Nino duduk dengan kikuk, tak nyaman menjadi pusat perhatian keluarga Yunta. Ia tidak bisa menolak saat Eliza sendiri yang menjemputnya dan memaksanya untuk ikut pulang saat Nino tengah membuat bivak dengan susah payah lantaran ia tak punya alat, sementara gerak tangan kanannya sangat terbatas akibat luka itu. Mata Eliza tadi terlihat sembab, seolah dia sedang sedih sehingga Nino tidak tega menambah kesulitannya jika Nino menolak.
Dan sekarang, mereka mendudukkan Nino di tengah-tengah meja makan. Anehnya, jika biasanya yang terhidang di meja itu adalah makanan-makanan enak dan beragam. Malam ini yang ada di meja hanya satu tandan buah pisang, itu pun bukan jenis pisan Cavendis yang biasa dimakan oleh Adrian dan Anisya, melainkan pisang kecil-kecil seperti yang banyak tumbuh di hutan pulau.
"Ayo, makan kali yang banyak. Kamu pasti lapar, kan, searian tadi nggak makan," ujar Eliza menyurukkan satu sisir pisang di depan Nino.
Itu dia anehnya, jika mereka memang peduli Nino belum makan seharian, pastinya mereka akan menyediakan makanan lebih banyak dan menggugah selera. Nino benar-benar bingung, apa keluarga ini kehabisan bahan masakan sehingga tidak ada makanan enak di meja akan?
Namun, itu hanya satu keanehan. Keanehan lainnya adalah Alin dan Adrian yang mendadak kalem. Ah, sebenarnya semua keluarga Yunta mendadak jadi tidak banyak bicara, kecuali Anisya. Bocah itu tetap bersikap seperti biasanya, duduk anteng sambil memandangi Nino senyum-senyum manis. Jujur saja, keanehan ini membuat Nino merinding tapi berusaha ditutupi dengan terus makan. Mungkin lantaran seharian belum makan, Nino kalap seperti orang satu minggu tidak melihat makanan.
Menyadari hanya dirinya sendiri yang makan sedari tadi, Nino melirik mereka semua dengan sungkan. "Kalian nggak makan."
"Makan. Kami makan." Eliza lantas membagikan satu buah pisang pada masing-masing orang, dan mengawali memakannya lebih dulu. "Ayo semua makan."
"Enak, Mama," sambung Anisya, menggigit satu pisang pertamanya.
"Benarkah kamu adalah manusia?" Celetukan Alin sontak membuat seluruh perhatian tertuju padanya.
"Alindra," tegur Damar. Tak terhitung berapa kali dia menegur Alindra sepanjang hari ini. Di luar dugaan Damar dan Eliza, Nino tak terlihat bingung ataupun tersinggung.
"Kalau aku bukan manusia, lalu apa? Hantu?" balas Nino, terdengar acuh tak acuh. Segala keanehan keluarga Yunta tak mau ditanggapinya terlalu serius."Sama sekali ngga saya pikirkan kok," jawab Nino jujur. "Saya ngerti Alin mungin merasa nggak nyaman ada orang asing di rumahnya. Tapi apa saya boleh tanya?"
"Ya, tanya saja. Apa?" sambut Eliza. Seandainya ia tidak mempertimbangkan kemungkinan Nino akan merasa tidak nyaman, Eliza sangat ingin memeluknya. Berhubung hal itu mustahil dan malah akan membuat Nino semakin bingung, satu-satunya yang bisa Eliza lakukan untuk memuaskan kerinduannya adalah memandangi wajah Nino dengan tatapan haru. Semakin lama Eliza memandangi wajah Nino, semakin ia percaya bahwa Nino adalah Alden, anaknya. Eliza kemarin-kemarin tidak menghiraukan betapa miripnya bentuk mata serta alis milik Nino dengan mata dan alis milik Alin dan Anisya yang mewarisi mata dan alis milik Damar. Lalu setiap Nino tersenyum, Eliza merasa seolah sedang melihat cerminan dirinya. Mereka mirip sekali.
Nino menatap Eliza dan Damar bergantian. "Apa kalian balik lagi sama saya karena tahu saya bukan anak kandung Papa saya, Arman Abrawan?"
"Eh?" dengug Damar, tak menyangka Nino akan menembaknya dengan pertanyaan itu. "Kenapa ... kamu mikir begitu?" balik tanya Damar, selagi memikirkan jawaban yang tepat sehingga tidak akan menimbulkan pertanyaan lain.
"Saya hanya menebak-nebak saja." Nino tersenyum hambar. "Dan sejujurnya saya juga masih menunggu. Anda bilang, Anda mau membertahu saya sesuatu tentang Papa. Sesuatu yang membuat Anda melabeli Papa saya sebagai orang jahat."
"Ah, itu ..," gumam Damar. Sesaat Damar dan Eliza saling lempar pandangan, mereka telah menyepakati sesuatu terkait hal itu. "Nggak usah pikirkan, kami mungkin salah paham. Namanya juga politisi. Mungkin dia nggak seburuk yang kami kira."
"Papa?" Kali ini giliran Alin yang menegur, namun dia hanya mendapat gelengan pelan dari Damar. Isyarat agar dia tidak meneruskannya.
Kerut keraguan masih nampak di wajah Nino, Damar pun menambahkan. “Bahkan seandainya pun Arman Abrawan pernah menjahati kami, kami seharusnya nggak melampiaskan kemarahan ke kamu hanya karena ... kamu adalah anaknya.”
“Tetap saja, pasti ada sesuatu yang membuat Anda salam paham.”
“Ya, tentu saja memang ada. Tapi kamu nggak perlu tahu itu. Anggap ini urusan orang dewasa.”
“Benar,” timpal Eliza. “Mulai sekarang, anggap kami jadi keluargamu karena kita nggak tahu kapan tim penyelamat akan menjemput kamu, kan?” Senyum Eliza bertegar di ujung kalimatnya, di saat yang sama Damar meremas tangannya di bawah meja. Menyalurkan kekuatan.
“Bukannya dia akan tinggal di sini selamanya?” celetuk Adrian.
“Ngg—“
“Tidak bisa,” sela Damar membuat Nino mengatupkan bibirnya lagi.
“Maksud Papa, Nino punya keluarga dan kehidupan pribadinya. Tentu saja dia tidak bisa di sini sama kita selamanya.”
“Tapi, kan—“
“Ini, makin lagi,” sergah Alin, menghentikan Adrian. Adiran menerucutkan bibir sebal, sadar tak ada yang mengkhendakinya bicara.
"Adrian seharian sudah makan pisang, aku yakin setelah ini dia pasti akan mencari pohon buat tidur," ujar Alin, memecahkan suasana tak nyaman yang bermula dari pertanyaannya.
Adrian menggebrak meja pelan, merasa tersinggung. "Maksudmu aku jadi monyet?"
"Aku nggak bilang begitu." Alin memutar bola mata acuh tak acuh. Masih merasa tak nyaman, Alin kemudian berdegem dan lirikanya dialihkan pada Nino. "Maaf, aku kemarin sempat kesal tapi sekarang udah enggak."
"Itu minta maaf apa ngajak berantem? Nggak tulus amat." Adrian membalas ejekan Alin.
Alin mendelik galak. "Tutup mulutmu," geram Alin.
"Kalau mulutku ditutup gimana Kakak Adri makan pisangnya?"
Serentak semua kepala menoleh pada Anisya yang sejak tadi senyum-senyum saja. Dipandangi semua orang, Anisya tersenyum sangat lebar. Dan senyum itu menular ke bibir-bibir orang di sekelilingnya. Praktis suasana berangsur-angsur cair, dengan Alin dan Adrian bertengkar lagi.
Nino tanpa sadar ikut tertawa melihat Alin makin brutal, memiting leher Adrian, sementara Adrian malah tambah memprovokasi Alin lewat cibiran-cibirannya. Ada perasaan hangat melingkupi hati Nino berada di tengahtengah keluarga ini. Ruang makan rumah sederhana milik keluarga Yunta diliputi tawa meriah, sesuatu yang baru Nino sadari tidak pernah ia temukan di rumah megahnya.
***
Nino berdiri di depan jendela, dalam hati bersyukur karena Eliza menjemputnya karena jika tidak, Nino akan bermalam di tengah badai dan petir. Di saat yang sama Nino juga mencemaskan sinyal pertolongan yang dibuatnya. Dengan badai separah ini tanda-tanda itu pasti akan rusak, ini artinya terbuang lagi satu malam percuma—tidak ada kemungkinan ada pesawat atau kapal lewat. Besok Nino harus bekerja keras lagi untuk membuatnya.
"Nino, ngapain kamu berdiri di sana? Sini, giliran kamu."
"Oh, udah giliran aku, ya?" Nino langsung merespon panggilan Damar dan beranjak dari depan jendela untuk kembali ke tengah-tengah ruang tamu.
Usai makan malam dengan menu satu tandan pisang itu, entah bagaimana bisa semua anggota keluarga Yunta kompakan tidak bisa tidur. Adrian lalu mencetuskan ide untuk bermain ular tangga, setiap yang mendapat ular turun wajahnya akan dicoret dengan bedak bayi. Mereka telah melakukannya berkali-kali putaran, tetapi masih tetap menyenangkan dimainkan berulang-ulang. Sejauh ini yang paling sial adalah Alin, nyaris tak ada ruang bersih di wajahnya lagi. Semuanya telah tertutup bedak putih. Sedangkan yang paling beruntung adalah Anisya, di wajahnya baru ada dua coretan bedak.
"Yay, Kakak Alin kalah lagi," Anisya besorak usai patungnya bermasuk mencapai finish lebih dulu, mengalahkan Alin yang nyaris menang setelah sekian kali berada di urutan terakhir.
Alin mendecakkan lidah, dengan sebal ia mengacak papan permainan itu hingha berantakan. "Udah, ah, aku nggak mau main lagi."
"Dih, ngambek," ejek Adrian.
"Bodo," dengus Anisya tak peduli.
Nino terkekeh-kekeh kecil, sembari mengumpulkan patung dan dadu yang berserakan. "Udahan, nih?" tanyanya.
"Gimana? Nggak kalah seru, kan, sama permainan tahun 2021?" Damar menepuk pundak Nino yang kokoh. Bayi kecil umur lima harinya kini hampir menjadi pria dewasa.
Nino tetawa. Semula Nino ragu, memangnya apa menyenangkannya permainan kuno ini, mengingat Nino tumbuh dengan permainan yang serba modern. Anak-anak zaman sekarang jika mendengar kata permainan, pasti yang ada di pikiran mereka adalah permainan di gadget. Setelah dicoba, ternyata menyenangkan juga melakukan permainan ini beramai-ramai.
"Ya, lumayan lah," jawab Nino berlagak acuh tak acuh, padahal ia sangat senang. "Mungkin karena dimainkan ramai-ramai makanya menyenangkan. Jujur saja, aku ini pengalaman pertamaku main permainan sama ehm ... keluarga." Setelah tawa yang dibaginya bersama keluarga Yunta, Nino merasa telah menyatu dengan keluarga ini meski masih terasa aneh menganggap mereka keluarga sendiri.
"Kamu nggak punya adik atau kakak?" tanya Alin.
Kepala Nino menggeleng pelan. "Aku anak tunggal. Saat mengadopsi aku, Papa sudah cerai dari istrinya. Jadi bisa dibilang, keluarga intiku cuma ada aku dan Papa."
"Rumah kalian pasti sepi sekali," desah Adrian.
"Mana mungkin sepi," sahut Alin. "Mereka tinggal di istana kepresidenan, di sana pasti banyak pekerja. Jadi pasti ramai lah. Iya, kan?"
"Adrian benar."
"Tuh, kan." Adrian menepuk daada bangga, senang mematahkan ke-soktahuan Alin.
Nino mendesah pelan. "Sebelum kami pindah ke istana pun, rumah selalu banyak pekerja. Tapi ya gitu, namanya mereka di sana kerja, bukan keluarga. Saat masih kecil, setiap hari aku lebih banyak menghabiskan waktu sama dua orang pengasuhku, saat aku makin dewasa aku sibuk sekolah dan les sampai malam hari. Meskipun tinggal serumah, kami jarang bisa makan bareng karena kesibukan Papa dan semua kegiatanku. Meski begitu, di sela-sela kerjaanya, Papa selalu ngecek keadaan aku. Rumah memang sepi, tapi untungnya Papa nggak pernah membiarkan aku sampai merasa kurang perhatian."
"Beda banget sama keluarga kita, ya?"
"Iya, beda banget. Kalian di sini selalu makan bersama, selalu ada yang membuat tertawa. Mungkin ini sisi baiknya menjadi naturalis, kalian nggak disibukkan dengan hal lain dan benar-benar menjalani hidup tanpa ambisi dan tekanan."
"Apa kamu senang kumpul sama kami di sini?" Pertanyaan Damar kontan membuat Alin, Adrian, dan Anisya menatap Nino lekat, benar-benar ingin tahu jawaban Nino.
"Aku senang bisa mengenal kalian," jawab Nino disertai senyuman. "Apalagi kalian menyuruh saya menganggap menjadi bagian keluarga ini. Berkat kalian, aku punya kesempatan merasakan oh begini rasanya punya keluarga lengkap. Ada ayah, ada ibu, ada saudara-saudara. Karena kayak yang kalian tahu, di keluargaku cuma ada Papa," ungkap Nino bersungguh-sungguh.
"Kami juga senang bisa mengenal kamu," balas Damar, menahan desakan haru.
"Aku juga," timpal Anisya ceria.
"Aku juga," Adrian menyambung. Beberapa saat tak ada sambungan lagi, kepala Damar dan Adrian serta Anisya menoleh pada Alin.
Menyadari dirinya dituntut bersuara yang sama, Alin mendesah berat seolah tak ikhlas padahal sebenarnya hanya gengsi mengakui. "Hmm, aku juga."
Damar, Adrian, dan Anisya tersenyum mendengar suara Alin. "Kamu dengar itu?" ujar Damar pada Nino. "Kami semua juga senang kenal sama kamu. Jadi, tetap anggap kami keluargamu dan sampai kapanpun jangan pernah lupakan kami sebagai keluargamu."
Nino mengangguk-angguk. "Pasti. Seandainya aku bisa keluar dari pulau ini, aku akan mengunjungi kalian lagi. Tapi kalaupun aku terjebak di sini selamanya, kayaknya di sini bersama kalian nggak terlalu buruk juga."
Diluar dugaan Nino, Damar menggeleng tegas. "Enggak. Kamu harus keluar dari sini dalam keadaan hidup-hidup, tempat ini bukan tempat yang bisa kamu tinggali."
"Maksudnya, tempat ini bukan tempat yang bisa aku tinggali itu apa?" Nino mengernyit tak mengerti. "Kenapa kalian bisa tinggal di sini tapi aku enggak?"
"Karena kita berbeda."
"Apa bedanya? Ini nggak ada hubungannya sama aku yang bukan keluarga sekandung kalian, kan? Bukankah kita sama-sama manusia."
Sekali lagi, Damar menggeleng tegas. "Pulanglah ke tempatmu, hiduplah dengan baik dan menjadi orang baik. Kamu nggak perlu mengunjungi kami, cuma ingat dan doakan kami di sini."
Nino tak punya kata-kata untuk dibalas. Setelah sejak awal keluarga Yunta seolah menyuruh Nino pasrah, sekarang mereka malah mendukungnya untuk pergi. Kendati merasa aneh, namun Nino berusaha menyikapinya secara positif. Akhirnya Nino hanya berterima kasih.
"Adik mau main lagi?" tanya Anisya penuh perhatian, sekaligus menjadi pengalih perhatian.
Nino meringis kecil, habis akal membuat Anisya berhenti memanggilnya adik dan memperlakukannya seperti adik sungguhan. "Siapa lagi yang mau main?" Jawaban Nino akan tergantung pada keikutsertaan yang lain.
"Ayo, deh," sambut Adrian. "Papa?"
"Papa nggak ikutan dulu, mau bantuin Mama bikin cemilan di dapur. Nanti Papa ikut lagi."
"Oh iya, benar juga. Mama bikin cemilan dari tadi belum jadi-jadi."
"Makanya mau Papa bantuin. Kalian main aja lagi," ujar Damar terakkhir, sebelum beranjak mengecek keadaan Eliza yang ia tebak pasti sedang menangis sembunyi-sembunyi.
Dan, benar dugaan Damar. Eliza memang tengah menangis di dapur sambil menguleni adonan tepung aci. Membuat cemilan sebenarnya hanya alibi agar bisa menyingkir.
Damar menghela napas. "Kamu nggak capek dari tadi nangis terus, Liz?" tanyanya. "Nanti kalau Nino lihat, dia pasti akan bingung."
"Aku juga nggak mau nangis terus," balas Eliza sewot. "Aku senang sekali dengar suara anak-anak ketawa," ungkapnya.
Eliza menyeka air matanya menggunakan tangan kiri. "Aku senang sekaligus sedih karena cepat atau lambat, Alden akan pergi lagi dari kita."