Nino akhirnya berhasil menemukan ujung benang kusut itu untuk diurai. Saru yang pasti dan jelas terjadi, papanya telah berbohong. Entah mengenalnya secara pribadi atau tidak, yang jelas papanya tahu bahwa di masa lalu ada seseorang.memiliki nama Damar Yunta dengan sebagian deskripsi yang telah terkonfirmasi sama—wartawan. Pantas saja sewaktu pertama kali Nino menyebutkan nama Damar Yunta, papanya sepucat mayat dan ingin menjauhkan Nino dari media, takut sewaktu-waktu Nino keceplosan mencetuskan nama itu, lalu yang jadi mayat hidup itu satu negara.
Sekarang, yang harus Nino pastikan adalah apakah tuduhan Damar Yunta itu benar? Bahwa papanya—Abrawan adalah seorang penjahat kemanusiaan yang telah memakan dana bantuan bencana alam hingga membuat mereka semua kepalaran dan pada akhirnya meninggal dunia. Lalu, baru Nino akan mulai mencari jejak kepergian Damar Yunta.
Seseorang tidak mungkin bisa menghilang sesempurna itu, dengan segala kecanggian teknologi yang petugas miliki, bukan tidak mungkin mereka sebetulnya sudah tahu d8 mana Damar Yunta. Hanya saja, sengaja ditutup-tutupi hingga seolah tidak pernah ada dan dibiarkan lah Damar Yunta menghilang dengan meninggalkan image buru.
Lalu, bagian mengapa Nino bisa melihat arwah keluarga Yunta, Nino tidak yakin hal itu bisa akan dapat dijelaskan dengan logika. Namun, lebih dari apapun, Nino percaya tidak ada sesuatu yang terjadi begitu saja. Semua, pasti ada alasannya.
Nino belum menemukan cara dan bahkan belum mengetahui keberadaan Edi Usman di mana sebab ia tidak punya koneksi dengan jurnalis dan kalaupun ada, terlalu berisiko jika ia menghubunginya untuk bertanya. Pasti akan lebih baik jika Nino memiliki setidaknya satu orang yang dapat dipercaya. Roni jelas tidak mungkin, selama ini dia bahkan tidak keberatan disebut sebagai anjing saking setianya dengan Abrawan. Sedangkan Cessa, dia adalah anak Roni. Nino takut Cessa akan membeberkan tiap gerak geriknya pada Roni.
Namun, tindakan Roni yang telah memberinya kebebasan untuk keluar sendirian membuat Nino bimbang, sebenarnya pengawalnya itu ada di pihak siapa. Roni jelas-jelas tahu bahwa Nino tengah melakukan hal yang tidak akan membuat papanya senang.
Nino sedikit bisa bernapas lega karena papanya semalam berangkat ke luar negeri untuk menghadiri sebuah konferensi antar bangsa selama sepuluh hari lamanya. Dan, secara kebetulan siang harinya, jagad media daring memberitakan bahwa pria yang memprotes Presiden Abrawan, meninggal di dalam tahanan akibat serangan jantung. Nino tetap saja sangat terkejut dan kesulitan memahami apa yang kiranya tengah terjadi. Serangan jantung, kebetulan tersebut menimbulkan bau amis yang mungkin saja sumbernya hanya dari prasangka Nino saja.
Maka, di sini lah Nino sekarang. Berada di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah duka Edi Usman, yang masih ramai lantaran jenazah baru saja dipulangkan dari ruamh sakit. Kendati Nino sendiri tak tahu apa yang Nino lakukan di situ. Nino hanya ingin mendoakan dia dan berharap almarhum tidak membawa ganjalan ketika meninggal. ...
Iring-iringan jenazah telah berangkat ke makam beberapa waktu lalu. Nino masih di tempat sama hingga para keluarga kembali ke rumah, semata-mata Nino tidak tahu mau ke mana dan pulang adalah hal terakhir yang ia inginkan.
Seseorang lelaki mengetuk kaca pintu samping Nino, tampak seorang lelaki yang sepintas bisa disebut kakek-kakek yang memakai baju koko putih dan peci.
"Kamu siapa?" tanyanya sesaat, setelah Nino menurunkan setengah kaca mobilnya. "Dari tadi saya mengawasi kamu, ya. Jangan macam-macam, siapa yang menyuruhmu mengawasi keadaan di sini."
Nino mengerejap, tak siap dengan tuduhan tersebut. "Bukan, saya ... cuma asal parkir, karena—"
"Kalau parkir jamgan di depan rumah orang," potong Kakek itu. Lalu tiba-tiba dia terdiam dan menyipitkan mata, memandangi wajah Nino sedemikian seriusnya hingga keningnya yang telah dipenuhi kerutan alami, jadi makin kusut. "Tunggu ... kamu, yang sempat hilang itu, kan? Kamu anaknya Abrawan, kan?"
"Bukan. Maaf, Anda salah orang," jawab Nino cepat lalu bergegas menaikkan kembali kaca mobil, tapi Kakek itu lebih dulu menahan kacanya sehingga Nino tak bisa menutupnya.
"Benar, itu kamu ...," gumam Kakek itu lagi, membuat Nino mendesah lemah. Apa daya? Ia tidak bisa mengelak lagi. "Apa yang kamu lakukan di sini? Abrawan nggak mungkin kekurangan preman sampai harus mengirim anaknya sendiri untuk melihat hasil perbuatannya."
Sontak Nino menolehkan kepalanya cepat. "Maksud Anda apa?"
Namun alih-alih langsung menjawab, Kakek itu menghela napas panjang dan mengubah ekspresinya menjadi datar. "Apapun tujuanmu ke sini, pulanglah. Edi sudah meninggal, nggak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Kamu masih sangat muda. Bilang ke ayahmu, kalau dia pasti bisa mendapat gelar pahlawan nasional di masa yang akan datang." Usai mengatakan itu si Kakek langsung beranjak pergi, membuat Nino yang merasa pembicaraan mereka belum selesai pun buru-buru meraih topi hitam yang dibawanya dan menutupi kepalanya dengan hoodie, sebelum kemudian keluar dari mobil dan mengejar kakek itu.
"Kenapa Papa harus tahu kalau Pak Edi sudah meninggal?" tanya Nino, tepat saat kakek itu hendak membuka pagar sebuah rumah. Rupanya tempat tinggalnya masih satu jalan dengan Edi Usman.
"Pulanglah, nggak ada yang bisa kamu lihat di sini. Semua sudah selesai," jawab Kakek itu bahkan tanpa memandang Nino.
"Tolong beri tahu saya kenapa Papa saya nggak boleh menjadi pahlawan," lanjut Nino dengan suara lemah, sarat akan permohonan.
Perlahan kakek itu memutar badan dan sesaat hanya diam memandangi wajah Nino. "Apa itu yang membawamu ke sini?"
"Beberapa hari lalu, saya melihat Pak Edi mengangkat poster di acara yang dihadiri Papa dan ternyata itu bukan aksi pertama Pak Edi. Saya mencari tahu tentang Pak Edi tapi nggak banyak yang bisa saya temukan selain informasi bahwa dulu dia sempat bekerja sebagai wartawan. Saya ingin tahu, apa yang membuat beliau menuntut agar Papa diselidiki."
"Hanya itu?" tanya si Kakek, meragukan Nino. "Edi bukan satu-satunya orang yang memprotes Abrawan, lalu kenapa kamu penasaran sama dia sedangkan sama protestan yang lain tidak?"
Bagaimana Nino harus menjawabnya. Nino memaksa otaknya berpikir keras, mencari alasan. Namun sepertinya Kakek itu tak sabaran atau malah menganggap Nino kebingungan merangkai kebohongan.
"Sudah lah, pulang saja. Tidak—"
"Karena Pak Edi mungkin kenal dengan Damar Yunta."
Jelas terlihat perubahan air muka Kakek itu, dalam sekejap wajahnya tampak mengeras setelah mendengar nama itu tercetus dari bibir Nino. "Damar Yunta?" tanyanya, tampak mengenal nama tersebut.
Nino menganggukkan kepala pasti. "Betul, Damar Yunta."
"Masuklah," kata Kakek itu sangat pelan setelah ada jeda sebentar, lalu membuka pintu gerbang sebatas pinggang orang dewasa itu agar bisa dilewati.
Nino mengikuti langkahnya dari belakang. Bangunan rumah satu lantai itu tampak sederhana, sama seperti rumah-rumah lain di sekitarnya. Suasana di dalam rumah tampak sepi. Nino mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu, tempatnya berada sekarang. Perhatian Nino langsung jatuh pada sebuah figuran foto yang tertempel di salah satu sisi dinding. Tanpa sadar, Nino membawa langkahnya makin mendekat agar bisa melihat lebih jelas.
Foto itu adalah foto lama, terlihat dari kualitas warnanya. Ada beberapa orang di di sana, berpose di depan sebuah bangunan dengan plang nama Sinar Terang Media. Dan, di antara beberapa orang dalam foto itu, Nino langsung mengenali salah seorang di antaranya. Siapa lagi kalau bukan Damar Yunta.
Di titik ini, Nino yakin ia sedang berbicara dengan orang yang tepat.