24 | Manusia Bebas

1301 Kata
Nino memicingkan mata melihat Roni gelagapan sedetik setelah mengatakan kalimat bernada penuh peringatan, seperti seseorang yang baru sadar telah kelepasan mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya seseorang dengar. "Bernasib seperti dia? Maksudnya mati?" tanya Nino, butuh penjelasan lebih gamblang. "Gini, No, maksudnya, kamu udah tahu Damar Yunta itu buronan. Dia banyak bersinggungan sama pejabat-pejabat dari DPR, kepala-kepala daerah, sampai menteri-menteri. Papamu nggak ingin kamu tahu tentang dia supaya namamu nggak ikut jelek." "Saat dia melakukan kejahatan kan aku belum lahir, memangnya apa yang bisa disangkutpautkan sama namaku?" "Sebaiknya ikuti kata papamu. Jangan penasaran tentang orang-orang dengan background buruk seperti Damar Yunta." Nino mendengus, kantong gelinya tergelitik tapi anehnya ia tidak bisa tertawa. "Aku nggak ngerti, Bang. Apa bedanya mencari tahu tentang Damar Yunta dengan mencari tahu tokoh-tokoh lain? Pelaku HAM berat di masa lalu, misalnya?" tanya Nino. "Bang, kalau mau melarang setidaknya beri satu alasan masuk akal. Atau jangan-jangan, Papa termasuk pejabat yang bersangkutan sama dia?" "Enggak. Kamu kenal sendiri papamu, mana mungkin dia punya sangkutan sama orang seperti Damar Yunta." "Kalau begitu nggak harusnya nggak ada yang perlu dicemaskan, kan?" balik Nino, disambung dengan helaan napas panjang. "Kadang aku merasa nggak cukup kenal sama Papa, bagaimana jika selama ini aku hanya melihat apa yang dia tunjukkan saja?" ujar Nino terakhir, sebelum meninggalkan ruangan Roni. Perkataan Nino sukses membuat Roni tercengang, sama sekali tak menyangka Nino akan punya pemikiran demikian. Hampir saja Roni lupa, Nino bukan lagi anak kecil yang murah diarahkan tanpa banyak pertanyaan. Secara legal, Nino telah dewasa dan dia tumbuh menjadi lelaki muda yang cerdas. Jika Nino tidak pernah kecelakaan, barangkali Nino tidak akan pernah tahu ada orang bernama Damar Yunta. Tuhan memerankan peran-Nya dengan sangat baik, Dia memberi takdir mengikat antara Nino dengan keluarga kandungnya padahal mereka berada di alam berbeda. Dengan emosi, Nino membawa langkahnya ke luar. Semakin di larang, ia semakin ingin pergi. Sayangnya, langkahnya ditahan oleh petugas keamanan. "Lepas!" Nino meneriaki dua orang petugas keamanan yang berusaha menahannya keluar dari pintu kediamannya. Tidak ada yang bisa menghalanginya untuk pergi. Tidak Roni, tidak juga papanya. Sekalipun di belakang namanya ada nama Abrawan, Nino tetap memiliki kebebasannya sendiri sebagai manusia. Ia telah cukup dewasa untuk tahu mana yang salah dan benar, mana yang tidak perlu dan mana yang harus. Jika dipikir-pikir, selama ini Nino tak pernah keluar dari ketiak papanya sehingga apa yang ia tahu benar-benar dari apa yang papanya tunjukkan. Tuhan telah memberinya kesempatan kedua hidup, kesempatan itu akan sia-sia rasanya jika Nino tidak memanfaatkannya dengan baik. Ia ingin melangkah lebih baik, melihat lebih luas, dan mendengar lebih banyak. Nino terus melawan, membuat para menjaga serba salah bagaimana menangani dirinya. Mereka jelas tak berani jika terlalu kasar, tapi tak bisa pula terlalu lemah. "Biarkan dia pergi." Terdengar suara Roni dari arah belakangnya, dan mereka langsung menyingkir ke samping, tak lagi menghadang Nino. Nino menatap mereka dengan marah karena membuatnya merasa benar-benar seperti tawanan. "Jangan pergi terlalu lama dan jangan ke tempat ramai dulu," lanjut Roni pada Nino. "Pergilah sama supir, jangan menyetir sendiri." Nino tidak membantah, baginya diizinkan pergi saja sudah cukup. Nino tidak berharap terlalu berlebihan akan diizinkan pergi menyetir sendirian. "Tapi aku nggak butuh pengawalan." "Oke," sahut Roni menyepakati. *** Saat Roni bilang 'oke' secepat itu, Nino tahu kenyataannya tidak akan semudah itu. Di belakang mobilnya, Nino tahu Roni sedang mengikutinya. Dan secara bersamaan Cessa mengaku bosan dan ingin bertemu dengannya saat itu juga, yang mana Nino tebak atas suruhan Roni agar Roni masih dapat memantai Nino dari dekat melakui Cessa. "Nini—" Cessa buru-buru mengatupkan bibirnya ketika menyadari bahwa dirinya berada di tempat yang bahkan untuk bernapas saja jangan sampai embusannya menimbulkan suara, saking senangnya menemukan Nino duduk di tengah-tengah ruangan sangat besar dengan atap tinggi yang tampak cukup lengang lantaran di ruangan sebesar itu hanya ada beberapa orang. Tepatnya, Nino berada di perpustakaan nasional. Cessa meringis polos lalu berjalan cepat menghampiri Nino yang duduk di salah satu meja dengan koran-koran warna kusam yang telah dilaminasi plastik. "Astaga, ini kamu lagi ngapain baca koran-koran jadul?" "Sttt ... Jangan berisik," desis Nino. "Ups, maaf. Maklum, nggak pernah main ke perpus," jawab Cessa bisik-bisik. Gadis itu lalu meletakkan tas selempang kecilnya di kursi sebelah, lalu melihat-lihat apa yang tengah Nino cari. "Kamu sebenarnya ngapain?" tanyanya. "Masih dalam misi cari tahu siapa Damar Yunta," jawab Nino tanpa mengalihkan fokus dari lembar-lembar surat kabar terbitan Sinar Terang Media pada tagun 2002 bulan desember, bulan dan tahun di mana Damar Yunta menghilang. "Kan udah jelas, dia buronan. Pelaku pelecehan seksual, wartawan bodong yang suka bikin berita palsu buat meras pejabat, dan pelaku penipuan. Jadi, sebenarnya apa lagi yang membuat kamu penasaran?" Nino mendecakkan lidah dan menatap Cessa sebal. "Aku tahu kamu ke sini karena di suruh papamu. Aku nggak berharap akan kamu bantu, tapi nggak berharap juga kamu akan coba menghentikan aku. Kamu cukup duduk dan diam saja di sana." "Ya emang, sih, Papa yang suruh. Tapi aku mau bantu kamu, kok," balas Cessa merasa tidak enak hati, melibat wajah kusut Nino yang makin kusut setelah ia bicara. "Cari artikel yang ditulis Damar Yunta, kan? Sini, aku bantu." "Cari juga Edi Usman." "Hah? Siapa lagi dia?" tanya Cessa. Nino kemudian menceritakan apa yang ditemukannya dan apa-apa yang membuatnya curiga. "Wow, aku nggak tahu itu akan menyeret kamu sampai bertindak sejauh ini," komentar yang besar Cessa. "Sejauh ini?" ulang Nino, merasa dua kata tersebut ambigu. "Aku belum kemana-mana, Sa. Nggak tahu kenapa, perasaanku bilang, aku mungkin akan menemukan sesuatu yang mungkin akan bikin aku terkejut." Cessa menyipitkan mata. "Apa perasaanmu itu semacam indra keenam?" Nino menggelengkan kepala. "Bukan. Anggap lah ini cocoklogi. Coba pikirkan, hantu yang bisa aku lihat cuma hantu keluarga Yunta, lalu teman Damar Yunta beberapa kali mendemo Papa minta supaya Papa diusut, lalu Papa yang bilang nggak ada orang bernama Damar Yunta dan sikapnya yang jadi dingin ke aku itu bikin aku mikir, apa yang terjadi sebenarnya?" Tapi sejujurnya aku juga takut. Bagaimana kalau seandainya papaku ternyata bukan prang sebagik yang aku kira? Bagainana ... kalau ternyata dia salah satu pejabat yang bersangkutan dengan Damar Yunta?" Cessa mengembuskan napas pendek. "Nini, kalau kenyataan itu sesuatu yang akan sulit kamu terima, bukankah sebaiknya nggak usah mencari tahu?" "Pura-pura nggak tahu, nggak bikin kenyataan itu nggak ada, kan, Sa?" balik Nino. "Apapun itu, aku harus tahu. Seandainya papaku memang bukan orang baik, aku mungkin hanya akan kaget sebentar. Kemungkinan terburuk Papa mungkin terlibat korupsi, nggak mungkin sampai separah pembunuhan." "Iya juga, sih, Ni," desah Cessa, merasa kasihan pada Nino. "Apapun yang akan terjadi nanti, aku pasti akan selalu berada di pihak kamu. Kamu nggak sendiri, Nini," janji Cessa. Nino mencebikkan bibir ke bawah, seolah meragukan janji Cessa. "Yakin? Seandainya aku dan papamu ada dalam bahaya, siapa yang akan kamu selamatkan duluan?" "Ih, kamu nggak mungkin dalam bahaya lah. Kan ada Papa aku, pekerjaan dia itu melindungi kamu. Kalaupun kalian berdua dalam bahaya, papaku pasti akan mengorbankan dirinya sendiri lebih dulu untuk menyelamatkan kamu. Kamu lupa? Mama sama Papaku hampir cerai gara-gara Papa pas kita hampir tenggelam di kolam renang, Papa lebih milih menyelamatkan anak bosnya duluan, dibanding anak kandungnya sendiri. Mama selalu bilang, Papa itu lebih takut ke papamu dibanding apapun. Loyalitasnya nggak usah diragukan, jadi kamu jangan khawatir macam-macam, karena ada aku dan Papa yang akan selalu siap di belakang kamu, Nini." Jika dipikir-pikir, perkataan Cessa sangat benar. Roni orang yang sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya. Berkat Roni, Nino nyaris tidak pernah mengalami masa sulit. Dia bisa menjadi pengawal yang sangat melindungi, teman, sekaligus pemberi nasehat hal remeh temeh terbaik. Yang dulu pertama kali mengajarinya berenang adalah Roni, yang mendorongnya mempelajari setidaknya satu olahraga bela diri adalah Roni, dan Roni pula yang kerap menyelundupkan cokelat saat Nino kecil sedang dihukum papanya lantaran nilai sekolahnya turun atau ia tidak bersikap baik saat diajak kampanye. Seperti kata Cessa, jika ada satu orang yang tidak akan mengkhianatinya, orang itu adalah Roni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN