Bab 15. Rahasia 17 tahun

1676 Kata
Waktu berlalu cepat. Pukul 12 siang dan Ryan masih duduk bersandar di headboard tempat tidur dengan berbagai pertanyaan di kepalanya. Sejak ditinggalkan Farhan keluar kamarnya, Ryan justru semakin tidak bisa untuk istirahat. Beragam pertanyaan di kepala membuatnya tidak bisa tidur. Awalnya Ryan mencoba untuk tidur karena kepalanya juga terasa pusing, tapi tidak bisa. Akhirnya Ryan memutuskan untuk menyandarkan tubuh—melanjutkan berpikir mencari jawaban. Sinar matahari yang semula menghangatkan kini terasa panas karena matahari sudah berada di ujung tombak. Ryan merasa haus, air di kamarnya sudah habis. Dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Saat pintu terbuka, dia terkejut sekaligus kebingungan ketika melihat sosok papa dan mamanya duduk di ruang tamu berbincang-bincang bersama Adi dan Ani. Tanpa membuang waktu Ryan langsung menghampiri mereka. “Bagaimana keadaanmu, Ryan?” Riana yang pertama kali bertanya ketika Ryan sampai di ruang tamu. Ryan memasang wajah kebingungan. “Mama dan Papa kenapa bisa di sini?” Rangga dan Riana bertukar pandang. “Kamu lupa? Kita kan memang berlibur kemari,” Rangga menjawab sambil melemparkan senyuman. “Liburan? Kemari?” Riana mengangguk. “Sepertinya kamu terlalu banyak tidur makanya bisa lupa.” Ryan mematung di tempat. Sebenarnya apa yang membuatnya bisa lupa seperti ini? Dia sama sekali tidak ingat kalau pernah merencanakan liburan ke rumah paman dan bibinya. Ryan ingat betul, walaupun terakhir kali kemari itu Sembilan tahun yang lalu, tapi dia belum pernah merencanakan kapan akan berkunjung kemari lagi. Sama sekali belum pernah. Bangun-bangun, dia sudah berada di sini saja. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Satu hal lagi, Farhan, bagaimana bisa sahabatnya itu ikut bersamanya. Lalu tiba-tiba mama dan papanya juga muncul di rumah Adi. Ryan menggaruk kepalanya, memandangi wajah kedua orang tuanya. Apakah mereka menyembunyikan sesuatu? Ryan menggeleng cepat. Tidak mungkin. Mama dan papanya bukan tipe seperti itu. Mereka selalu terbuka terhadap Ryan selama ini. Mendadak Ryan mengingat satu hal, masalah pertanyaan mengenai namanya. Hingga saat ini dia belum juga mendapatkan jawaban dari pertanyaan apa makna ‘Zalaraya’ di nama belakangnya. Tapi Ryan juga tidak bisa mengabaikan bahwa dia sama sekali tidak ingat kalau pernah berniat untuk berlibur kemari. Di sekolah, Ryan dijuluki si genius karena bisa mengingat banyak hal dalam waktu singkat alias memiliki daya ingat yang tajam. Jika berpatokan pada hal itu, maka Ryan tidak mungkin melupakan yang sudah dia niatkan, bukan? Lantas siapa di sini yang sedang bermain peran? Farhan entah dari mana tiba-tiba nongol, memukul pelan bahu Ryan membuatnya tersadar dari lamunan. “Kamu mikirin apa, sih? Mukanya ditekuk amat.” Farhan menuntun Ryan untuk duduk bergabung bersama yang lain. Ryan berdeham. Dia harus meluruskan ini. Jika pertanyaannya atau rasa penasaran dalam dirinya belum terjawab, Ryan harus memecahkan itu secepatnya agar rasa penasaran itu hilang. Dan itu memang karakternya. “Kita ke sini naik apa, Ma?” Riana yang semula bercakap-cakap dengan Ani langsung menghentikan percakapan mereka dan menatap Ryan kaku. Mulutnya sedikit menganga kemudian berubah menjadi gugup. “Ma? Kita ke sini naik apa?” tanya Ryan lagi. Riana jadi semakin gugup, tidak bisa menjawab. “Masak kamu lupa? Kita naik pesawat lah pastinya,” Farhan yang menjawab. Dia berniat untuk mengambil alih kemudi karena Riana langsung kaget begitu Ryan menanyakan hal tersebut kepadanya. Adi dan Ani hanya bertukar pandang. “Farhan benar, Ryan. Kita naik pesawat ke sini.” Rangga berujar berusaha meyakinkan Ryan. “Kalau begitu Ryan mau lihat tiketnya.” Sederhana dan sangat mudah sebenarnya, jika mereka benar-benar ke rumah Adi menaiki pesawat. Namun sekarang posisinya mereka sama sekali tidak naik pesawat. Bisa saja Adi memunculkan benda itu sekarang, namun tidak bisa karena Ryan belum mengetahui siapa dirinya. Semuanya saling bertukar pandang—tidak tahu harus berbuat apa. Sebelumnya mereka tidak menyangka bahwa Ryan akan mempertanyakan perihal tiket terbang mereka kemari. “Mana tiketnya, Pa?” Sekarang Ryan mulai meragukan perkataan mereka yang mengatakan bahwa ini semua memang sudah direncanakan sebagai liburan. Apa susahnya coba tinggal menunjukkan tiket? Rangga menarik napas panjang, memejamkan matanya singkat, kemudian membuka kembali. “Baiklah. Sepertinya memang sudah saatnya.” Riana yang tadinya menundukkan mata saat Ryan melihatnya menunggu jawaban, mengangkat kepala saat mendengar perkataan Rangga barusan. Farhan, Adi, dan Ani bersiap untuk apa yang akan terjadi sebentar lagi. “Maksudnya, Pa?” Keadaan jadi lengang. Tidak ada yang bersuara. Rangga masih mempersiapkan diri sebelum mengungkapkan rahasia besar selama 17 tahun yang disembunyikan dari Ryan selama ini. Belum dimulai, Riana sudah berusaha menahan gelombang air mata yang sebentar lagi keluar dari kelopak matanya. Adi dan Ani bersikap tenang seperti biasa. Mereka benar-benar tahu situasi semacam ini akan tiba suatu saat nanti—dan itu hari ini. Rangga menatap wajah Ryan. “Maafkan kami Ryan. Kami bukan orang tua kandungmu.” Bagai disambar petir seketika. Bukan jawaban ini yang ingin Ryan dengarkan. Dia hanya bertanya perihal mana tiket pesawat mereka. Tapi apa yang barusan dia dengar? Mama dan Papa yang selama ini merawatnya sejak bayi itu bukan orang tua kandungnya? Bagaimana itu bisa terjadi? Rasanya aneh. Di rumah beberapa foto tergantung di dinding saat Ryan masih bayi. Bahkan bayi itu terlihat masih merah, masih berjarak satu dua minggu sejak Ryan di lahirkan. Bagaimana bisa dia bukan anak dari mama dan papanya sekarang. “Papa pasti bercanda, kan?” Riana menggelengkan kepala. Air mata sudah menerobos kelopak matanya. “Itu benar sayang. Mama dan Papa bukan orang tua kandungmu.” Farhan tidak tega melihat ekspresi terkejut Ryan setelah mengetahui hal ini langsung dari mama dan papanya. “Tapi bagaimana bisa?” Ani memeluk Riana berusaha menenangkannya. “Kamu juga bukan berasal dari bumi ini, Ryan.” Apa? Bukan dari bumi? Itu mustahil. Ryan menggeleng tidak percaya. Lantas dari mana dia berasal? Luar angkasa? Ada-ada saja papanya ini. Bisa-bisanya menyelingi lelucon di situasi semacam ini. “Ryan rasa lelucon Papa kali ini tidak tepat waktu.” “Papa tidak bercanda Ryan,” Rangga mengatakan itu dengan suara bergetar. Tiba-tiba terdengar seperti suara angin berputar. Suara itu berasal dari halaman rumput rumah Adi. Ryan keluar untuk melihat suara apa barusan. Cahaya berwarna hijau mucul, perlahan membesar membentuk portal seukuran orang dewasa. Tengahnya membentuk pusaran. Keluar dari portal itu Bi Narti membawa sebuah buku setebal 500 halaman di tangannya. Setelah Bi Narti keluar, portal itu perlahan mengecil, kemudian lenyap bagaikan ditelan bumi. Bi Narti melambaikan tangan ke arahnya—tersenyum, kemudian berjalan mendekat. Ryan tidak percaya dengan apa yang barusan dia lihat. Apa itu barusan? Bi Narti keluar dari portal? Bagaimana bisa? Dia pernah melihat itu dalam film fantasi. Itu tidak sulit dipercaya karena hanya film semata. Lalu apa ini? Ini dunia nyata, bukan? Bagaimana bisa Bi Narti keluar dari portal. Di dalam film yang Ryan tonton, portal adalah alat transportasi. Jika portal yang barusan dia lihat memiliki fungsi yang sama dengan yang ada di film, itu artinya jangan-jangan dia bisa berada di sini juga melalui portal? Bi Narti mengelus kepala Ryan, tersenyum. Rangga, Riana, Adi, Ani, dan Farhan serempak berdiri ketika melihat Bi Narti sampai. Rangga sedikit terkejut melihat BI Narti tiba-tiba datang. Karena sebelumnya saat dia mengajak Bi Narti, dia menolak. “Aku yakin kalian memerlukan ini.” Bi Narti meletakkan bumi setebal 500 halaman yang dia bawa. Sampul buku itu terlihat seperti baju besi perang. Di tengah-tengah tertulis ‘ZALARAYA’. Sejenak Ryan melupakan rasa sedih dan tidak percaya dalam dirinya setelah mendengar bahwa papa dan mamanya bukanlah orang tua kandungnya. Dia masuk kembali, menatap keheranan wajah Bi Narti. Sepertinya apa yang dia pikirkan tadi benar. Dia bukan naik pesawat ke sini, tapi melalui portal sama seperti yang dilakukan Bi Narti barusan. Rangga membuka halaman pertama buku itu. Di balik sampul, ada juga tulisan ‘ZALARAYA’ dikelilingi naga. Ryan menajamkan penglihatannya. Bukankah kata yang ada di buku itu adalah nama belakangnya. Dia langsung menoleh—bertanya kepada Rangga. “Inilah makna ‘Zalaraya’ di namamu, Nak. Kamu adalah pangeran dari negeri ini.” Pangeran? Apa sebenarnya yang papanya maksud. “Sebelumnya izinkan kami semua untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu.” Rangga dan Adi saling tatap. Rangga berdiri. “Aku adalah Beindra, Panglima Beindra—sosok kepercayaan ayahmu, Ryan.” Adi juga ikut berdiri. “Namaku Grielfa, kepala pasukan kejaraan Zalaraya.” Kini giliran Ani. “Namaku Viera. Aku seorang tabib di kerajaan ayahmu.” Sebelum berdiri, Riana menyeka air matanya. “Namaku Kierda. Adik kandung ibumu—Putri Reinva.” Sebelum Farhan dan Bi Narti ikut-ikutan 'bertindak aneh', Ryan berdiri menghentikan acara perkenalan diri ini. Dia tertawa. “Apa ini? Apa yang terjadi dengan kalian?” “Aku sudah menduga ini, Pangeran. Kamu pasti tidak akan serta-merta percaya dengan apa yang kami katakan.” Adi mengacungkan jarinya, menutup pintu. “Izinkan kami untuk memberitahukan siapa jati dirimu yang sebenarnya.” Adi menoleh, mengangguk kepada Ani. Ani mengangkat tangannya, mengarahkan ke dinding rumah. Muncul seperti layar seperti yang biasa dia lihat dari LCD Proyektor. Dari layar itu muncul sebuah istana yang sangat besar berada di atas bukit. Ani memberikan kode kepada Bi Narti untuk memulai cerita. “Tepat di hari kelahiranmu, terjadi perang yang sangat besar di kerajaan.” Layar di depan sana berubah sesuai dengan apa yang Bi Narti ceritakan. “Saat itu Putri Reinva sedang melahirkan dua orang putra sekaligus. Kamu dan satu pangeran lagi bernama Pangeran Arthur. Raja Barelfie bersama pasukan kerajaan berusaha mati-matian mempertahankan istana agar jangan sampai jatuh ke tangan Panglima Nevard. Namun si tamak itu berhasil mengalahkan Raja Barelfie dibantu pasukan kalajengking raksasa. Tidak sampai di situ. Dia membunuh Raja Barelfie dan memakan jantungnya. Panglima Grielfa dan komandan pasukan Beindra berhasil menyelamatkanmu.” Ani buka suara. “Kami berdua gagal menyelamatkan ibumu Ryan. Dia juga dibunuh oleh Nevard lalu dimakan jantungnya. Pangeran Arthur saat itu berhasil diselamatkan oleh Grenta.” “Lalu di mana saudara kembarku?” Ryan berusaha merasionalkan cerita yang barusan dia dengar. Lebih tepat jika disebut dongeng sebenarnya. Tapi melihat Adi bisa menutup pintu hanya dengan menggerakkan tangan, melihat Ani bisa membuat layar tanpa LCD proyektor, membuat Ryan tidak bisa menolak cerita itu. “Saudara kembarmu aman bersama Grenta, Pangeran.” “Lalu bagaimana bisa kalian membawaku ke sini, ke bumi ini.” Bi Narti seperti meminta persetujuan kepada Adi apakah ini dilanjutkan atau tidak. Adi mengangguk, sebagai tanda untuk melanjutkan. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN