11 | Luka (tak) Berdarah

1589 Kata
Enam hari pasca tragedi kecelakaan itu terjadi, hampir seluruh media di Indonesia masih menjadikannya headline utama. Hampir semua korban baik yang selamat maupun meninggal dunia telah berhasil dievakuasi ke daratan. Pencarian besar-besaran masih terus dilakukan oleh gabungan tim badan penaggulangan bencana nasional dan militer angkatan laut dan udara. Beberapa negara tetangga juga mengirim bantuan tim pencari dengan armada mereka. Salah satu yang belum juga diketahui keberadaan nasibnya adalah Clevonino Abrawan. Sebagian besar fokus pemberitaan media kini tertuju pada misteri keberadaan Nino. Banyak yang memuji sikap presiden dalam menyikapi tragedi ini. Alih-alih emosional seperti halnya keluarga korban lainnya, Abrawan bersikap tenang dan memberikan arahan sebagaimana yang dilakukan seorang Presiden. Netizen banyak yang memuji sekaligus bersimpati terhadap Arman sebagai presiden sekaligus sosok ayah yang kehilangan anaknya.  " ... korban Bagus Cahya mengaku dirinya keluar dari pesawat sesaat sebelum pesawat mendarat di laut bersama dengan Clevonino Abrawan dan beberapa orang penumpang lain. Apakah dengan kesaksian itu kita dapat berasumsi bahwa Clevonino Abrawan masih hidup?" Arman Abrawan menatap datar, layar televisi besar di depannya yang tengah menampilkan acara talkshow dengan seorang pengamat penerbangan sebagai narasumbernya. "Begini, kita semua tentunya berharap Clevonino masih dapat ditemukan dalam keadaan selamat. Tetapi jika melihat lokasi jatuhnya pesawat dan hari ini adalah hari ke enam sejak pesawat itu jatuh, kita harus berpikir realistis juga. Akan sangat sulit bagi Clevonino bertahan dalam waktu selama itu. Kalaupun dia terdampar di pulau seperti yang dipaparkan Badan Penanggulangan Bencana kemarin, tubuh manusia hanya mampu bertahan sekitar 8 hari tanpa makanan dan minuman. Kita--" Abrawan mematikan televisi itu dan menoleh menatap sekretarisnya yang sejak tadi setia berdiri di sebalah kursi tempatnya duduk. "Ada perkembangan apa?" "Masih belum ada perkembangan berarti--" Brak! sekretaris bertubuh tinggi dan tegap itu terkesiap terkejut saat tahu-tahu Arman Abrawan melemparkan remot di tangannya itu ke atas meja kaca lalu memantul jatuh ke lantai. Ajudan itu kemudian harus menerima tatapan marah Abrawan. "Ini sudah enam hari dan kau bilang masih belum ada perkembangan berarti?" geram Abrawan tak habis pikir. Semua orang-orang terbaik di bidangnya sudah turun tangan dengan didukung oleh armada-armada pencarian serta penyelamatan yang canggih, bagaimana bisa mereka belum juga menemukan anaknya. "Setiap hari tim angkatan udara telah menyisir dari udara pulau-pulau sekitar seperti yang Bapak instruksikan, tetapi mereka belum menemukan apa-apa." "Lalu?" Suara Armawan terdengar menggema rendah penuh wibawa dan mengintimidasi. "Lalu Komandan tim gabungan ingin mengganti fokus penarian dari mencari korban selamat menjadi fokus saja mencari korban-korban yang mugkin masih terjebak di dalam pesawat." "Lalu suruh mereka terus mencari sampai menemukan sesuatu!" bentak Armawan marah. "Kumpulkan mereka semua sejam lagi. Semua Komandan harus ada, berani-beraninya mereka menganggap Nino sudah mati!" Tanpa berani membantah sekretaris bernama Daniel Wardana itu langsung menyanggupi perintah Armawan, dia buru-buru pamit untuk melaksanakan perintah itu. Meninggalkan Armawan sendirian di ruang kerjanya yang sangat luas yang didominasi warna putih dengan ornamen warna emas dan dipenuhi oleh hiasan satwa liar yang diawetkan. Memberi kesan mewah dan berani dalam ruangan ini. Armawan tidak akan kehilangan Nino, dia satu-satunya yang akan menjadi penerus keagungan nama Armawan kelak. Benar, Arman Armawan tidak mau nama Armawan berhenti pada dirinya. Nino harus bisa meneruskan ambisi-ambisi besar Armawan untuk Negeri ini. *** Saat Damar Yunta menyuruh Nino menunggu untuk memberi tahu 'semuanya', Nino sama sekali tidak menaruh harapan. Baginya, keluarga Yunta hanyalah sekumpulan orang gila. Kalaupun mereka menjawab setiap pertanyaan Nino, Nino yakin semua yang keluar hanyalah omong kosong. Akan tidak ada bedanya mereka jika Nino mendengarkan mereka terlalu serius. Alih-alih menunggu di rumah yang hanya terus mendapat pelototan dari Alin, Nino memilih pergi ke pantai. Waktunya akan lebih berguna jika ia gunakan untuk membuat tanda keselamatan. Nino telah betekad tidak akan kembali ke rumah itu lagi karena toh semua orang di sana tidak mengharapkan keberadaannya, kecuali Anisya. Di pulau ini banyak yang bisa Nino manfaatkan untuk bertahan hidup selagi menunggu tim penyelamat datang, juga mencari perahu yang Damar sembunyikan. Semua bahan makanan di rumah, Nino yakin Damar diam-diam pergi ke kota atau setidaknya pulau berpenghuni terdekat untuk mendapatkan semua itu. Tidak sia-sia ia pernah ikut pelatihan bertahan hidup di alam liar. Ya, Nino tidak akan mencari belas kasihan keluarga Yunta. Nino menimpa setumpuk daun-daun hijau ke atas bara api yang menyala, tujuannya agar menciptakan asap pekat yang akan membumbung ke udara sehingga dapat dilihat oleh tim pencari. Selagi membiarkan asap itu terbang, Nino membuat tanda S.O.S lain di hamparan pantai. Kali ini ia memanfaatkan daun-daun untuk membentuk tanda tersebut karena warnanya lebih kontras dengan warna pasir. Nino sedang mengumpulkan daun-daun di hutan pinggir pantai, tetapi ia terpaksa menghentikan sejenak kegiatannya ketika melihat sosok Anisya berlari-lari kecil ke arahnya. Nino berkacak pinggang dan menghela napas jengah, menunggu sampai Anisya tiba di depannya. "Adik, aku bawa pisang untuk kamu," ujar Anisya, menyengir lebar. Kepolosan dan kemurnian inilah yang membuat Nino tidak pernah tega bersikap tegas pada Anisya yang makin lama makin mengerikan. Nino membiarkan tangan Anisya tetap teracung mengulurkan pisang, dan berkata, "Anisya, kamu nggak seharusnya ke sini. Pulang lah, Alin akan marah kalau sampai melihat kamu di sini." "Kakak Alin memarahi adik?" "Alin bahkan berusaha membunuhku ... dalam mimpiku." Saking terasa senyata itu, sampai detik ini Nino masih merasa seolah-olah itu nyata. Tidak adanya luka di perutnya membuat lah yang menjadi bukti bahwa itu hanya mimpi. Seandainya tadi malam Alin hanya memukul atau mencubitnya, Nino pasti akan menganggap kejadian itu nyata. "Kakak Alin nggak bisa menyakiti Adik." Sekali lagi Nino menghela napas dan berdecak kesal. "Anisya!" Suara Nino meninggi. "Berhenti memanggilku adik. Aku bukan adikmu. Bahkan di sini aku lah yang lebih tua dari kalian semua." Anisya menarik tangannya, bersamaan dengan bibirnya mencebik ke bawah dengan sedih dan membuat Nino mendadak menjadi orang paling jahat. "Maaf udah membentak kamu," ujar Nino dengan suara lebih tenang. " Aku cuma ingin kamu berhenti memanggil aku adik karena umurku lebih besar dari kamu." "Kakak Alin dan Kakak Adri bilang kalau aku sudah besar." "Iya, kamu sudah besar tapi tetap lebih besar aku. Lihat, tinggi kamu bahkan baru setinggi pinggangku. Jadi, mulai sekarang kamu harus memanggil aku Kakak," jelas Nino selembut mungkin. "Coba sekarang panggil aku kakak, ka ... kak," tuntun Nino. Namun, bibir Alin malah dikatupkan rapat seolah menolak merapalkan kata itu. Wajahnya berangsur-angsur memerah dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.  "Ya udah kalau kamu nggak mau. Panggil aku apapun, asal bukan adil. Ngerti?" Nino geleng-geleng malas melanjutkan ini. Tepat ketika Nino hendak kembali melanjutkan kegiatannya, Nino mendengar suara batang patah. Ia mendongak ke atas dengan waspada karena mereka saat ini sedang di kelilingi pepotongan. Seketika Nino melebarkan mata terkejut saat melihat dahan yang patah itu tepat berada di atas Anisya. "Awas!" Nino berteriak memperingatkan, tapi Anisya hanya mendongak melihat dahan patah itu tanpa ada insting untuk lari menyelamatkan diri. Spontan Nino berlari ke mendekat Anisya lantaran kena satu tiupan angin saja dahan itu dapat dipastikan akan jatuh. Nino berhasil menjangkau tubuh Anisya tepat waktu, sedetik saja ia terlambat, dahan besar itu akan menimpa tubuh kecil Anisya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Nino cemas, sembari memeriksa apakah Anisya terluka. Ia menghela napas lega saat tak menemukan ada luka di tubuh Anisya, meski agak heran karena Anisya tidak terlihat kaget ataupun ketakutan. Namun itu tak penting, yang terpenting adalah Anisya tidak terluka. "Darah ..." Anisya menunjuk ke arah lengan kanan Nino. "Adik berdarah." Saat Nino melihat ke arah lengannya, barulah ia sadar bahwa lengannya terluka hingga mengeluarkan darah. Mungkin terkena ujung ranting dahan yang jatuh tersebut. Lukanya sepertinya cukup dalam karena darah yang keluar sangat banyak dan Nino mulai merasaan nyeri dan perih. "Ck, sial ...," gumam Nino yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Tanpa takut atau ngeri melihat darah, Anisya mendekatkan wajahnya ke lengan Nino dan kemudian meniupnya. "Sebentar lagi sembuh," ujarnya tersenyum seolah berusaha menenangkan Nino. Sementara itu ... "Papa yakin mau menunjukkan semua ini ke Nino?" tanya Eliza, melihat Damar mengeluarkan artikel terakhir yang belum sempat dirilisnya itu dari dalam laci. "Anak itu terlalu cerdas, kita nggak bisa menutupi ini selamanya." Eliza mengangguk setuju, meski dalam hati cemas. Setelah membaca artikel serta lampira bukti-bukti kejahatan papanya, Nino pasti akan sangat terguncang. Seumur hidup dia tubuh dengan Arman Abrawan sebagai sosok pahlawan, pasti akan sulit baginya untuk menerima kenyataan bahwa pahlawan yang selalu dibangga-banggakannya itu ternyata adalah penjahat ulung. Kejahatannya tak hanya sebata memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi, melainkan juga tak segan membunuh siapapun yang kirakan akan mengancam reputasinya sebagai salah satu politisi paling terkenal. sekaligu menjelaskan bahwa mereka sebenarya adalah arwah yang tersesat di dunia manusia. Entah Nino sudah siap atau belum untuk menerima kedua hal tersebut, yang jelas itu adalah sesuatu yang mau tidak mau, siap tidak siap harus Nino hadapi ... dan terima. Setelah menemukan cetakan artikel yang dicarinya, Damar bergegas mencari Nino ke pantai. Berhubung garis pantai sangat panjang dan Damar tidak tahu Nino tepatnya berada di sisi mana, ia harus berkeliling mencari Nino. "Papa ... Papa ...." Suara Anisya muncul dari balik pepohonan, bocah itu berlarian ke arahnya sambil menangis, tampak panik dan sangat ketakutan. "Hei, ada apa?" Damar lantas membungkuk, memegangi kedua lengan Anisya. "Papa, Adik ...." Anisya kesulitan bicara dan hanya menunjuk-nunjuk satu arah. "Adik? Nino? Nino kenapa?" tanya Damar tenang. Memang apa yang perlu dikhwatirkan, di saat mereka tidak bisa terluka atau hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada manusia. Anisya menarik napas panjang, menenangkan diri. "Adik luka, tangannyann berdarah-darah. Banyak darah, Papa." Damar tersenyum dan menghela napas pendek. "Nggak apa-apa, sebentar lagi juga hilang. Kamu jan juga pernah jatuh dan berdarah-darah tapi langsung hilang, kan?" Anisya menggelen-geleng dan malah menangis makin kencang. "Enggak, Papa. Darahnya nggak hilang-hilang. Adik sekarang kesakitan." "Lukanya nggak bisa hilang?" tanya Damar terbata, masih berusaha memahami ucapan Anisya. "Iya, Papa."    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN