Bab 7. Maury absen lagi

1582 Kata
“Malam ini Papa akan tidur di kamarmu,” ujar Rangga dengan pandangan fokus ke depan mengemudikan mobil. Ryan tidak mengindahkan perkataan papanya barusan. Dia masih terfokus dengan pikirannya. Ryan masih belum bisa menjauhkan pikirannya dari apa yang dia lihat dini hari itu. Sosok memakai jubah hitam dengan penutup kepala, memiliki kuku panjang dan hitam, serta tinggi tubuh sekitar 2 meter membuat Ryan bahkan tidak sanggup untuk menutup matanya. Tiap kali Ryan menutup matanya, sosok itu terus muncul dalam benaknya. Ryan tidak tahu siapa itu, makhluk apa itu, dan apa tujuannya menampakkan dirinya. Tapi yang Ryan tahu sekarang, dia masih benar-benar ketakutan akan sosok tersebut. “Kemungkinan besar makhluk itu akan datang lagi malam ini.” Ryan diam. Rasanya nanti malam dia tidak akan berani untuk tidur sendirian. Dia harus meminta Farhan untuk menginap di rumahnya, menemaninya tidur. Setelah kejadian malam itu, Ryan tidak bisa tidur dengan kondisi gelap. Yang biasanya Ryan harus tidur dengan mematikan lampu, setelah munculnya sosok itu, Ryan langsung menyalakan lampu. Lampu sudah menyala pun, Ryan tidak juga bisa tidur hingga sekarang dia berangkat ke sekolah. “Kamu dengar kata Papa tidak?” Ryan tersadar. Itu pun karena papanya tiba-tiba mengerem karena ada ayam yang menyebrang. “Papa bilang apa?” Rangga menghela napasnya. Dari tadi dia berbicara sendiri ternyata. “Malam ini Papa akan tidur di kamarmu.” “Tidak usah, Pa,” tolak Ryan halus. “Ryan akan meminta Farhan untuk menginap di rumah. Papa temani saja Mama.” “Ya sudah kalau begitu.” Papanya melanjutkan mengemudi. Tiba di sekolah, setelah menyalami punggung tangan papanya, Ryan langsung menuju kelas. Tak lupa papanya berpesan agar belajar bagus-bagus. Ryan mengiyakan. Tak lama setelah Ryan duduk, Farhan pun datang. “Good morning, Bro!” sapa Farhan heboh, seperti biasa. Ryan tidak bereaksi apa-apa. Melihat wajah Ryan tidak semangat seperti biasa, dan malah terlihat pucat, menimbulkan tanda tanya dalam benak Farhan. “Kamu kenapa, Yan? Sakit?” Ryan menggeleng. “Nggak, Han.” “Jadi?” Ryan menoleh ke arah Farhan. “Kamu malam ini tidur di rumahku, ya?” pinta Ryan. Farhan terdiam beberapa saat, kemudian memeluk sendiri dirinya. Ryan yang paham maksud dari tingkah Farhan barusan langsung berdecak, memukul bahunya pelan. “Dasar otak kotor!” Farhan cekikikan. “Emang ada apa? Tumben kamu minta aku untuk menginap, biasanya kamu selalu berusaha membuatku agar tidak menginap di rumahmu.” Itu memang benar adanya. Ryan selalu mencari-cari alasan agar Farhan tidak menginap di rumahnya. Farhan selalu membuat masalah ketika menginap. Entah itu barangnya rusak, dia jadi terlambat ke sekolah, dll. “Aku melihat sosok aneh tadi malam,” ujar Ryan membuat Farhan kaget. “Apa? Kamu lihat apa tadi malam?” tanyanya beruntun. “Aku lihat sosok berjubah hitam lengkap dengan penutup kepala, kukunya panjang, dan juga tinggi tubuhnya kutaksir mencapai-“ Belum sempat Ryan menyelesaikan kalimatnya, Farhan sudah terkekeh duluan. Ada-ada saja sahabatnya itu. Di zaman seperti ini, di zaman milenial seperti ini masih ada hantu. Sepertinya Ryan mulai bisa mengarang n****+. “Aku tidak bercanda, Han!” Ryan melengus kesal. “Tadi malam aku terbangun jam dua. Tadi hujan deras sekali. Suara gemuruh dan kilat menyambar saling bersautan. Jendelaku terbuka, jadi aku-“ “Sebentar, sebentar,” potong Farhan. Apa yang barusan Ryan katakan? Gemuruh? Hujan deras? Farhan tadi malam tidak tidur sampai jam 3 pagi, dia tengah membaca n****+ yang dipinjamnya dari Ryan. Saat itu Farhan sama sekali tidak mendengar ada suara hujan atau pun semacamnya. “Hujan? Tadi malam gak hujan, Yan.” “Maksud kamu?” Ryan menjadi nge-lag seketika. “Tadi malam aku tidur jam 3 pagi. Kalau kamu bilang jam 2 pagi itu hujan, seharusnya di rumahku juga hujan dong.” Farhan benar. Rumahnya dan rumah Farhan tidak terlalu jauh, hanya berjarak lima belas menit saja jika naik motor. “Jadi apa yang terjadi tadi malam di rumahku?” tanyanya menatap wajah Farhan. “Lanjutkan ceritamu terlebih dahulu.” Ryan mengangguk. “Setelah aku menutup jendela dan tirai, aku hendak kembali ke tempat tidur. Tiba-tiba kilat menyambar, lalu aku melihat sosok yang telah kusebutkan tadi dari pantulan cermin di kamar. Aku langsung berjongkok ketakutan. Tak lama ayahku datang, dan sosok itu pun menghilang.” Farhan sedang mencerna perkataan Ryan barusan. Di rumahnya terjadi hujan deras, angin kencang, dan suara gemuruh beserta kilat yang saling bersahutan. Sedangkan di rumahnya tidak terjadi apa-apa. Atau mungkin hanya daerah perumahan Ryan saja yang turun hujan. “Sepanjang jalan ke sekolah tadi, kamu lihat jalan atau pun pohon basah gak?” Ryan berpikir sejenak mencoba mengingat. Sepanjang jalan tadi dia sama sekali tidak memperhatikan kondisi jalan. Dia sibuk tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ryan menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Farhan barusan. “Oke. Malam ini aku akan tidur di rumahmu.” Ryan menghela napas legas. Syukurlah malam ini dia tidak sendirian. Meskipun sosok itu datang lagi, setidaknya Ryan sudah ada teman di kamar. Benar apa kata Rangga, mereka benar-benar harus mempersiapkan diri sekarang. Penjagaan mereka terhadap Ryan harus diperketat. Jika lengah, musuh bisa saja mengabiskan Ryan sekarang juga. Masa-masa yang mereka khawatirkan sudah datang. Siap tidak siap, mereka harus siap kalau tidak menginginkan kekalahan terjadi pada mereka untuk kedua kalinya. __00__ Kelas sudah ramai. Semua murid sudah datang dan duduk di tempat masing-masing kecuali satu kursi di pojok belakang yang masih kosong seperti kemarin. Bel pelajaran pertama sudah berbunyi sejak tiga menit lalu. Mereka tengah menunggu Bu Hanum masuk. Jam pelajaran pertama mereka akan diisi dengan pelajaran Bahasa Indonesia. “Pagi anak-anak!” sapa Bu Hanum—guru paling muda di SMA Rajawali ini. Kacamata dan hijab yang menutupi kepalanya membuat Bu Hanum juga mendapatkan gelas sebagai guru tercantik di SMA ini. “Pagi, Bu!” balas murid-murid lainnya. “Seperti biasa, sebelum memulai pelajaran Ibu akan absen terlebih dahulu, ya.” Satu persatu nama murid disebutkan. Hingga tiba di nama Maury, tidak lagi ada jawaban. “Maury?” panggil Bu Hanum sekali lagi. “Tidak ada, Bu,” ujar Andrina. “Ke mana dia?” “Tidak tahu, Bu. Sudah dua hari dia gak masuk.” Ryan langsung menatap Farhan. Farhan membalas dengan mengedikkan bahu tidak tahu. Dua hari Maury tidak ada kabar sama sekali. Itu sangat bertolak belakang dengan gelar yang disandingnya bukan? Sosok murid teladan tidak masuk sekolah dua hari berturut-turut tanpa keterangan pula. Tiba-tiba Ryan teringat dengan perkataan Farhan waktu ditelpon. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan Ryan yang sudah menolak pemberian dari Maury. Cepat-cepat Ryan menggelengkan kepalanya. Itu mustahil. Tidak mungkin gara-gara itu Maury tidak masuk sekolah. __00__ “Jangan lupa mala mini kamu harus ke rumahku.” Ryan mengingatkan Farhan sembari melepas helm, mengembalikannya kepada Farhan. “Iya, iya.” Usai menerima helm dari Ryan, Farhan menarik gas motornya, melaju menuju rumahnya. Ryan melihat Pak Mahmud yang tengah mempersiapkan mobil mamanya. Tiba-tiba saja dia teringat pembahasannya tadi dengan Farhan mengenai hujan. Ryan berniat menanyakan itu kepada Pak Mahmud. “Pak?” panggil Ryan. Pak Mahmud yang saat itu sedang sibuk mengelap kaca spion langsung menoleh. “Ya, Den? Ada apa?” “Tadi malam hujan gak?” “Hujan? Nggak, Den. Tadi malam gak ada hujan.” “Bapak serius?” Pak Mahmud selesai mengelap spion. “Iya, Den. Tadi malam gak hujan.” Ternyata benar. Tadi malam tidak turun hujan sama sekali. Farhan dan Pak Mahmud juga mengatakan hal serupa. Lalu apa yang dia lihat, dia dengar, dan dia rasakan tadi malam? Ryan benar-benar yakin kalau tadi malam angin dan gemuruh yang dia dengar itu sungguhan. “Emang kenapa, Den?” Cepat-cepat Ryan menggelengkan kepala. “Nggak, Pak, nggak ada apa-apa.” Lantas jika itu bukan hujan? Itu apa? “Sudah, Pak?” Riana keluar dari rumah. “Sudah pulang, Nak?” ujarnya ketika melihat Ryan. “Sudah, Ma. Mama mau ke mana?” “Mama mau menjenguk anaknya Bi Narti. Kamu mau ikut?” Ryan menggelengkan kepala. “Gak usah, Ma. Ryan di rumah aja.” “Ya sudah kalau begitu. Mama berangkat, ya?” __00__ Usai mamanya pergi dan menutup pintu. Ryan tak henti-hentinya memikirkan kejadian malam itu. Bagaimana bisa hanya dia saja yang merasakan hujan beserta turunannya tadi malam. Jelas-jelas suara gemuruh tadi malam sangat kuat sekali. Bahkan Ryan juga merasakan bahwa gemuruh tadi malam itu berbeda dari biasanya. Saat Ryan menutup jendela tadi malam, dia juga bisa merasakan percikan air jatuh ke tangannya. Jadi mustahil bukan kalau hanya dia seorang yang merasakan hujan tadi malam. Kalau hanya di bagian kamarnya saja dari rumahnya yang turun hujan, itu justru lebih tidak masuk akal lagi. Untuk menghilangkan rasa penasarannya ini, dia harus menanyai semua orang yang tinggal di rumah ini. Terutama papanya. Karena tadi malam, kalau bukan berkat papanya masuk ke kamarnya, Ryan tidak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin saja dia dilarikan sosok makhluk asing itu tadi malam. Bi Narti sepertinya pulang lebih awal hari ini. Dia tidak lagi terlihat di rumah. Biasanya saat pulang sekolah seperti ini Bi Narti terlihat di dapur sedang mempersiapkan untuk masak malam, atau pun duduk di depan berbincang dengan Pak Mahmud. Tapi hari ini tidak ada. Ryan meletakkan tasnya di sofa, dia berjalan menuju kulkan. Ryan mengambil air dingin, meneguknya langsung dari botol. Rasa hausnya hilang sudah. Dia melihat meja makan, membuka tudung saji melihat lauk apa yang tersedia. Bakwan, ikan bawal, sayur sop, terlihat sangat menggiurkan. Sepertinya dia harus mengganti seragam sekolah secepatnya agar bisa lekas menyantap makanan itu. Ryan mengambil tasnya yang tadi diletakkan di sofa hendak ke atas menuju kamarnya. Baru satu kaki menyentuh tangga, bel rumahnya berbunyi. Siapa gerangan yang datang siang hari begini? Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN