"Ni, lihat ini."
Sontak Nino langsung memanjangkan lehernya, saat Cessa menyuruh Nino melihat apa yang tengah ia tunjuk. Lantaran tak menemukan apa-apa di bulan desember, dalam hal ini berita yang mencatut nama Abrawan, Nino coba mencari di terbitan bulan-bulan sebelumnya. Dan, berita yang ditemukan oleh Cessa itu terbitan bulan November. Judulnya sangat mengerikan, yaitu 'Kematian Masal Korban Cigandas, Bencana atau Akibat Keserakahan Penguasa'.
Dengan serius, keduanya membaca berita yang sepertinya ditulis berdasar investigasi jurnalistik Damar Yunta. Di sana diberitakan terjadi kelaparan parah pasca terjadinya banjir bandang di daerah Cigandas, Jawa Barat pada tahun 2000. Ditambah pemulihan pasca bencana yang dinilai sangat lamban. Berbulan-bulan warga tidur di pengungsian karena mereka harus membersihkan dan membangun sendiri tempat tinggal mereka yang rusak dan bahkan kebanyakan tersapu air bah mengingat pada masa itu rumah-rumah warga kebanyakan masih berbahan kayu. Pemulihan ekonomi lebih parah lagi, sawah-sawah warga rusak dan mereka gagal panen. Pun dengan akses jalan menuju kota yang terputus dan tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah setempat. Memang ada pasukan tentara yang diterjunkan ke lokasi, namun peran mereka hanya sebatas mendirikan dapur darurat itupun makanan yang diberikan sangat tidak layak dan masing-masing kepala hanya dijatah satu kali makan dalam sehari dengan alasan kekurangan logistik.
Setiap hari setidaknya ada satu warga meninggal, namun selalu dikatakan penyebabnya adalah penyakit bakteri penyakit yang dibawa banjir, seperti infeksi saluran pernapasan, diare, demam berdarah, dan sederet penyakit sanitasi lainnya. Hingga kemudian puncaknya, ada 32 orang meninggal dalam hari yang sama di tempat pengungsian. Media pun mulai kembali menyoroti lokasi bencana tersebut dan ternyata banyak sekali permasalahan yang luput dari perhatian. Mereka mulai mempertanyakan mengapa pemerintah setempat seolah tidak melakukan apa-apa, dan pemerintah setempat yang saat itu dipimpin oleh Abrwan sebagai Gubernur berdalih bahwa mereka telah melakukan terbaik yang mampu mereka lakukan dengan segala keterbatasan sumber daya manusia serta dana.
Telunjuk lalu diarahkan pada pemerintah pusat, mengapa tidak memberi bantuan. Namun, pemerintah pusat mengklaim bahwa mereka telah memberi suntikan dana bantuan ke pemerintah daerah. Bola panas terus bergulir, para pejabat seakan-akan saling lempar tanggung jawab tanpa menyentuh permasalahan yang sesungguhnya sementara rakyat yang sudah sengsara akibat bencana alam, dibuat makin sengsara lantaran para pemimpin mereka sibuk mengamankan diri mereka masing-masing di atas sana.
Lalu nama Arman Abraman muncul, disebut-sebut oleh Damar Yunta diduga tidak menyalurkan seluruh bantuan dari pemerintah pusat, dan menggunakan sisanya untuk kepentingan pribadi. Abrawan terang saja membantah dan menuntut siapapun yang menuduhnya untuk membawa bukti. Sudah, pemberitaan berakhir menggantung karena tidak ada yang bisa membuktikan tudingan Damar Yunta.
Lalu, dua tahun kemudian, tepatnya saat artikel berita ini dirilis Damar Yunta membuka kembali kasus lama tersebut. Dia memaparkan bukti-bukti berupa bertambahnya kekayaan Abrawan dalam kurun waktu dua tahun terakhir di saat para warga Cigandas masih berjuang terseok-seok memulihkan perekonomian. Di akhir artikel, Damar Yunta menjanjikan investigasi lanjutan dan tidak akan berhenti sampai mereka menemukan pihak yang harus bertanggung jawab.
"Coba cari lagi artikel lanjutannya," ucap Nino dengan d**a berdegup kencang, ingin mengetahui informasi lainnya. Jika tuduhan Damar Yunta itu benar, maka papa yang selama ini ia hormati dan bangga-banggakan merupakan penjahat kemanusiaan. Dan secara tak langsung, Nino hidup senang di atas semua nyawa dan air mata rakyat. Namun, Nino sungguh berharap itu tidak benar. Fakta bahwa papanya tidak pernah diadili menandakan bahwa Damar Yunta atau siapapun belum ada yang mampu membuktikan keterlibatan papanya.
Di sisi lain, Nino terbuka dengan segala kemungkinan.
Ia membolak-balik halaman surat kabar terbitan setelahnya dan mereka tak menemukan apa-apa.
"Nggak ada. Apa Damar Yunta nggak bisa membuktikan, ya? Makanya nggak ditemukan artikel selanjutnya yang dia bilang," ujar Cessa, masuk akal.
Dan, memang hasil investigasi lanjutan itu tidak pernah ada, keburu muncul seorang kepala daerah mengaku diancam oleh Damar dengan bukti korupsi yang dipalsukan. Jika pejabat tersebut tidak memberi Damar uang, maka Damar akan menghancurkan nama baiknya. Kasus tersebut banyak diberitakan media lainnya, hingga muncul lah kasus-kasus lain. Hingga yang terakhir, diberitakan Damar kepergok melecehkan juniornya di kantor tapi dia lolos dari pengejaran. Dan saat itu lah saat di mana Damar Yunta terlihat, sebelum kabur dan menghilang tanpa jejak.
Selagi Cessa membereskan koran-koran itu, Nino memegangi kepala dengan kedua tangannya. Ia lega, keterlibatan papanya tak terbukti. Tetapi juga belum bisa percaya bahwa Damar Yunta yang dikenalnya di pulau selama seminggu ternyata orang seburuk itu. Padahal di keluarganya, anak-anak lebih takut pada Eliza dibanding dengannya. Sosok ayah yang tak segan bertingkah konyol agar anak-anaknya tertawa. Sosok yang membelanya saat Alin ingin mengusirnya.
Deg! Teringat sesuatu, Nino melebarkan mata dan mengangkat kepalanya perlahan.
"Kenapa, No?" tanya Cessa penasaran sekaligus cemas.
"Papamu yang telah membuat kami begini," gumam Nino seperti bicara dengan dirinya sendiri.
"Hah?"
Mendadak, semua kata-kata Alin yang semula ia anggap hanya rancauan tak berdasar bermunculan di kepalanya seperti tunas di musim hujan.
"Nini, ih, jangan bikin aku takut deh tiba-tiba bengong kayak orang kesambet. Ada apa?" rengek Cessa tak sabaran.
"Itu yang mereka katakan, Sa."
"Apa? Siapa yang mengatakan apa?" Nino membuat situasi ini tampak sangat serius lantaran matanya melebar saat menatap Cessa.
Dan, Cessa kembali dibuat makin cemas—takut Nino kesambet betulan, ketika Nino terdiam lagi. "Bagaimana kalau yang terjadi sebenarnya bukan Damar Yunta nggak bisa membuktikan tudihannya, tapi dia nggak sempat membuktikannya?"
"Hah? Maksudnya ...." Ucapan Cessa menggantung, lantaran mulai paham ke mana arah pembicaraan Nino. "Nggak mungkin, No."
"Aku juga berharap nggak mungkin," sahut Nino, sebal sekali dengan perasaannya sendiri. "Tapi coba pikir lagi. Damar Yunta nggak kabur sendiri, dia kabur sama istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Nggak mungkin dia hilang tanpa jejak. Buronan yang kabur ke luar negeri saja masih bisa terlacak dan tertangkap walau udah belasan tahun, seharusnya itu juga berlaku buat Damar Yunta. Atau, kalaupun dia meninggal, di mana jasadnya?"
"Nini, kamu bikin aku merinding." Cessa begidik ngeri, sesuatu yang semula tidak dia anggap serius karena seputar perhantuan, kini melebar sangat jauh dan panjang ke ranah korupsi dan pembunuhan. Terlebih melibatkan orang terdekat Nino.
"Sa, jujur aku takut. Tapi aku nggak bisa berhenti di sini, seenggaknya aku harus menghilangkan ketakutan itu dengan membuktikan kalau yang aku takutkan ini nggak benar," tutur Nino dengan suara makin mengecil.
"Kalau seandainya itu benar, kamu nanti gimana?"
Nino tak langsung merespon, seolah memikirkan betul-betul pertanyaan Cessa. "Kalau seandainya itu benar, aku harus memastikan yang salah mendapat hukuman dan yang benar mendapat perlakuan semestinya."
"Tapi dia papamu, No. Kamu yakin sanggup memenjarakan papamu sendiri?"
"Papa mengajari aku kalau setiap perbuatan ada ganjarannya. Kalau aku berbuat salah, Papa akan menyuruhku berdiri di pojokan kamar buat merenung, atau kalau kesalahanku udab kelewatan dia akan memukul betisku pakai ikat pinggang. Kalau memang Papa bersalah, Papa harus melakukan apa yang selama ini dia ajarkan ke aku."
Cessa mengembuskan napas panjang serta menagap Nino sedih. "Hati kamu mungkin akan terluka, No."
Nino tersenyum lemah. "Kan nanti ada kamu yang akan nguatin aku dan bikin aku semangat lagi."
Nino merasa langkahnya belum terlalu jauh. Tidak, ia berada di jalan yang benar. Apapun yang tengah menunggunya di depan, Nino akan mempersiapkan diri selagi berjalan.
***
Dari selasar balkon lantai dua perpustakaan, Roni memperhatikan Nino dan Cessa membahas sesuatu serius. Entah apa yang telah Nino temukan, Roni sama sekali tak ingin menghentikan bahkan meski tahu itu menyangkut dirinya juga. Meski sebenarnya kalau mau, Roni sangat bisa menghentikan Nino. Roni akan terus memantau, sejauh mana Nino berhasil menggali kenyataan yang telah Roni kubur di pulau Langka.
Selama 19 tahun mendampingi Nino, Roni belum pernah melihat tekad semembara itu di mata Nino. Lagipula, mungkin karena semakin menua—umur 40, serta terlalu lama berusaha menjaga lubang itu, kini Roni mulai lelah hidup dalam lagak sebagai orang yang tak bisa tersentuh. Bukan hanya Nino, cepat atau lambat Cessa juga akan tahu bahwa ayah mereka tak sebaik yang mereka sangka. Keterlibatan 'takdir' membuat Roni ragu ia bisa menjaga lubang kubur keluarga Yunta hingga dia mati.
Roni baru bergeming dari tempatnya ketika Presiden Abrawan menghubunginya, Roni menjawabnya di luar agar leluasa bicara.
"Iya, benar, Pak. Kami sedang di perpustakaan nasional, katanya ada buku yang ingin dia baca. Ya, saya mengeti. Siap." Telepon itu terputus setelah Abrawan memberi pesan agar Nino pulang sekarang juga.
Tepat saat Roni membalikkan badan, tampak Nino dan Cessa sedanh berjalan lurus ke arahnya. Terlambar bagi Toni sembunyi karena toh sejak awal Nino tidak bisa dibohongi, Nino pasti tahu bahwa dia tidak akan dilepas tanpa pengawalan.
"Kalian udah selesai?" tanya Roni berbasa-basi.
"Aku pulang ikut mobilmu," ujar Nino.
"Pa, aku nggak langsung pulang, ya? Janna ngajak main, jadi nanti aku pulang agak malam," sambung Cessa pada Roni.
"Main ke mana?"
Cessa mendecakkan lidah berlagak sebal. "Ck, ke mall lah, Pa. Memangnya bisa ke mana lagi? Mungkin kami akan ke salon, jadi ...." Cessa menengadahkan tangan sambil kedip-kedip sok manis, sangat yakin papanya akan mengerti maksudnya.
Roni menghela napas seakan-akan Cessa selalu merepotkan, padahal tetap saja dia mengeluarkan dompet dan memberi meletakkan beberapa lembar uang pecahan warna merah ke atas telapak tangan Cessa. "Jangan pulang malam-malam, pulangnya naik taksi atau bilang kalau mau minta Papa jemput.
"Siap, Ndan," sahut Cessa tersenyum gegirangan, lalu berjinjit untuk mencium pipi Roni sekilas. "Pergi dulu. Dadah, Pa, dadah Nini." Cessa berlari-lari kecil menuju arah jalan raya sambil melambai-lambaikan tangan ceria.
Roni hanya bisa geleng-geleng kepala. "Dasar, anak itu." Orang-orang bilang, dia terlalu memanjakan Cessa makanya gadis itu masih suka bersikap kekanakan di usianya yang telah 19 tahun. Namun apa boleh buat? Roni tidak pernah bisa bilang tidak pada Cessa. Princessa, Roni tidak memberi nama itu tanpa alasan. Ia sungguh-sungguh ingin memberi Cessa kehidupan layaknya seorang puteri. Terlebih, Roni memiliki Cessa di usia yang terbilang cukup muda yakni 21 tahun.
"Mau tunggu di sini atau ikut ke parkiran?" tanya Roni, beralih memberi perhatian pada Nino.
"Langsung ke parkiran aja," jawab Nino, mulai melangkahkan kakinya lebih dulu menuju parkiran yang letaknya berada di lantai bawah tanah gedung.
Pikiran Nino masih kusut, memikirkan langkah apa lagi yang akan diambilnya setelah ini. Ia masih belum menemulan informasi berarti tentang Edi Usman, alangkah baiknya jika Nino bisa bsrtemu dengan dia untuk bertanya-tanya langsung. Namun, Nino tahu itu nyaris tidak mungkin. Dengan banyaknya mata yang dimiliki papanya, ia tidak akan dibiarkan mendekati Edi Usman. Nino yakin pasti ada cara lain.
"Bang, kamu udah ikut kerja sama Papa berapa lama?" Nino bertanya sesaat setelah duduk di dalam mobil, sementara Roni bersiap menyalakan mesin mobil.
"Kerja jadi bodyguard papamu udah aku lakukan sejak tamat sekolah, kalau dihitung-hitung sekitar 22 tahun."
"Berarti sejak Papa masih jadi Guberbur Jawa Barat, ya?"
"Hmm ... iya." Mobil mulai berjalan dengan mulus.
"Kamu tahu sesuatu tentang banjir bandang di Cigandas dong, Bang?"
"Banjir Cigandas?" ulang Roni padahal Nino rasa volume dan pengucapannya cukup jelas.
Nino mengiyakan dengan tatapan lurus ke jalanan, kendati sebenarnya ia penasaran dengan ekspresi wajah Roni. "Iya, banjir Cigandas. Berita terakhir yang Damar Yunta angkat sebelum menghilang." Nino lalu menolehkan kepala, menatap Roni dari samping. "Bang, kira-kira aku bisa percaya sama kamu atau enggak?"
Sebelah sudut sudut bibir Roni tampak tertarik ke atas, pria itu kemudian melirik Nino sekilas sambil berkata, "dengan kamu tanya begitu, artinya kamu nggak percaya sama aku."
Nino mengembalikan pandangannya ke jalanan di depan."Aku nggak yakin bisa percaya sama orang lain saat ini. Apa kamu akan melaporkan apa yang aku cari tadi ke Papa?" tanya Nino lagi.
"Aku nggak tahu kamu tadi cari apa."
Nino tak berkata-kata lagi setelah itu, ia tahu Roni berbohong. Namun ada sedikit harapan bahwa dari semua orang, setidaknya ia ingin bisa mempercayai Roni.