08 | Mati Untuk Mati

1522 Kata
Nino tidak mau terlalu ambil pusing dengan Alin dan Ardrian yang masih marah padanya, bahkan Adrian sampai enggan berbagi kamar lagi dengannya seperti kemarin-kemarin. Sehingga Nino harus tidur di ruang tamu dengan hanya beralaskan tikar anyaman daun pandan. Tidak apa-apa, sepeti ini jauh lebih baik. Di rumah ini Nino memang hanyalah tamu, maka sudah sewajarnya ia bersikap selayaknya tamu. Lagipula, keluarga ini terlalu aneh dan mengerikan untuk ia anggap sebagai 'keluarga'. Alih-alih berusaha membuat diri merasa nyaman diri, Nino harus berusaha bagaimana caranya keluar dari pulau ini. Sedari tadi, Nino memutar badan menyamping ke kanan dan kiri, mencari posisi paling nyaman. Nino tak bisa tidur, kepalanya berpikir keras apa yang harus ia lakukan lagi untuk mengirim sinyal kehidupan. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana khawatir dan kalutnya ayahnya jika ia tak kunjung ditemukan. Akhirnya Nino lelah dan menendang selimutnya. Ia terduduk di tengah-tengah ruang tamu rumah ini, bulu kuduknya mendadak merinding. Bagaimana Nino harus menjelaskannya? Suasana kuno di rumah ini mengingatkan Nino pada rumah-rumah hantu yang banyak digambarkan di film-film. Nino mengedarkan pandang ke sekitar, ia belum pernah betul-betul memperhatikan tiap sudut rumah ini kareta tak enak hati melakukannya di depan anggota keluarga Yunta. Terlebih saat Nino melihat keratan mirip bekas cakaran di daun pintu kamar Damar yang tertutup. Nino beranjak untuk mendekati salah satu sisi dinding yang memajang banyak sekali figura-figura foto, kebanyakan adalah foto-foto anak Yunta. Foto kelulusan sekolah Alin dan Adrian, foto ulang tahun mereka, foto Anisya bayi yang menggemaskan. Sisanya foto pernikahan Damar dan Eliza, serta ada pula foto Damar sedang berjabat tangan dengan Soemitro Tjoko yang merupakan salah satu mantan presiden Indonesia, sambil memamerkan sebuah plakat. Pose foto dan plakatnya mirip acara-acara penganugerahan penghargaan. Bulu kuduk Nino makin merinding saat menyadari dalam foto itu, fisik Damar masih sama persis dengan foto Damar saat ini. Seharusnya foto itu diambil sangat lama sekali karena Soemitro Tjoko sendiri sudah meninggal sekitar lima tahun lalu. Atau jangan-jangan itu foto Ayah atau saudara Damar? "Belum tidur?" Nino tersentak terkejut dan lantas memutar badan, mengikuti arah sumber suara. Nino mendesah memegangi dadaa, menemukan Damar berdiri di depan pintu kamarnya. Agaknya Nino terlalu serius meliat foto-foto itu hingga tak menyadari keberadaan Damar. Mendadak, Nino merasa tidak enak hati. "Iya, belum ngantuk," jawab Nino. "Kenapa? Karena anak presiden nggak pernah tidur pakai alas tikar?" Dalam hati, Nino berdecak. Jika boleh menambahkan lagi, tidak enaknya menjadi anak presiden adalah dirinya akan dipandang lemah, manja, dan tak pernah hidup susah. Padahal, Nino bekerja keras untuk mendapat nilai bagus dan masuk di sekolah-sekolah bonafit. Nino sering melibatkan diri di organisasi-organisasi sosial tanpa membawa-bawa embel-embel anak presiden. Ia pernah berhari-hari tidur di tenda pengungsian bersama korban bencana banjir bandang. Mau dijelaskan bahwa anggapan mereka salah pun percuma, karena mereka pada dasarnya sudah meragukannya. Damar tersenyum kecil melihat muka masam Nino, lalu berjalan mendekat ke arah pemuda itu dan berdiri di sebelahnya. Menatap foto yang sedari tadi Nino pandangi. "Foto yang bagus, ya? Foto ini diambil saat Pak Mitro ngasih penghargaan ke jurnalis terbaik." "Jurnalis terbaik?" Damar melirik Nino, menaikturunkan alis bangga. "Keren, ya?" Nino mengangguk antusias. "Iya, keren sampai dapat penghargaan langsung dari Presiden. Dia pasti jurnalis yang hebat, saya harap suatu hari nanti saya bisa seperti itu juga." "Kamu ingin jadi jurnalis?" "Iya," sambut Nino dengan mata berbinar-binar. "Saya ingin sekali jadi jurnalis, walau saya nggak tahu itu bisa terwujud atau tidak, bahkan seandainya saya nggak kecelakaan dan terdampar di sini. Karena meskipun Papa bilang akan membebaskan pilihan karir saya, saya tahu Papa berusaha mengarahkan saya buat ikut terjun ke politik. Maklum, saya anak satu-satunya, jadi Papa sangat berharap saya bisa mengikuti jejak dia." "Kenapa kamu ingin jadi jurnalis?" tanya Damar lagi. "Saya nggak pernah memikirkannya. Saya cuma senang saja menggali sesuatu baru, mencari tahu yang abu-abu itu sebenarnya putih atau hitam, lalu merilisnya ke masyarakat. Saya ingin jadi bagian dari pembangunan manusia yang bisa ngasih berita-berita akurat, terutama tentang sosial politik yang makin lama makin banyak hoax tersebar." "Dengan ayahmu adalah politikus dan banyak berelasi dengan politikus, jika seandainya kamu menemukan mereka melakukan kejahatan apa kamu tetap akan menggali dan menulis beritanya?" "Tentu saja," jawan Nino yakin. "Bahkan seandainya itu menyeret nama ayahmu sendiri?" Sesaat Nino terdiam, benar-benar untuk berandai-andai. "Seandainya Papa terbukti salah ... tentu saja. Tentu saja saya akan menulisnya. Gimanapun juga, semua orang yang bersalah harus mempertanggungjawabkan kesalahan mereka. Berhubung Papa adalah tokoh publik, maka publik berhak tahu." "Hm ... menarik," gumam Damar, bak dosen menguji mahasiswanya. "Tapi itu cuma seandainya. Selama ini banyak yang berusaha menyerang Papa dengan rumor-rumor palsu tapi belum ada satu pun yang terbukti keberannya, itu karena Papa saya nggak pernah melakukan sesuatu yang menyimpang dari hukum." "Kamu yakin?" Sebelah sudut bibir Damar tertarik, seperti tengah menahan tawa geli. "Kamu yakin itu karena dia nggak pernah menyimpang dari hukum, tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain seperti dia lah yang pandai menutupi kesalahannya dan nggak ada yang berani menyentuh dia?" "Papa saya bukan orang seperti itu." Damar mengangguk, tersenyum maklum. "Ya, tentu saja kita nggak akan percaya sesuatu sebelum sesuatu itu muncul langsung di depan mata kita." "Kenapa Anda bicara begitu? Anda terlihat nggak suka dengan papa saya," tanya Nino langsung, merasa sedari tadi Damar banyak menyinggung papanya dengan tensi sinis. "Oh, maaf kalau kamu merasa begitu. Pendapatku tentang papamu nggak mengubah apa-apa. Sekarang aku cuma berharap dia menjalankan mandat rakyat tanpa menyimpang dari hukum," ujar Damar bersungguh-sungguh. Memilih untuk tidak memberi tahu Nino tentang kebenaran yang Damar bawa mati ini. Biarlah Nino tetap menganggap Arman Abrawan sebagai hero, sebagaimana setiap anak menganggap ayah mereka begitu. Jujur saja, Nino masih tersinggung dan agak tidak terima Damar seakan menuduh papanya. Namun, Nino berusaha tidak terlalu sakit hati. Anggap saja Damar ini adalah salah satu pembenci ayahnya. Biasanya jika di dalam otak sudah tertanam kebencian, maka sulit untuk diluruskan. "Ngomong-ngomong yang ada di foto itu ayahnya Anda?" tanya Nino penasaran. "Itu saya lah." "Hah?" Spontan Nino memandang foto itu dan sekujur tubuh Damar bergantian. Damar pasti sedang bercanda, dia bukan vampir yang punya siklus umur panjang. "Heish, mana mungkin," sergah Nino tak percaya. "Setelah semua yang kamu alami, kamu masih berpikir di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin?" Damar terkekeh pelan, seolah-olah ketidakmungkinan itu adalah Nino. "Dulu saya itu jurnalis, Nino. Saya banyak menulis berita-berita sosial dan politik." Saat kami ke sini, presidennya adalah Pak Mitro," ujar Damar, seketika membuat kepala otak Nino berputar memperkiraan kapan tepatnya Damar pindah ke pulau ini. Nino melebarkan mata terkejut. "Berati Anda sudah di sini antara tahun 2000-2005?" Damar mengangguk satu kali. "Tepatnya tahun 2002." "Nggak mungkin," dengus Nino menanggapi jawaban Damar sebagai candaan yang hampir saja membuat Nino terkecoh. "Saya tahu pasti sudah sangat lama, tapi nggak tahun 2002 juga. Alin dan Adrian kemarin bilang kalau mereka sempat sekolah." Damar tertawa kecil. "Kamu kayaknya belum juga ngerti ya." Nino mengembuskan napas pendek. "Memang," jawabnya, tak berusaha menampik. "Banyak sekali yang belum saya mengerti di tempat ini karena semuanya ... aneh." Dengan takut-takut, Nino menambahkan. "Semua yang ada di sini sangat aneh dan semakin saya berusaha memahami, saya semakin nggak mengerti." "Aneh," gumam Damar sambil manggut-manggut pelan. "Benar. Nggak kehidupan, nggak kematian, semuanya sangat aneh. Sayangnya, tempat aneh ini lah tempat kamu sekarang." "Enggak, ini bukan tempat saya," gumam Nino, menolak sepakat. Ia terus menyugesti diri agar jangan sampai terperdaya omonga-omongan Damar, jangan sampai otaknya dicuci seperti halnya Damar menyuci otak anak-anaknya agar menganggap tempat ini sebagai tempat mereka. "Oh ya?" Damar tersenyum miring seolah-olah mengejek. "Mari kita lihat apakah Arman Abrawan bisa mengeluarkan anaknya dari lembah kematian." "Maksudnya apa?" Nino mengernyit tak mengerti makna perkataan Damar. Namun tampaknya Damar tak ada niat untuk menjelaskannya. "Tidurlah, kamu pasti capek seharian bikin tanda S.O.S." Hanya itu yang dikatakan oleh Damar sembari menyentuh lengan Nino sekilas, sebelum kembali masuk ke kamarnya. Nino menghela napas lelah. Segala keanehan ini membuat Nino merasa seperti terjebak dalam labirin mimpi. *** Walau tidak mengantuk, Nino memaksa memejamkan mata sambil rebahan berharap akan segera ketiduran. Damar benar, ia harus tidur karena besok ia berencana untuk membuat tanda S.O.S di sisi lain pulau agar terlihat dari udara. Kegiatan itu menjadi dua kali ekstra melelahkan karena Nino harus melakukannya sambil menahan nyeri luka di kakinya yang belum juga mengering padahal sudah tiga hari berlalu. Jelas saja tidak sembuh, Nino butuh obat untuk merawat luka itu. Nino belum sepenuhnya lelap, ketika ia merasakan kehadiran seseorang. Jantungnya berdegup kencang, mencoba mengabaikan perasaan itu. Ini sudah larut malam, semua orang sudah tidur di kamar masing-masing. Namun, matanya dapat meraskan sekelebatan bayangan bergerak. Nino beranikan diri untuk membuka mata, dan seketika itu juga kedua matanya terbelalak lebar melihat Alin tengah menghujamkan pisau dapur, mengarah tepat ke perut Nino dengan kedua mata menyala marah. Napas Nino tercekat. Terlambat baginya untuk mencegah karena pisau itu kini telah menancap di perutnya. "Kamu ...." Ucapan Nino tercekat, sungguh tak percaya Alin berusaha membunuhnya. "Matilah," geram Alin dengan suara bergetar. "Matilah meski kamu nggak bisa mati. Aku nggak keberatan membunuh kamu berkali-kali. Matilah sampai kamu merasa kamu mati Cuma untuk mati. Pikiran Nino kosong. Beginikah akhirnya? Ia akan mati di tangan Alin dan selamanya tidak bisa keluar dari pulai ini? Nino mungkin sebentar lagi akan mati karena ia bahkan tidak bisa meraskan sakit akibat tusukan pisau itu.                        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN