Bab 14. Sadar

1617 Kata
Suara ayam berkokok membangunkan Ryan dari tidurnya. Dengan mata tersipit, dia merubah posisinya yang semula terbaring menjadi duduk. Ryan mengucek matanya, memperhatikan sekitar. Ini seperti bukan rumahnya. Dia berada di kamar tamu rumah Adi sekarang. Tidak ada yang spesial dari kamar itu, hanya tempat tidur, lemari, dan yang terakhir lemari hias mini yang terbuat dari jati. Rumah yang terbuat dari kayu jadi itu sangat bersih, tidak ada foto atau hiasan dinding sama sekali. Kamar tempatnya sekarang sepertinya memang hanya digunakan untuk tamu saja. Dia menyibakkan selimut, berniat untuk berdiri namun urung, kepalanya masih terasa sakit. Pintu kamar terbuka, muncul Ani membawa nampan berisi sepiring nasi beserta lauk dan segelas s**u hangat. Dia memasang senyum ramah plus meneduhkan, berjalan mendekati Ryan. “Selamat pagi, Ryan! Bagaimana kondisimu?” Ryan tidak langsung menjawab sapaan itu. Dia sedikit bingung kenapa dia bisa berada di rumah bibinya? Apa dia salah lihat? Melihat wajah kebingungan Ryan membuat Ani tersenyum geli. “Kepalamu masih sakit?” Ryan mengangguk pelan sekali. Kepalanya mengikuti ke mana arah Ani bergerak. “Lekas makan. Nanti Bibi akan kembali kemari untuk mengobatimu.” Ani tersenyum sebelum keluar dari kamar meninggalkan Ryan dengan wajah bingungnya. Ryan terus menatap Ani hingga lenyap ditelan pintu. Dia menggaruk kepalanya. Kenapa dia bisa berada di rumah bibinya. Apa yang terjadi sehingga dia bisa berada di sini? Ryan mencoba mengingat sesuatu yang terjadi? Tidak bisa. Tidak muncul ingatan apa pun di kepalanya. Bukannya berhasil mengingat, justru kepalanya malah terasa semakin sakit. Apa yang terjadi sebenarnya? Ryan menoleh, menatap piring berisi nasi dan segelas s**u hangat di atas nakas. Perutnya terasa lapar. Ryan mengambil nasi, mulai menyantapnya. Sejenak Ryan melupakan pertanyaannya tadi mengapa bisa berada di rumah bibinya. Tepat saat Ryan selesai makan, Farhan masuk ke dalam kamarnya. Ini semakin membuat Ryan kebingungan. Kenapa Farhan juga ada di sini? Bagaimana bisa? Farhan menghampirinya dengan wajah masam, seperti merasa bersalah. “Maafin aku, ya.” Kepala Ryan otomatis miring ke samping—bertanya-tanya. Maaf? Untuk? Farhan menundukkan kepalanya. “Aku gagal nyelamatin kamu.” “Gagal?” gumam Ryan tidak mengerti. Dia menatap wajah Farhan. “Maksud kamu apa, Han? Aku sama sekali gak ngerti.” Farhan mendongak. “Kamu gak ingat?” Ryan menggeleng. “Ingat apa?” Sejenak Farhan terlihat seperti berpikir, kemudian langsung geleng-geleng. “Gak, gak. Gak ada apa-apa.” “Ayolah. Beri tahu aku apa yang terjadi sebenarnya.” Farhan tidak tahu kenapa Ryan bisa melupakan kejadian tadi malam dan bagaimana bisa dia berada di rumah pamannya sekarang. Tapi kabar baiknya, dengan begitu Ryan bisa lebih tenang dan tidak kaget seperti kemarin. “Tidak terjadi apa-apa, Yan,” Farhan menjawab. “Tidak terjadi apa-apa?” Ryan memasang wajah tidak percaya. “Lalu bagaimana aku bisa berada di rumah Paman Adi tiba-tiba begini? Seingatku aku tidur di kamar setelah kita berbincang-bincang di ruang tamu bersama Mama dan Papa juga.” Ryan sedikit mengotot. Bagus. Farhan bisa tahu sampai di mana ingatan terakhir Ryan. Itu artinya dia sama sekali tidak ingat bahwa tadi malam Farhan, mamanya, dan juga papanya mengeluarkan kekuatan yang mereka miliki. Selain itu Ryan juga tidak ingat bahwa tadi malam dia hampir saja menjadi sasaran empuk Penyihir Hyunfi. “Farhan, jawab!” “Eh, masa kamu gak ingat?” Ryan menggeleng. "Ingat apa?" “Sepertinya mabuk udara membuatmu hilang ingatan.” Farhan terkekeh. “Kemarin sore kamu dan keluarga mengajakku untuk ikut bersama kalian berlibur kemari,” Farhan memulai aksinya. “Berlibur? Kemari? Kapan?” Ryan mencerca dengan kebingungan yang semakin bertambah. Ryan sama sekali tidak ingat kalau mereka pernah merencanakan liburan kemari. Seingatnya dia terakhir kali tidur di kamar setelah berbincang dengan mama dan papanya. Meskipun sudah lama dia tidak ke rumah Paman Adi, tapi Ryan tidak ingat bahwa dia pernah merencanakan untuk seperti sekarang ini—duduk bingung dengan apa yang terjadi. “Kamu sama sekali tidak ingat?” Ryan menggeleng lagi. “Sepertinya kamu harus istirahat lagi agar ingatanmu lekas kembali.” Farhan berdiri. "Aku mau mandi dulu.” Farhan meninggalkan Ryan yang masih kebingungan. Kalau pun benar apa yang dikatakan Farhan, setidaknya ada sepenggal ingatan yang tersisa di kepala Ryan. Entah itu sewaktu mereka membahas masalah keberangkatan, di bandara, packing, dll. Tapi tidak ada sedikit pun terlintas bahwa Ryan pernah melakukan itu. Sekarang tiba-tiba dia sudah berada di rumah pamannya saja. __00__ “Aku sudah berbicara dengan Grenta. Dia menyanggupi untuk membantu menyembuhkan Riana,” Bi Narti memberitahukan kabar gembira setibanya di ruang tengah tempat Riana tadi malam banyak memuntahkan cairan. “Setibanya kalian di Negeri Zalaraya, Grenta akan langsung melakukan pengobatan, agar nantinya Riana bisa ikut melawan Nevard.” Riana senang mendengar kabar baik itu. Dia sangat ingin ikut berpartisipasi melawan Nevard yang sangat kejam dan serakah itu. Yang pertama kali terlintas di benaknya 10 tahun lalu ketika dia mengidap penyakit yang sampai sekarang belum sembuh adalah kesedihan karena dia beranggapan bahwa nanti tidak bisa ikut bersama suaminya berperang. Tapi kekhawatiran itu sudah musna, sebentar lagi dia akan sembuh. Rangga juga turut senang. Istrinya akan sembuh sebentar lagi. Dia tidak akan lagi melihat istrinya memuntahkan cairan kental berwarna hitam, tidak akan melihat lagi istrinya memegangi d**a menahan sesak dan sakit luar biasa. Sepuluh tahun berisi kenangan buruk mengenai penyakit istrinya akan hilang sebentar lagi. “Ah iya, Bi Narti. Apakah kamu mau ikut bersama kami menemui Adi?” Rangga mengajak Bi Narti. Sama sepertinya, Bi Narti juga sudah Sembilan tahun tidak bertemu Adi dan Ani serta anak mereka—Bayu. “Tidak usah,” Bi Narti menolak halus. “Lebih baik aku tetap di sini saja. Banyak yang harus kulakukan.” Jika Bi Narti sudah mengatakan itu maka tidak ada lagi yang bisa Rangga lakukan lagi. Harus dia akui, tugas Bi Narti amat banyak sekali. Bahkan melebihi tugasnya. Meskipun bekerja di belakang layar, namun tanpa Bi Narti, apa pun yang mereka rencanakan akan menjadi lebih sulit untuk dilakukan. “Sekali lagi aku berterima kasih padamu, Bi Narti,” Riana berkata tulus. Dia senang memiliki Bi Narti ada bersama mereka. Tanpanya nyawa Riana bisa saja melayang kapan pun. “Tidak usah berterima kasih. Itu memang tugasku.” Bi Narti tersenyum. Rangga dan Riana saling tatap. Rangga berdiri terlebih dahulu, kemudian disusul Riana. “Kalau begitu kami permisi,” pamit Rangga. Rangga mengangkat tangannya, mengarahkan ke depan, menjentikkan jari. Perlahan muncul lingkaran kecil berwarna oranye, berputar-putar semakin lama semakin besar seukuran orang dewasa. Rangga dan Riana berpamitan sekali lagi sebelum masuk ke dalam pusaran itu. “Hati-hati,” ucap Bi Narti. Lingkaran oranye itu lenyap ketika Rangga masuk ke dalamnya. Rangga dan Riana menutup mata mereka. Dua detik kemudian, mereka membuka mata sudah tiba di halaman rumput rumah Adi dan Ani. Mereka berdua juga ada di sana menyambut Rangga dan Riana. Sebelum berangkat, Rangga sudah mengabari mereka berdua bahwasannya mereka akan datang. Adi memeluk Rangga dan Ani memeluk Riana—melepas rindu. “Bagaimana kabar kalian?” Adi melepas pelukannya, menjabat tangan Riana. “Baik,” Riana menjawab. “Kamu semakin cantik saja,” puji Ani. Sembilan tahun tidak bertemu dan menurut Ani Riana semakin cantik. Riana tersenyum. “Kamu juga.” “Ayo masuk. Ryan pasti senang melihat kalian berdua.” Adi membawa mereka masuk ke dalam rumahnya. Rumah Adi belum berubah. Rumah di atas panggung satu meter, terbuat dari 90 persen kayu jati dengan warna eksotis. Bukan hanya itu, furniture rumah juga terbuat dari kayu jati. Rumah Adi ini memang rumah idaman untuk tempat melepas penat. Rangga sangat menyukai itu. Ani datang membawakan minum—es teh manis dan kerak goreng. Riana membantu Ani menuangkannya ke gelas. “Bagaimana keadaan Ryan?” Rangga langsung membuka pembicaraan. “Dia baik-baik saja, dia hanya kaget waktu melihat kalian mengeluarkan kekuatan dan juga Penyihir Hyunfi," ujar Adi. “Tapi kalian tidak usah khawatir, sesuai permintaan Riana, aku sudah menghilangkan ingatannya tadi malam. Dia hanya akan ingat kejadian sebelum dia tidur saja,” sambung Ani. Riana menghela napas lega. “Syukurlah.” “Ada gerangan apa kalian berdua datang kemari?” Adi bertanya. “Aku dan Riana harus segera kembali ke Negeri Zalaraya. Kemarin malam Hyunfi memasukkan racun ke dalam tubuh Riana lalu bersatu dengan penyakitnya yang belum sembuh. Bi Narti mengatakan kalau di bumi ini tidak ada obatnya. Hanya Grenta saja yang bisa mengobati Riana.” Ani menatap wajah Riana prihatin. “Lalu kapan kalian akan pergi?” “Sebelum kami pergi, kami berniat ingin memberitahukan yang sebenarnya kepada Ryan.” Adi langsung merubah wajahnya menjadi serius. “Kamu yakin?” Rangga mengangguk. Riana menggenggam erat tangan Riana. “Menurutku jika Ryan tahu siapa dia sebenarnya, maka itu akan membuatnya semakin bersemangat untuk merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya. Lagi pula Ryan sudah cukup dewasa untuk itu.” Ani mengangguk setuju. “Aku rasa itu adalah pilihan yang tepat.” Adi memikirkan sesuatu. “Baiklah. Jika itu sudah menjadi keputusan kalian, maka lakukanlah. Tapi kita membutuhkan waktu sebentar lagi. Biarkan Ryan istirahat sampai siang nanti, barulah kalian berbicara dengannya.” “Adi benar. Meskipun hanya menghilangkan ingatannya tadi malam, itu cukup untuk membuat kepala Ryan terasa sangat pusing. Kita harus menunggu sampai dia benar-benar fit agar nanti dia bisa berpikir jernih setelah mendengarkan hal besar yang akan kalian sampaikan.” “Lalu di mana Ryan sekarang?” tanya Riana pada Ani. “Dia sedang di kamar, istirahat.” “Aku juga belum melihat Bayu, ke mana dia?” Adi meletakkan gelas di atas meja. “Dia sedang mengikuti kompetisi olimpiade, Rangga.” Rangga tersenyum, menggeleng. “Bayu dan Ryan hampir tidak ada bedanya, mereka sangat tertarik dengan sekolah di negeri ini.” Rangga benar. Penghargaan yang Bayu dan Ryan terima sudah cukup banyak. Mereka berdua juga giat dalam belajar apalagi Bayu. Salah satu impian Ryan adalah bertemu dengan Bayu di ajang olimpiade dan belum tercapai sampai sekarang. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN