09 | Kehidupan Abadi

1202 Kata
"Papa jahat!" Alindra berteriak, setelah Damar membuatnya duduk bersimpuh dengan kedua tangan diangkat ke atas. Meski begitu, Alin tidak menyesal karena ketahuan menusuk Nino menggunakan pisau tadi malam. Damar menatap tenang sang anak sulung. "Kendalikan kemarahanmu, Lin. Papa mengerti perasaan kamu. Tapi coba pikir lagi baik-baik, apa Nino pantas dihukum atas sesuatu yang bukan perbuatannya?" "Pa, Tuhan mengirim dia ke sini supaya kita bisa menghukum dia." "Jangan sok tahu, kamu bukan Tuhan." "Lalu apa? Dari sekian banyak manusia, kenapa dia yang dikirim ke sini?" Damar memejam, berusaha menebalkan kesabaran. Kemarahan tampaknya telah merasuki tiap sel tubuh Alin, tak cuma di hatinya saja. Ia dan Eliza terkejut sekali sewaktu tadi pagi melihat pisau menancap di perut Nino, mereka tidak perlu berpikir untuk mencari tahu siapa pelakunya. Nino sendiri dalam keadaan tak sadarkan diri, kemungkinan lantaran terkejut. Alin melakukan pembunuhan sia-sia sebab Nino tidak mungkin bisa mati untuk kedua kalinya. Sesaat setelah pisau itu ia cabut, luka tusukan itu perlahan menutup, kembali mulus seolah tak pernah terkoyak benda tajam sebelumnya. Seperti yang terjadi pada mereka selama ini jika terluka. Namun, hanya karena tak 'terluka' dan tak bisa meradakan sakit lantas mereka boleh bebas melukai orang lain ataupun diri sendiri. Kenyataan mereka tidak bisa terluka dan mati saja sudah cukup menyakitkan. "Alin, dengar Papa. Yang semalam itu harus jadi yang pertama dan terakhir kalinya Papa melihat kamu menjadi seorang pembunuh. Nino sudah cukup dihukum dengan terjebak di kehidupan abadi ini sendirian, sedangkan kita masih memiliki satu sama lain. Papa percaya, meski mungkin nggak sekarang, yang bersalah kelak pasti akan mendapat hukuman setimpal. Semesta punya caranya sendiri dalam bekerja," jelas Damar lebih lembut. "Maafkan Papa karena udah menempatkan kalian di situasi ini. Kalau dicari siapa yang salah, Papa juga bersalah. Seandainya Papa dulu nggak keras kepala, ini mungkin nggak akan terjadi." "Enggak, Papa nggak salah," sahut Alin dengan suara bergetar. "Yang salah itu orang jahatnya. Papa nggak salah." Damar menganggukkan kepala satu kali. "Benar, itu dia. Yang salah, orang jahatnya. Alin membuka mulut ingin mendebat tapi urung, sebagai gantinya ia mendundukkan kepala. Tanda bahwa dirinya kalah dalam mendebat papanya. *** Nino tersentak bangun dari tidurnya, seketika ia memegang perutnya sendiri. Dengan takut-takut ia menundukkan pandangan menatap bagian tubuhnya itu. Bersih, tidak ada darah. Nino lantas menyingkap kaosnya ke atas dan mendapati perutnya tidak ada luka apa-apa. Tubuh Nino meremang, apa yang semalam itu cuma mimpi? Tetapi mengapa rasanya nyata sekali? Atau, sebenarnya Nino telah mati? Nino melirik sekitar, ia masih berada di tempat di mana ia tidur tadi malam. Matahari telah bersinar di balik jendela dan Nino dapat merasakan embusan angin menerpa kulitnya. Dalam imajinasinya selama ini, orang yang sudah meninggal tidak akan ditempatkan di bumi. Mereka akan dikumpulkan di sebuah padang yang luasnya tak terbatas, menunggu giliran untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka perbuat mau itu kebaikan ataupun keburukan semasa hidup. Untuk meyakinkan diri, Nino mencubit lengannya sendiri dan seketika itu juga Nino mengaduh tertahan karena sakit. Butuh beberapa waktu bagi Nino mampu mencerna semua ini sebagai mimpi. Mengingat banyaknya hal yang menganggu pikirannya belakangan ini, wajar jika ia berpikir yang aneh-aneh. Nino mengusap wajah dengan kedua tangan, berusaha untuk tidak memikirkan mimpi itu lagi. Nino sudah pasti sangat kepikiran dengan sebab Alin dan Adrian mendadak membencinya sampai-sampai terbawa hingga mimpi. Sepertinya hari sudah cukup siang, suasana rumah sangat sepi. Antara semua orang sudah masih tertidur atau sudah mulai beraktifitas di luar. Nino lantas bergegas untuk membereskan alas tidurnya untuk menyapa pemilik rumah. Setelah berkeliling seluruh penjuru rumah, Nino tidak menemukan satu orang pun di sana. Di dapur, Nino melihat tudung saji kecil di atas meja makan. Saat Nino membukanya, di sana ada satu porsi makanan yang mungkin sengaja Eliza sisakan untuknya. Nino menghela napas, keluarga ini membuat dirinya merasa nyaman sekaligus takut di saat bersamaan. " ... salah tapi Mama nggak tega menyalahkan dia." Nino sontak menajamkan telinga mendengar suara Elia yang terdengar samar-samar dari arah luar. Tepatnya dari arah kebun belakang rumah. "Kalau nggak begini, dia akan terus mengganggu Nino. Bukan berarti keadaan kita kayak gini, dia boleh seenaknya. Kalau begitu, apa bedanya kita sama Arman Abrawan?" Deg! Nino menegang di detik nama papanya disebut oleh Damar. Kenapa ada nama papanya dibawa-bawa? Nino pun memilih menutup kembali makanan itu dengan tudung saji, lalu mendekat ke arah pintu penghubung antara rumah dan kebun yang tertutup itu. "Sejujurnya, aku juga nggak suka menampung dia di sini. Tapi aku nggak tahu kenapa aku nggak tega mengusir dia. Sejak tahu kalau ini tahun 2021, bayanganku tentang Alden, bayi kecil kita berganti jadi dia. Alden kita saat ini pasti sudah sebesar dia." Nino sama sekali tidak mengerti apa yang tengah pasangan itu bicarakan. Mengapa dari menyinggung nama papanya sekarang jadi menyebut-nyebut nama asing. Memangnya apa hubungan papanya dengan Alden-Alden itu. Pertakataan Eliza itu ditimpali kekehan kecil yang terdengar hambar oleh Damar. "Kamu tahu, Liz? Aku juga merasa begitu. Nino pemuda yang sopan dan kelihatan pintar, aku berharap Alden kita tumbuh menjadi pemuda seperti dia. Pasti ada alasan kenapa Nino bisa ada di sini bersama kita." "Benar, kan, Pa? siapa yang akan menyangka anak sebaik itu ternyata dibesarkan oleh seorang penjahat." Kedua mata Nino terbelalak terkejut, siapa mereka bisa mengatakan papanya adalah seorang penjahat? Tangan Nino hampir saja membuka pintu untuk menanyakan maksud mereka, tapi urung setelah mendengar suara Eliza selanjutnya. "Setidaknya biarkan dia tahu manusia seperti apa papanya itu." "Itu artinya kita akan membuat seorang anak membenci ayahnya sendiri." "Gimana rasanya hidup lagi setelah mati?" Nino memutar badan cepat saat tiba-tiba suara Adrian mengeinterupsi dan Nino menatapnya tak mengerti. Ia bingung harus meladeni Adrian atau membuka pintu untuk minta kejelasan apa yang didengarnya dari Damar dan Eliza barusan. Nino menghela napas dan akhirnya mencoba untuk mencari kejelasan dari Adrian terlebih dahulu. Nino maju tiga langkah, memperpendek jarak antara dirinya dengan Adrian agar mereka lebih nyaman bicara. "Bisa tolong jelaskan apa yang terjadi? Memangnya salah kalau aku anaknya Presiden?" tanya Nino. Setelah dipikir-pikir, sikap Alin berubah sejak ia memberi tahu bahwa ayahnya adalah Arman Abrawan. Ditambah tadi nama ayahnya juga terselip dalam obrolan Damar dan Eliza. "Iya, salah karena papamu adalah orang jahat," jawab Adrian setengah berteriak dan cairan air mata menggantung di pelupuk matanya. Bocah itu sakit hati karena orang yang sudah ia anggap teman baik ternyata adalah anak orang yang sudah membunuh ia dan keluarganya. Teriakan Adrian agaknya terdengar hingga luar lantaran sejurus kemudian pintu di belakang Nino terbuka, menampakkan Damar dan Eliza muncul dari baliknya. Baguslah, selesaikan saja sekalian kalau begitu. "Kalian kenal dengan papaku?" tanya Nino menatap Damar dan Eliza bergantian, menuntut kejelasan. "Arman Abrawan, kan? Tentu saja, siapa yang nggak kenal sama dia. Apalagi sekarang dia jadi orang nomor satu di RI," jawab Damar, padahal Nino sangat yakin Damar paham bukan jawaban itu yang Nino ingin dengar. "Tadi saya mendengar kalian bicara. Apa yang harus saya tahu tentang Papa saya?" tanya Nino menatap Eliza, lalu beralih menayap Damar. "Kenapa Anda pikir itu akan membuat saya membenci ayah saya sendiri." Damar menghela napas dan sesaat saling melempar pandang dengan Eliza. Lalu menghela napas lagi. "Tenangkan dirimu," ujarnya pelan. "Nanti akan aku ceritakan semuanya. Apakah kami kenal Arman Abrawan, mengapa kami bisa ada di pulau ini, dan mengapa kami bilang kamu nggak akan pernah bisa kembali ketemu papamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN