18 | Melanjutkan Hidup Masing-Masing

2026 Kata
Seperti ada yang hilang dan kurang dari keluarga Yunta pasca Nino diangkut oleh tim penyelamat masuk ke dalam helikoper, lalu terbang meninggalkan mereka. Padahal Nino di sini hanya hitungan hari, tapi rasanya seolah-olah Nino telah bersama-sama dengan mereka selamanya. Kepergian Nino adalah hal melegakan sekaligus menyesakkan. Melegakan karena Nino akhirnya kembali ke dunianya dan mendapat pengobatan, dan menyesakkan karena itu berarti kebersamaan mereka hanya sesingkat itu. Tadi Eliza sempat termenung beberapa lama menatap langit. Ia seperti mengalami de javu, rasa yang dirasakannya saat ini persis seperti yang dirasakannya saat pertama kali 'bangun' dari kematian dan tak menemukan Alden di mana pun. Kini Eliza berkutat dengan perasaan itu lagi. Perasaan seorang Ibu yang dipisahkan dengan anak yang baru ditimangnya beberapa hari. Hal tak jauh beda dirasakan oleh Damar. Sebagai seorang ayah dan kepala keluarga, Damar menyesal tidak bisa melakukan banyak hal untuk keluarganya. Sementara Alin, dia tak ikut pulang bersama yang lain. Gadis itu duduk duduk di titik lokasi dimana mereka menemukan Nino pertama kali. Alin menyesal, seandainya dia tahu sejak awal bahwa Nino adalah Alden adiknya, seharusnya Alin bisa memperlakukan dia lebih baik. Pada dasarnya semua orang memakai topeng tegar seakan tak merasa kehilangan, kecuali Anisya yang sama sekali tak bisa mengontrol perasaannya. Bocah itu terus menangis dan memanggil-manggil 'adik'. "Udah, jangan nangis lagi. Ini, aku bagi pisangku buat kamu. Tapi jangan bilang-bilang Kak Alin, ya, nanti kita dikatai monyet," ujar Damar, mengulurkan satu buah pisang pada Anisya begitu dia duduk di sebelah adiknya itu. Dengan tubuh sesenggukan sisa menangis, Anisya menerima pemberian buah Adrian. "Kamu sedih ya, Alden pergi?" tanya Adrian di saat dia sendiri jelas-jelas sudah tahu jawabannya. "Kakak Adri nggak sedih Adik pergi?" balik tanya Anisya. Adrian mengembuskan napas pendek. "Ya sedih, padahal aku senang dia di sini karena jadi ada teman sesama laki-laki. Tapi gimana lagi? Kayak yang Papa bilang, tempat Alden bukan di sini." "Iya, Kakak Adri. Aku sedih karena nggak bisa main sama Adik lagi." "Kan masih ada aku sama Kak Alin." Anisya mengerucutkan bibir lalu mendesah pelan. "Kakak Alin galak, kalau Kakak Adri baik tapi nggak suka main lari-lari," keluh Anisya membuat Adrian meringis serba salah. Bukannya dia tak mau diajak main lari-larian, tapi fisiknya memang tidak mendukung. Tubuhnya yang gendut membuatnya ngos-ngosan padahal baru lari beberapa meter. "Kakak Adri, apa nanti kita bisa ketemu sama Adik lagi?" cetus Anisya tiba-tiba. Adrian terdiam sebentar untuk berpikir, sebelum kemudian menggelenhkan kepala pelan. "Sebaiknya jangan." "Kenapa?" "Karena kalau kita bertemu lagi, itu artinya kita akan merasakan kehilangan lagi." *** Berita tentang ditemukannya Clevonino Abrawan terus menjadi perbincangan hangat, mereka menyebut itu sebagai keajaiban. Banyak yang tak menyangka Nino bisa bertahan, mengingat jarak pulau tempat ia ditemukan dengan titik jatuhnya pesawat lumayan jauh. Itu artinya Nino sempat terombang-ambing di lautan cukup lama sebelum akhirnya terdampar ke daratan dan masih hidup selama lebih dari 138 jam dalam keadaan dehidrasi parah dan luka infeksi di lengannya. Seluruh Negeri seolah bersatu, bahkan tokoh-tokoh oposisi pemerintahan Abrawan yang kerap melontarkan kritik pada Abrawan turut mengucapkan selamat dan rasa syukur mereka. Mereka meletakkan sejenak masalah persaingan politik dan meninggikan perihal kemanusiaan serta solidaritas. Di tengah banyaknya masalah yang membuat frustrasi dan kerap ingin menyerah, ditemukannya Nino dalam keadaan hidup seakan menyadarkan mereka bahwa keajaiban itu ada. Begitu ditemukan, Nino langsung mendapat perawatan intensif dengan dokter-dokter terbaik. Kondisinya terus dipantau dan semakin hari menunjukkan pemulihan setelah dua hari dirawat. Nino membuka mata perlahan, tubuhnya masih lemas dan sakit di beberapa bagian. Sejak pertama kali sadar kemarin, Nino belum bisa bicara. Ia merespon orang-orang di sekitarnya dengan kedipan mata dan anggukan kepala saja. Nino melihat ke sekeliling, mencari keberadaan orang di kamarnya, bersamaan dengan seorang lelaki berperawakan gahar menghampirinya. "Kamu bangun? Mau minum?" tawar lelaki yang merupakan salah satu pengawal ayahnya, namanya Roni. Dia telah lama bekerja untuk papanya bahkan sebelum Nino lahir, Roni ditugaskan menjadi pengawal pribadi Nino sejak Nino kecil. Baru-baru setelah Nino makin besar dan merasa bisa jaga diri serta privasi, Nino minta papanya untuk melonggarkan pengawalan untuknya. Jika Nino butuh apa-apa, ia berkomunikasinya dengan Roni, mengingat papanya selalu sibuk dengan urusan Negara. Hubungan mereka sangat dekat sampai-sampai Roni tak perlu lagi memanggil Nino dengan embel-embel penghormatan. "Papa mana?" kata Nino dengan suara sangat pelan menyerupai bisikan. "Papamu di Istana, beliau harus ke Istana karena kemarin kerja dari sini. Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Roni sigap. Nino hanya menggelengkan kepala pelan dan kembali memejamkan mata, belum mampu banyak bicara. Ia akan menyimpan tenaganya nanti agar bisa bicara dengan papanya. "Mau saya teleponkan biar Bapak segera ke sini?" tanya Roni lagi. Sekali lagi Nino menggelengkan kepala, tak mau menganggu papanya bekerja. Nino yakin, selama ia dalam pencarian, banyak pekerjaan papanya yang tertunda karena papanya harus membagi fokus. Nino akan menunggu sampai papanya datang. Selama Nino tidur, beberapa kali Nino bermimpi potongan ingatannya di pulau bersama keluarga Yunta. Nino sungguh menyesal belum sempat mengucapkan selamat tinggal dengan benar, setelah semua kebaikan yang mereka lakukan hingga Nino bisa berada di ruangan hangat dan nyaman ini dalam keadaan masih bernapas. Papanya harus tahu orang-orang berjasa yang telah menyelamatkannya. Dan, sekarang Nino bertanya-tanya bagaimana keadaan mereka sekarang, apa yang tengah mereka lakukan, apakah Anisya mencarinya. Belum apa-apa Nino sudah merindukan mereka semua. Sore harinya setelah tertidur sebentar, kondisi Nino makin membaik. Ia sudah bisa setengah duduk dengan meninggikan sandaran ranjang dan mulai makan makanan lembut. Nino baru selesai makan, ketika terdengar suara orang masuk ke kamarnya. Senyum Nino merekah saat mengetahui yang masuk itu adalah Papanya dan sekretaris papanya. "Senang melihat kamu sudah bisa bangun," ujar Abrawan langsung mendekati ranjang Nino. "Gimana keadaan kamu?" "Jauh mendingan, Pa," jawab Nino, menerima elusan di kepala yang disusul dengan kecupan sang Papa di bekas elusan itu. "Kamu sudah melalui banyak hal, Nak. Seharusnya Papa lebih bisa menjaga kamu sehingga kamu nggak perlu mengalami semua itu." "Yang penting aku sudah di sini lagi, Pa," balas Nino menenangkan saat Papanya malah seolah menyalahkan diri. "Kamu harus tahu, No, saat semua orang ragu kamu masih selamat, Bapak adalah satu-satunya orang yang ngotot pencarian nggak boleh berhenti," beri tahu Roni. "Bapak sampai datang langsung ke posko begitu mereka menemukan tanda yang kamu buat." Nino tersenyum lebar, sangat senang mendengarnya. "Aku tahu, kok, Bang. Itu juga yang bikin aku gimana pun caranya harus bertahan karena yakin sekali Papa akan mencari aku." "Makanya mulai sekarang Papa larang kamu pergi-pergi. Udah di Jakarta aja. Selesaikan kuliahmu, lalu ikuti jejak Papa." "Pa ...." Nino memutar bola mata berlagak malas, meningkahi ucapan Papa yang terkadang sulit Nino tangkap sebagai candaan atau sungguhan. Papanya tak pernah secara serius menyuruhnya menjadi politikus, tetapi sering kali menyelipkannya dalam candaan-candaan atau obrolan santai mereka. Sebagai anak tunggal, Nino tahu papanya menaruh banyak harapan padanya. "Papa serius," ucap Abrawan senada dengan ekspresi wajahnya. "Kamu tahu, laki-laki itu dinilai apanya?" "Ucapannya?" "Salah." Nino mengerutkan kening tak mengerti, sebab tak terhitung berapa kali Nino dengar ungkapan tersebut. Bahwa kualitas diri dari seorang laki-laki adalah dilihat dari apakah dia bisa berkomitmen dengan ucapannya. Nino diam, menunggu papany Melanjutkan. "Laki-laki itu dinilai dari kamu punya apa dan kamu bisa apa. Kita harus kaya sekali atau punya jabatan tinggi, baru kamu disebut laki-laki berhasil. Kamu pasti paham maksud Papa. Setidaknya laki-laki harus punya salah satunya, kekayaan atau kekuasaan. Tapi dengan menjadi politikus, kamu bisa mendapatkan keduanya sekaligus." Kening Nino berkerut, berusaha memahami tiap ucapan kalimat papanya yang terdengar bersungguh-sungguh dan tegas itu. "Tapi aku bisa mendapatkannya di tempat lain dengan profesi lain." "Apa? Menjadi jurnalis?" Abrawan tersenyum seakan mengejek impian Nino. "Kamu terlalu naif, Nino. Jaman sekarang, jurnalis itu bukan superhero. Mereka sudah seperti perpanjangan tangan dari penguasa-penguasa yang punya banyak uang. Berita bisa dibuat, skandal bisa ditutup, semua tergantung kepentingan dan berapa yang bisa kamu bayar. Kamu mau menjadi pengelap b****g mereka? Kalau Papa enggak rela, Papa nggak akan membiarkan anak Papa mengelap b****g orang lain." "Menurut kamu, kalau Papa bukan politikus, apa kamu bisa selamat?" Abrawan menggeleng pelan, tampak sangat dramatis. "Enggak, mereka nggak akan mencari kamu. Berkat jabatan Papa, Papa bisa mengerahkan semua sumber daya negara buat menemukan kamu. Itu satu contoh kecil sesuatu yang namanya power." Nino tak bisa berkata-kata. Pembicaraan ini terlalu berat untuk dirinya yang bahkan untuk duduk saja punggung dan lehernya masih harus disangga. Terlebih, topik ini terlalu tiba-tiba. Papanya tidak pernah membicarakan hal semacam ini dengan air muka setegas itu. Seolah menyadari ucapannya terbawa ke pikiran Nino, Abrawan berkata lagi. "Pikirkan itu nanti saja, setelah kamu pulih, Papa akan tunjukkan ke kamu dunia yang sebenarnya." Nino mengembuskan napas lemah. Entah mengapa ia malaj makin kepikiran, Nino merasa djnia yang akan papanya tunjukkan itu adalah dunia berbeda dari dunia yang selama ini ia tahu. Tepukan pelan papanya, menyadarkan Nino dari lamunan singkatnya. "Nah, sekarang apa kamu sudah siap cerita bagaimana kamu bisa terdampar ke pulau itu?" tanya Armawan. Jawaban dari pertanyaan itu telah ditunggu-tunggu puluhan jurnalis yang berkemah di depan rumah sakit. Namun atas saran dokter, Armawan melarang siapapun untuk menanyakannya terlebih dulu sampai kiranya kondisi Nino sudah membaik. Selain itu mereka juga harus meraba kondisi psikologis Nino, bagaimana pun juga dia baru saja mengalami hal yang mengerikan yang tak semua orang bisa melewatinya. Pertanyaan itu sekaligus mengingatkan Nino dengan tujuannya mencari papanya tadi siang. Nino menceritakan semuanya secsra runtut dan jelas, mulai dari bagaimana kondisi pesawat sebelum ia nekat loncat, lalu berenang melawan pusara air yang menenggelamkan badan pesawat sedikit demi sedikit, hingga tahu-tahu ia mendapati dirinya terdampar di daratan. "Tiap kali aku terseret tenggelam dalam air, aku sekuat tenaga berenang buat baik. Aku sangat takut tenggelam makanya aku terus menggerakkan badan asal nggak tenggelam. Aku pikir aku akan mati kehabisan tenaga, untungnya di dekatku ada boks steroform rusak. Aku pegangan sterofom itu dan udah pasrah ombak akan membawa aku ke mana. Dan ternyata, ombak minggirin aku ke daratan," ungkap Nino. Abrawan mengangguk-angguk pelan, tampak bangga melihat Nino berbicara lancar yang mana itu artinya Nino cukup kuat hingga kejadian itu tak meninggalkam trauma. Bagus, pikirnya. Memang seperti itulah seharusnya laki-laki. "Lalu selama 6 hari itu gimana cara kamu bertahan tanpa makanan dan minuman?" "Aku makan dan minum, kok." Sontak Abrawan dan Roni saling lempar pandang dengan terkejut. Jelas-jelas hasil pemeriksaan dokter menyatakan Nino kehilangan banyak cairan tubuh dan kurang nutrisi. Hal itu juga terlihat jelas dari menyusutnya bobot tubuh Nino. Enam hari terdampar, Nino mirip kakek-kakek yang tubuhnya seolah hanya tulang terbungkus kulit. Matanya cekung dan pipinya sangat tirus. "Ah, di pulau itu ada makanan yang bisa dimakan?" tanya Abrawan. "Ada, Pa. Aku makan rutin tiga kali sehari, kok." "Oh ya?" Abrawan menyelidik. "Iya, kan di pulau itu ada penghuninya. Aku ditolong sama mereka. Mereka yang rawat dan kasih aku makan." "Penghuni?" dengung Abrawan bingung sekaligus terkejut. "Penghuni manusia maksudmu?" Nino tergelak lemah. "Ya iya lah, Pa, masa hantu. Di sana ada satu keluarga naturalist. Ada satu rumah nggak jauh dari pantai, selama nunggu bantuan datang, aku tinggal di rumah mereka. Mereka sangat baik. Kalau nggak ada mereka, aku mungkin udah meninggal." "No, kamu yakin? Di sana—" Pertanyaan Roni dihentikan oleh Abrawan, isyarat agar dia tidak mendesak Nino. Namun, gelagat aneh papanya dan Roni ditangkap oleh Nino. Nino menatap mereka berdua bergantian dengan bingung. "Kenapa, Pa?" "Nggak apa-apa, kamu sepertinya masih butuh istirahat." Abrawan tersenyum menyenangkan. "Ron, bantu Nino biar tiduran biar dia bisa istirahat." Dengan patuh, Roni melaksanakan perintah sang atasan. Dia menurunkan bagian atas ranjang Nino ke posisi datar sehingga Nino yang berbaring di atasnya langsung bisa rebahan. Abrawan membenai letak selimut Nino, lalu berpesan, "tidurlah, Papa masih harus kerja di ruangan sebelah. Nanti kita ngobrol lagi." "Pa," panggil Nino, tepat saat Abrawan hendak bergeming. "Papa kenal Damar Yunta?" Deg! Sekujur tubuh Abrawan serasa membatu, dengan kaku dia menoleh menatap Nino lagi dengan tatapan horor. Reaksi serupa yang ditampakkan oleh Roni. "Damar Yunta?" ulang Abrawab susah payah, memastikan dirinya tak salah dengar. Setelah sekian lama, nama itu seharusnya tidak pernah keluar lagi. Terlebih keluarnya dari mulut Nino. Nino mengangguk ringan. "Iya, Damar Yunta. Dia sepertinya tahu banyak tentang Papa, aku penasaran apa Papa juga mengenal dia?" Abrawan tersenyum aneh. "Kamu sepertinya memang harus istirahat, Papa nggak tahu kamu bicara apa." "Berati Papa nggak kenal sama Damar Yunta?" "Enggak," jawab Abrawan dengan suara rendah dan tegas. "Memangnya ... Dari mana kamu dengar nama itu?" "Dia lah orang yang menolong aku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN