23 | Jangan Lakukan

1373 Kata
Segalanya berubah sejak tragedi kecelakaan itu. Dari Nino yang bisa melihat 'hantu' keluarga Yunta, sikap papanya yang makin hari makin seolah menarik diri dan menjaga jarak, serta Nino yang mudah curiga. Tumbuh sebagai anak Arman Abrawan, Nino sudah sangat terbiasa jika ada orang-orang yang menunjukkan kebencian terhadap papanya. Jika menjumpai meme satir tentang ayahnya, atau bahkan demonstrasi bermasa besar sekalipun, Nino hanya menganggapnya sebagai dinamika demokrasi semata. Protes-protres dari yang penyampaiannya santun hingga anarkis dan rasis tersebut dipicu ketidakpuasan kinerja pemerintahan papanya, namun itu bukan berarti papanya penjahat atau tidak becus kerja. Sebagai pimpinan negara dengan wilayah sangat besar dan rakyat sangat banyak, mustahil bagi papanya memuaskan semua orang. Tiap mengambil suatu keputusan, papanya pasti mempertimbangkan kepuasan mayoritas, mana yang terbaik untuk kalangan lebih puas, tanpa melupakan jalan tengah bagi mereka yang mungkin tidak diuntungkan dengan keputusan tersebut. Namun kini, mendadak Nino ingin tahu apakah dari semua protes-protes itu, benarkah alasannya hanya menyangkut ketidakpuasan kerja atau memang ada sesuatu yang perlu diungkap. Nino tahu seharusnya dia tidak boleh meragukan papanya sendiri, tapi sungguh Nino tidak bisa menahan diri. Terlebih saat kemarin Abrawan sangat marah ada seseorang yang melebarkan spanduk di acara tabur bunga. Di dalam mobil, Abrawan bertanya pada ajudannya mengapa pria itu bebas berkeliaran dan bisa menerobos penjagaan berlapis Pasukan Pengaman Presiden. Abrawan lalu berkata bahwa dia tidak ingin melihat orang itu lagi dengan suara geraman dalam yang terdengar sangat mengerikan. Dari situ, Nino asumsikan bahwa orang tersebut bukan kali ini protes. Nino sangat ingin tahu siapa orang itu dan apa yang dia tuntut hingga papanya, seorang Arman Abrawan tampak kesal dan begitu terganggu. Kejadian ketika protestan itu itu diringkus cukup heboh dan banyak wartawan yang tampak merekam, jadi Nino pikir itu akan muncul sebagai berita di berbagai media. Nino menunggu, hampir tiap jam ia mengetik kata kunci ‘protes di acara tabur bunga’ dan sejenisnya, tetapi hingga keesokan harinya, satu pun berita tentang itu tidak ada. Semua berita hanya tentang Nino dan duka para keluarga korban belum ditemukan. Nino yang dulu pasti akan merasa bahwa media telah cerdas karena hanya memberitakan berita-berita pasti, dan tak menjadi penyambung kebenian para pembenci. Namun sekarang, Nino justru bertanya mengapa, ada apa, dan bagaimana bisa dari sekian banyak wartawan tak ada satu pun yang menulis tentang ‘penganggu’ acara tabur bunga kemarin. Tak menyerah, Nino mencoba mencari protes-protes serupa dan Nino menemukan satu artikel tentang seorang pria paruh baya yang diberitakan berusaha menyerang Presiden saat Presiden Abrawan tengah menanti kabar pencarian korban bersama para keluarga korban lainnya di posko darurat. Ada pula rekaman videonya, pria itu menyumpahi bahwa Nino pantas meninggal karena Abrawan telah membuat banyak orang meninggal serta menyinggung masalah korupsi di masa lalu. Untungnya, di artikel tersebut juga memuat nama pria tersebut. Namanya Edi Usman. Sayangnya hanya itu saja yang Nino dapat, untuk mencari tahu siapa itu Edi Usman, Nino kembali berselancar di mesin pencari. Ada banyak nama terkait, Nino harus mengecek satu per satu sampai akhirnya Nino hingga Nino menemukan satu nama Edi Usman artikel yang dirilis 15 tahun lalu. Di situ, nama Edi Usman tercatat sebagai wartawan Sinar Terang Media. Profesi dan perusahaan yang sama di mana Damar Yunta bekerja. Sinar Terang Media sendiri sekarang sudah tidak ada, dari informasi yang Nino temukan di internet, perusahaan tersebut gulung tikar pada tahun 2006. Artinya Edi Usman menulis berita tersebut pada tahun terakhirnya bersama Sinar Terang Media, artinya pula itu 4 tahun setelah menghilangnya Damar Yunta. Perusahaan itu bangkrut lantaran ditinggalkan pelanggannya yang mulai tak percaya dengan kredibilitas Sinar Terang Media setelah kasus Damar Yunta terkuak. Saat Nino ingin menelusir artikel-artikel lain keluaran Sinar Terang media, Nino tidak menemukan berita berarti, kebanyakan hanya tentang gaya hidup. Jika benar Damar Yunta pernah mendapat anugerah Presiden sebagai salah satu wartawan terbaik, bukankah semestinya Damar telah menulis berita-berita besar? Jika digital tak mencatat jejak Damar Yunta, mungkin saja perpustakaan nasional memilikinya. Setahu Nino di sana menyimpan surat kabar dari masa ke masa. Ya, Nino harus mencari tahu daripada ia gila karena penasaran. Apa yang diketahui dan dituntut Edi Usman hingga berani protes di depan muka Presiden langsung. Dan, mungkin saja Edi Usman dapat Menjadi pintu masuk untuk Nino mengetahui siapa itu Damar Yunta. *** Keesokan harinya, Nino bersiap pergi ke Perpustakaan Nasional, tetapi Nino tidak diizinkan keluar oleh penjaga lantaran Roni telah berpesan bahwa Nino belum diizinkan keluar sampai Presiden memperbolehkan. Nino benar-benar tak percaya, bahkan setelah dinyatakan sehat, dirinya masih seperti ‘dipenjara’. Saat itu juga Nino langsung menelepon papanya, tapi yang menjawab adalah ajudannya. Ajudannya itu mengatakan Abrawan sedang dalam rapat sehingga belum bisa menjawab telepon. Nino kemudian hanya bisa berpesan agar papanya segera menghubungi ia begitu sempat. Dan saat ini Nino tengah membawa langkahnya menuju satu ruangan, tempat biasa Roni bekerja. “Apa kalian berniat mengurung aku selamanya?” tanya Nino begitu membuka pintu ruang Roni, tanpa merasa perlu mengetuk pintu lebih dulu. Roni yang saat itu tampak tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon langsung memutuskan telepon tersebut setalah mengatakan akan menghubungi kembali. “Ada apa?” tanya Roni tenang, masih duduk di atas kursi kerjanya. Roni adalah komandan tim pengawal pribadi Abrawan. Sejak awal menjabat jadi Presiden, Abrawan mempertahankan orang-orangnya sendiri, alih-alih hanya mengandalkan pasukan pengaman khusus dari negara. “Izinkan aku keluar,” tuntut Nino langsung pada tujuannya. “Bukan aku yang memutuskan itu, tapi papamu,” jawab Roni santai. “Memangnya mau ke mana? Di luar masih belum aman buat kamu, wartawan dan orang-orang masih tertarik sama kisah kamu. Papamu nggak ingin ada kehebohan.” Nino mengembuskan napas pendek. “Segitunya Papa takut aku keceplosan bilang kalau selama seminggu aku tinggal sama hantu?” “Bukan begitu—“ “Lalu apa?” tanya Nino terpancing emosinya. “ Giliran Roni yang menghela napas dan kemudian berdiri dari kursinya. “Ya udah, mau ke mana? Giliran Roni yang menghela napas dan kemudian berdiri dari kursinya. “Memangnya mau ke mana? Kuliahmu juga kan masih libur semester.” “Ya aku ingin balik ke rutinitasku yang lama. Aku udah tiga minggu istirahat, aku sebenarnya belum ngerti alasanku dilarang keluar rumah. Nggak semua tempat ada wartawan, dan kalaupun ada, aku tahu apa yang harus aku lakukan." "Ini bukan keputusan yang bisa aku buat, Nino. Biar aku laporkan ke papamu." "Itulah kenapa aku ke sini," decak Nino mengacak rambut sebal, sejak awal ia tahu, memprotes pada Roni tidak akan mengubah apapun. "Katakan sesuatu supaya ke Papa supaya aku bebas keluar-keluar lagi. Bilang aku udah nggak halusinasi dan aku udah lupa sama siapa itu keluarga Yunta. Heran, Papa setakut itu aku keceplosan menyebut Damar Yunta ke media. Kamu tahu, Bang, itu justru bikin aku makin penasaran. Papa bilang, pemilik nama Damar Yunta itu nggak ada, tapi setelah aku cari tahu ternyata nama itu ada dan dia bukan orang biasa." Kedua kelopak mata Roni membeliak, tampak terkejut mendengar penyataan Nino. "Kamu mencari tahu siapa Damar Yunta." Nino mengangguk pasti. "Seennggaknya aku harus memastikan yang bersamaku seminggu itu sosok imajinasi atau hantu." "Lalu?" lanjut Roni dengan wajah tegang. "Sejauh mana yang kamu tahu?" Nino sedikit mengernyit meningkahi respon Roni tersebut. "Papa bohong. Damar Yunta itu ada, dia buronan yang kabur sama keluarganya 19 tahun lalu. Dia mungkin meninggal di suatu tempat karena yang seminggu bersamaku di pulau itu adalah Damar Yunta versi muda, fotonya yang ada di internet sama persis dengan Damar Yunta yang menolongku." "Lalu setelah tahu siapa Damar Yunta, terus apa rencanamu? Toh ... dia hanya hantu." Nino menghendikkan bahu sembari berdengung berpikir, ia tampak belum terlalu yakin dengan rencananya. "Bukannya itu bukin penasaran, Bang?" Nino mengajak Roni berpikir bersama. "Mengapa hantu Damar Yunta dan keluarganya ada di pulau Langka dan mengapa aku bisa melihat mereka? Aku nggak bisa melihat hati sebelum dan setelah keluar dari pulau itu. Mungkin aja ada sesuatu di balik semua itu, bagaimana ... kalau sebenarnya itu adalah pertanda, Tuhan mengirimkan aku buat mencari tahu apa yang terjadi pada Damar Yunta selama pelariannya dan di mana jasadnya?" "Jangan lakukan itu." "Apanya?" tanya Nino mengerutkan kening, kini ia yakin reaksi Roni memang tak biasa. Dia tampak sangat tercengung untuk sesuatu yang semestinya tidak berhubungan dengannya. "Apapun yang mau kamu cari tahu tentang Damar Yunta, jangan lakukan itu." Kerutan di kening Nino memudar, lelaki muda itu menatap Roni. "Kenapa?" "Karena kamu mungkin saja akan bernasib sama seperti Damar Yunta."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN