujungnya ini."
Bibir Adrian mengatup, tak memiliki apa-apa lagi untuk ditanyakan. Kini telah sepenuhnya mengerti mengapa kedua orangtuanya tak ingin Nino lebih lama di sini.
"Sepertinya sudah cukup. Ayo, kita bawa ke pantai." Eliza mengawali langkah membawa serumpun sedaunan di pelukannya menuju pantai, tempat Nino dan Anisya sedang menunggu mereka, disusul oleh Damar di belajangnya.
"Kamu, sih, bikin Mama sedih lagi," bisik Alin setengah mengeram.
Adrian mengembuskan napas lemah. "Aku kan tanya siapa tahu ada cara biar Alden nggak pergi."
"Mama sama Papa udah mikirin semuanya. Apa yang jadi keputusan mereka, pasti udah yang terbaik buat kita semua."
"Iya," jawab Adrian pasrah dan diliputi sedikit sesal. Ia lantas meraup sisa daun yang belum terbawa oleh orangtuanya dan Alin, lalu berlari-lari kecil agar tak tertinggal jauh dari Alin.
***
Kaca mata hitam yang bertengger di pangkal hidung Arman Armawan membuat pria tua itu tampak gagah dan menguarkan aura wibawa. Di kanan kirinya ada para petinggi pangkalan militer yang mendampinginya memantau langsung persiapan keberangkatan helikopter militer menuju lokasi tempat tanda permintaan tolong berhasil tertangkap oleh satelit. Abrawan menolak saat diminta menunggu saja di istana, ia ingin memastikan sendiri semua orang bekerja untuk menemukan putranya.
"Lapor, helikopter siap berangkat."
"Lanjutkan."
Sang komandan memberi hormat lagi, sebelum balik badan melaksanakan perintah.
Usai melihat sendiri helikoper itu terbang, Abrawan menyempatkan diri untuk menyapa keluarga para korban yang belum ditemukan. Setiap hari mereka menunggu di posko crisis centre. Abrawan menolak meladeni wawancara dari para wartawan yang berdesakan, dia menyentuh hati mereka semua dengan duduk bersama di tempat yang disediakan dan mengatakan kedatangannya bukan sebagai presiden melainkan sebagai keluarga korban.
Saat Abrawan sedang berbincang penuh empati dengan beberapa orang keluarga korban, tiba-tiba seorang pria asing melemparinya sebungkus nasi. Sontak saja suasana yang semula tenang menjadi heboh. Paspampres dengan sigap langsung meringkus pria tersebut.
"Ini adalah karma! Abarawan anaknya mati karena salahnya sendiri," teriak pria itu masih terdengar jelas meski suasana riuh oleh teriakan dan suara jepretan kamera wartawan. Sekuat tenaga pria paruh baya itu menahan saat tubuhnya ditarik oleh para pengawal khusus presiden tersebut. Dengan wajah merah dan otot-otot tertarik emosional, pria itu kembali teriak. "Abrawan makan uang korban bencana banjir tahun 2000. Ribuan orang meninggal bukan karena tenggelam, tapi karena hak mereka dikorupsi oleh Abrawan! Semua orang dibiarkan mati kelaparan dan kedinginan, padahal pusat sudah ngasih bantuan. Anakmu pantas mati!"
Sorot mata Abrawan berubah, tepat sesaat setelah kalimat terakhir pria itu. Abrawan menatapnya, memotret dalam ingatan orang yang berani-beraninya menyumpahi Nino mati dan mempermalukan dirinya. Pria itu terus merancau sampai dia hilang dari jarak pandang Armawan lantaran diamankan oleh petugas. Abrawan tidak mengenali siapa dia, seingatnya ia telah membersihkan semua orang terkait masa itu.
Tentu saja, Armawan tidak akan membiarkan penganggu itu lolos begitu saja. Armawan sejak dulu selalu main bersih. Bersih dalam artian, jika ada sesuatu yang menganggu jalannya, maka ia tak segan untuk menyingkirkannya.