Bab 8. Paket serupa

1602 Kata
Sampai di rumah, Farhan belum juga berhenti memikirkan tentang apa yang Ryan ceritakan padanya. Hujan disertai guruh dan kilat serta angin kencang katanya? Tapi kenapa dia tidak merasa itu terjadi tadi malam. Farhan yakin seratus persen bahwa apa yang Ryan katakan sama sekali tidak dia rasakan adanya. Jika itu sungguh terjadi, maka apa yang Rangga katakan sungguhan. Kekhawatiran Rangga akan terjadi sebentar lagi. Tapi Farhan masih belum bisa membayangkan siapa sosok yang mendatangi Ryan malam itu. Sosok berjubah hitam, kuku panjang dan tinggi kisaran dua meter. Farhan tidak tahu siapa sosok yang disebutkan Ryan. Tidak ada waktu untuk berpikir. Dia harus segera pergi ke rumah Ryan untuk menjaganya. Farhan tidak boleh lengah. Dia harus menjaga Ryan semaksimal mungkin agar mereka bisa mewujudkan tekad dan rencana yang sudah lama mereka rencanakan. __00__ Ryan berjalan mendekati pintu dengan tujuan untuk melihat siapa yang datang ke rumahnya siang hari begini. Apa Farhan? Tidak mungkin. Karena dia baru saja pulang dan belum ada lima belas menit sejak dia turun diantarkan Farhan tadi. Pintu terbuka. Ternyata sosok kurir memakai topi oranye dan baju dengan warna serupa. Dia mengangkat sebuah kardus dengan ukuran dan warna yang sama pula dengan paket yang Ryan buka kemarin. “Dengan Mas Ryan?” tanyanya sopan sekali seperti kurir biasanya. “Iya, Mas, benar.” “Ini ada paket buat Masnya.” Laki-laki itu menyerahkan kardus yang dia bawa kepada Ryan. Dia menerima paket tersebut ragu-ragu. “Dari siapa, ya, Mas?” Laki-laki itu tersenyum ramah. “Maaf, Mas. Kami juga tidak tahu siapa yng mengirimkan paket ini untuk Mas.” Aneh. Bagaimana bisa kurir itu malah tidak tahu siapa yang mengirim. Kalau kurir saja tidak tahu, lantas bagaimana caranya agar Ryan bisa mengetahui siapa orang yang mengiriminya paket ini? “Baiklah, Mas, saya permisi.” “Tunggu-“ Perkataan Ryan terpaksa harus menggantung karena sosok kurir tersebut langsung pergi meninggalkan Ryan dengan rasa bingungnya. Dia tidak merasa membeli sesuatu via online atau apa pun itu. Kalau pun orang tuanya yang membeli, pasti mereka berdua memberitahu Ryan kalau akan ada paket yang datang. Lantas dari siapa ini? Ryan masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Sembari berjalan ke atas menuju kamarnya, Ryan terus memandangi kardus yang sekarang sedang dibopongnya. Setiap sisi Ryan perhatikan, sama persis dengan paket yang dia terima kemarin. Setibanya di kamar, Ryan meletakkan kardus tadi di atas tempat tidur. Dia menggantungkan tas di tempatnya, kemudian mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumah seperti biasa. Lagi-lagi kaos oversize menjadi pilihannya. Kali ini Ryan memakai kaos berwarna putih polos dipadukan dengan celana se-lutut berwarna coklat. Pecinta kaos oversize pasti tau bagaimana nyamannya memakai itu di rumah. Sebelum menutup lemari, Ryan berniat memeriksa apakah kotak kecil hitam berisi berlian kemarin masih ada atau tidak. Dia menilik satu persatu lipatan baju kemejanya. Hingga lipatan terakhir alias paling dasar bagian lemari Ryan belum menemukan kotak tersebut. Rasa panik muncul. Ryan langsung mengeluarkan satu persatu isi lemarinya. Ryan yakin dia meletakkan kotak berisi berlian itu di bawah tumpukan baju-baju kemejanya, tapi kenapa sekarang bisa tidak ada. Hingga isi lemarinya terkeluarkan semua, kotak hitam itu masih tidak ada. Ryan berjongkok, memeriksa lagi tumpukan baju dan celana yang sudah terletak di lantai. Dia mengobrak-abrik semuanya. Masih juga belum terlihat benda berbentuk kubus itu. Ryan berhenti sejenak, mengingat. Setelah membereskan tempat tidurnya dari sampah kertas-kertas kecil sehabis membuka paket, Ryan ingat betul kalau dia menyimpan kotak kecil hitam itu di dalam lemarinya, di bawah tumpukan baju kemeja. Setelah menunjukkan berlian itu kepada Farhan pun, Ryan masih yakin, benar-benar yakin kalau dia menyimpan benda itu masih di tempat semula. Lantas ke mana perginya kotak itu? Ryan mengambil ponselnya di dalam tas, menghubungi mamanya. Dia bertanya apakah ada orang yang masuk ke dalam kamarnya sewaktu dia pergi ke sekolah pagi tadi. Mamanya menjawab tidak ada siapa pun yang masuk ke dalam, bahkan Bi Narti pun tidak masuk karena tidak sempat. Tiba-tiba anaknya menelponnya meminta untuk segera pulang karena perutnya terasa sakit, makanya mamanya itu datang untuk menjenguk sekaligus memberi ucapan selamat kepada anak Bi Narti atas anak pertama mereka. Setelah mematikan sambungan telepon, Ryan melemparkan ponselnya ke tempat tidur. Kalau tidak ada yang masuk ke dalam kamarnya, jadi siapa yang mengambil berlian itu? Biasanya memang Bi Narti yang masuk ke dalam kamar Ryan untuk membersihkan walaupun biasanya sudah dibersihkan Ryan sebelum berangkat ke sekolah. Lagi pula andai kata Bi Narti masuk ke kamar Ryan, dia tidak mungkin mencuri. Bi Narti sudah bekerja sejak mama dan papanya menikah. Itu yang Ryan tahu dari mama dan papanya. Jadi kemungkinan itu terasa kecil dan mustahil sekali. Ryan menarik kursi belajarnya, duduk. Dia memegang jidatnya, memijat pelan pelipisnya yang mulai terasa pening. Bagaimana berlian mahal itu bisa hilang tiba-tiba? Padahal Ryan sangat suka dengan berlian itu. Tanpa sengaja pandangannya teralihkan ke arah paket yang dia terima tadi. Ryan langsung beranjak ke tempat tidur mengambil kardus tersebut. Sejenak dia melupakan urusan berliannya yang hilang. Diguncangnya, bunyi yang dihasilkan mirip seperti bunyi yang dihasilkan paket kemarin. Mendengar itu membuat Ryan langsung mengambil cuter dan bergegas membukanya. Sama seperti kemarin, dia disuguhkan dengan kertas-kertas kecil. Kali ini Ryan tidak mengeluarkan sampah kertas-kertas kecil itu. Dia langsung memasukkan tangannya ke dalam, meraba, mencari benda apa yang ada di dalam sana. Tak lama, tangan Ryan terangkat ke atas keluar dari kardus. Sebuah kotak hitam dengan bentuk, warna, dan ukuran yang sama persis dengan kotak berlian yang hilang hari ini. Ryan terkejut. Tanpa membuang waktu, dia langsung membuka kotak itu. Kaget bukan main. Ryan menganga dibuatnya. Kotak itu berisi berlian yang sama dengan kotak yang hilang. Bahkan berlian itu terlihat sama persis. Ryan bisa melihat pantulan wajahnya dari berlian itu. Terlihat sangat indah. Untuk beberapa saat, Ryan menikmati keindahan potongan setiap sisi dari berlian tersebut. Hingga suara bel rumah menyadarkannya. Itu pasti Farhan. Ryan menutup kotak tersebut, membawa benda itu di tangannya. Ryan keluar kamar, menuruni tangga berjalan menuju pintu utama. Benar saja. Yang memencet bel rumah adalah Farhan. Sahabatnya itu menggunakan kaos hitam dan celana hitam juga. Di punggungnya dia menggendong tas berwarna abu-abu. Ryan mengajak Farhan masuk dan mereka langsung menuju kamar Ryan. Setibanya di sana, Ryan langsung teriak gembira sekali hingga membuat Farhan menatap keheranan ke arahnya. Dia tidak pernah melihat Ryan segirang itu. Apa gerangan yang membuat Ryan bertingakah aneh demikian? “Kamu kenapa? Keliatannya bahagia banget.” Ryan melepas tas dari punggungnya, duduk di ujung tempat tidur. Ryan tersenyum lebar sekali. Dia menunjukkan kotak yang dia pegang, memperlihatkan isinya. “Kamu tahu, berlian kemarin hilang-“ “Apa? Hilang?" Potong Farhan histeris mendengar benda mahal itu hilang. “Tunggu dulu,” tegur Ryan karena Farhan memotong perkataannya yang belum selesai. “Berlian kemarin hilang entah ke mana, lalu tadi pulang sekolah, ada yang mengirimiku lagi paket. Saat aku buka, ternyata isinya sama dengan kemarin." Farhan memperhatikan kamar Ryan sekarang. Isi lemari berserakan. Pintu lemari terbuka lebar. Sepertinya memang benar kalau berlian kemarin itu hilang. Ryan pasti sudah mencarinya. “Jadi ada orang yang mengirimu berlian lagi?” Ryan mengangguk cepat. “Siapa?” “Aku tidak tahu, Han. Tapi yang jelas aku tidak jadi bersedih karena aku masih punya berlian ini.” Jujur Farhan merasa ada yang janggal di sini. Tapi dia belum tahu apa itu. Berlian yang kemarin hilang dan sekarang Ryan mendapatkan berlian baru sebagai gantinya. “Kamu udah makan?” tanyanya pada Farhan. “Udah,” Farhan menjawab singkat. “Ayo makan, aku lapar,” ajak Ryan. Farhan tidak akan melewatkan sesi makan gratis ini. Sebelum turun untuk makan, Ryan merapikan kamarnya terlebih dahulu. Dia melipat baju dan celana yang sudah dia keluarkan tadi, memasukkan dan menyusun kembali ke dalam lemari. __00__ Ryan mengambil nasi, satu potong ikan bawal, bakwan, dan kuah sop. Seperti biasa, untuk menambahkan sensasi makannya, dia menambahkan sambal cumi yang Bi Narti berikan kemarin. Ryan sangat menyukai itu. Sambal cumi pemberian Bi Narti sangat cocok di lidahnya. Selain rasanya yang enak, pedasnya juga membuat nafsu makan Ryan kian bertambah. Farhan melihat Ryan menyendok sambal dari toples kecil bertanya, “Apa itu, Yan?” “Sambal cumi, mau?” Farhan menelan ludahnya. “Gak terlalu pedas, kan?” “Menurutku standar, sih.” “Boleh, deh.” Ryan meletakkan dua sendok ke piring Farhan. Setelah itu, sesi makan pun dimulai. Masakan Bi Narti memang tiada tandingan. Nikmat sekali. Bi Narti jagoannya di dapur. Tengah asyik makan, pintu rumah terbuka. Papanya pulang. Tumben, batin Ryan. Biasanya papanya itu pulang menjelang matahari terbenam, tapi sekarang masih pukul 14 siang. “Mama kamu mana?” tanya Rangga menghampiri mereka yang tengah makan. “Mama pergi, Pa.” “Pergi? Ke mana?” Rangga mengambil satu potong bakwan. “Ke rumah Bi Narti katanya, menjenguk anaknya yang baru lahiran.” Rangga ber-oh, menuangkan air ke gelas. “Papa gak makan?” Rangga selesai minum, meletakkan kembali gelas di atas meja. “Tidak usah, nanti Papa makan di luar aja. Papa pulang cuman mau ambil berkas.” Farhan asyik menikmati makanannya. Rangga berlalu menuju kamarnya. Tiba-tiba Farhan teringat dengan apa yang dipikirkannya tadi sebelum ke rumah Ryan, mengenai perihal hujan tadi malam. “Kamu sudah tanya mama atau papamu tentang hujan tadi malam?” tanyanya pada Ryan. “Belum, Han. Tapi aku sudah tanya ke Pak Mahmud.” “Apa katanya?” Farhan terlihat antusias. “Pak Mahmud bilang dia sama sepertimu, tidak merasakan ada hujan tadi malam.” Farhan terdiam. Benar dugaannya. Hal yang Rangga khawatirkan akan terjadi sebentar lagi. Mereka harus segera bertindak. Farhan harus berbicara dengan Rangga secepatnya. Terlambat sedikit saja, maka akan berakhir fatal. “Kamu mikirin apa?” Melihat wajah serius Farhan membuat Ryan penasaran dengan apa yang dipikirkan sahabatnya. Farhan menggelengkan kepala. “Nggak, ada. Aku gak mikirin apa-apa.” Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN